Saat Monita naik ke kelas XI, Anak Raja dihebohkan dengan kabar bahwa mereka akan kedatangan murid baru yang katanya artis. Begitu melihat popularitasnya di media sosial, ditambah visualisasi yang menawan, mereka semakin antusias, terutama teman seangkatan Monita. Kabarnya anak baru itu sebaya dengan mereka. Banyak yang penasaran kelas mana yang akan ditempatinya.
Info ini pertama kali Monita dapat dari Delia, saat dia mengirimkan tautan profil Instagram ke obrolan grup mereka.
Nama panjangnya Dirga Rasyid. Dengar-dengar doi mau ikut audisi talent show.
Media sosial Dirga isinya kebanyakan video-video kover lagu dan foto-foto saat tampil di acara musik. Tidak banyak potret tentang kehidupan pribadinya yang bisa Monita gali. Misalnya, dia tinggal di mana, anak keberapa, sudah punya pacar atau belum. Meski begitu, animo Anak Raja benar-benar beralasan. Monita akui, Dirga tampak sangat manis saat tersenyum. Perangainya juga tampak santun dan ramah. Dia jadi penasaran, seberapa presisi Dirga yang asli dengan citra yang terlihat di dunia maya.
Masalahnya, Dirga tidak masuk di minggu-minggu awal semester ganjil karena sedang ikut audisi ajang pencarian bakat.
"Gimana kalo kita bikin acara nobar?" usul Risma. Waktu itu Jhoni meminta saran, kira-kira aktivitas apa yang bisa bikin mereka, sekelas, semakin akrab.
Monita, yang baru saja memeriksa apakah ada konten baru yang diposting Dirga, langsung menyahut, "Nobar si anak baru itu? Langsung ke studionya?"
Risma mengangguk. "Minggu depan kan udah babak 20 besar."
Ide Risma tidak terdengar buruk, tapi Monita pikir akan lebih masuk akal kalau Risma mengusulkan nonton film fiksi ilmiah, atau mengunjungi kebun binatang.
"Ah, susah itu. Acaranya terlalu malam. Payah nanti kalau ada yang nggak dikasih izin ortu. Dia juga belum kenal sama kita," tolak Jhoni.
Dengan begitu, tidak ada acara nonton bareng ke studio. Tidak ada yang menyaksikan langsung bagaimana Dirga gagal melaju ke babak selanjutnya. Namun, kabar buruk itu disambut baik Raya Jaya. Mereka mengadakan acara penyambutan dan foto bersama saat upacara bendera. Meski baru saja resmi jadi Anak Raja, Dirga diperlakukan layaknya siswa lama yang baru selesai cuti dan membawa pulang prestasi.
Saat itulah Monita melihat Dirga berdiri di barisan kelas Delia. Bahkan mereka berbaris sebelah-sebelahan dan tampak mengobrol tanpa canggung.
Tebersit di hati kecilnya, kenapa harus Delia? Namun pemikiran itu sirna ketika dia memberanikan diri berkunjung ke kelas mereka dan menyapa Dirga untuk pertama kali. Respons yang diterima tidak kalah ramah. Mulai saat itu, Monita merasa dia punya harapan. Semakin hari semakin terasa pasti. Puncaknya di pesta ulang tahunnya Sabtu lalu.
Setelah memikirkan dua petunjuk yang diucapkan Dirga semalam—"mau datang" dan "jangan lupa tanggalnya", Monita yakin Dirga mengundangnya ke suatu tempat di waktu yang telah ditentukan.
Pertanyaannya: kenapa harus diundang lewat kado?
"Mon ...."
Senggolan pelan di kaki Monita menghentikan analisis di kepalanya.
"Hm?" sahut Monita tanpa mengalihkan tatapan dari botol soda yang masih berembun. Mereka baru saja mengambil tempat duduk di kantin. Hanya berdua. Delia dan Priska berjanji akan menyusul setelah tugas mereka selesai. Monita harap itu akan makan waktu lama.
Melihat Kana tampak ragu-ragu ingin menanyakan sesuatu, Monita menebak langsung, "Lo mau nanya soal kado?"
Benar saja, Kana membalasnya dengan senyuman sungkan. "Tapi kalo lo nggak mau cerita, nggak papa kok."
Monita jadi semakin merasa serbasalah. Di Raya Jaya, Kana satu-satunya sahabat yang bisa dia percaya. Seharusnya dia bisa menceritakan segalanya, alih-alih ikut membohonginya. Kana tentu akan membantunya menemukan jalan keluar. Namun, jika Monita mengaku, sudah pasti dia ingin Kana merahasiakannya juga dari Delia dan Priska. Itu sama aja dengan memaksa Kana ikut berbohong. Monita tidak ingin menyeret Kana ke posisi itu.
"Tapi, lo beneran ... senang, kan?" Kana kembali bertanya.
"Maksudnya?"
"Soalnya lo akhir-akhir ini sering kayak orang banyak pikiran, gitu."
Apa kentara sekali? Monita segera memperbaiki raut wajahnya dan menjawab dengan lebih nyaring, "Ah ... masa sih? Mungkin karena sumpek aja. Lo tau sendiri kan, udah mau ujian semester, mana tugas berjibun banget."
"Iya sih .... Gue juga sempat kepikiran nanti kelas tiga bakal se-hectic apa. Tapi, Mon, nggak perlu stres banget lah. Kan kita bisa kerjain bareng, belajar bareng. Dan yang paling penting, kalo lo ada masalah apa-apa, gue pasti bakal bantuin."
Monita tersenyum lebar. Dukungan yang diucapkan Kana terasa lebih sejuk dari soda yang diteguknya. "Kalo lo lagi mode bestie gini, gue jadi pengen peluk gitu."
Cepat-cepat Kana menyanggah, "Nggak perlu, nggak perlu. Bakal norak kelihatannya."
"Hey, Girls!"
Hawa sejuk yang tadi dirasakan Monita mendadak berubah menjadi kemarau panjang begitu terdengar seruan riang di belakangnya. Tidak perlu berbalik badan, dia sudah bisa membayangkan secerah apa wajah Delia saat ini. Kabar apa lagi yang dibawanya? Dengan suara manis yang terdengar overdosis begitu, pasti akan ada hal menakjubkan yang bakal terjadi.
Di luar dugaan, Delia duduk di sebelah Monita dan menepuk ringan pundaknya. "Ada yang mau ketemu sama lo."
Sontak Monita menoleh dan mendapati cowok berkacamata tebal berdiri dengan senyum malu-malu.
Dia Kevin, teman sekelas Delia juga.
"Moni, maaf ya kemarin aku nggak sempat kasih ini ke kamu," katanya sambil menyerahkan sebuah kantong kertas berwarna merah muda yang sejak tadi disembunyikan di balik punggungnya. Senyumnya mengembang, memperlihatkan kawat gigi yang benar-benar tampak seperti kawat. Senyum yang sama persis dengan yang diberikan begitu tiba di pesta ulang tahun Monita tempo hari.
Sebelum acara tiup lilin, Kevin datang dengan kemeja kotak-kotak yang dikancing sampai leher. Dengan kostum seperti itu, jelas dia tidak mendapat undangan. Awalnya Monita kira dia sepupu jauh yang diundang ibunya. Namun, ternyata Delia menyapa cowok itu dan berkata, "Hi, Vin, have fun!" Seolah dia yang jadi tuan rumah.
Untungnya Kevin punya sopan santun. Dia tidak lupa memberikan ucapan ulang tahun pada Monita yang kedengarannya seperti sudah dihapal dari rumah. "Maaf ya aku nggak sempat beli kado buat kamu, tapi nanti hari Senin bakal aku kasih," janjinya waktu itu.
Dan sekarang, di sinilah dia. Menepati janji yang terlambat satu hari.
Di hadapannya, Kevin masih mengulurkan tangan, menunggu pemberiannya disambut dengan baik. Wajah lugu cowok itu membuat Monita tidak tega menolak. Namun, jika diterima, dia takut akan jadi salah paham. Bagaimana kalau Dirga lihat?
Biasanya cowok itu duduk di kantin di barisan ujung. Spontan Monita melirik ke arah meja yang biasa ditempati Dirga, tapi cowok itu tidak tampak di sana. Hanya ada tiga siswa yang asyik dengan ponsel masing-masing. Oh, tidak! Monita segera memalingkan muka begitu menyadari Aceng juga ada di sana.
Cepat-cepat dia menerima kantong kertas di hadapannya. "Thanks," ucapnya dengan kilat, berharap Kevin bisa menangkap itu sebagai perintah untuk angkat kaki.
Namun, Kevin masih berdiri di tempatnya, entah menunggu apa.
"Ada lagi yang perlu?" Monita bertanya hati-hati. Semoga Kevin tidak menyuruhnya membuka kado itu sekarang juga.
Kevin yang semula masih tersenyum hikmat, mulai menggeleng gugup. "Oh. Nggak, nggak. Oke. Itu aja. Aku balik ke kelas dulu, ya."
Sepeninggalan Kevin, Priska melepas tawa yang sejak tadi dia tahan. "Tuh anak kenapa?"
Sementara itu, Delia hanya menaikkan kedua bahu dan bersandar puas di kursinya.
"Kalian, ya, yang ngajak Kevin datang ke pesta gue?" tanya Monita sambil menatap Delia dan Priska tajam.
Dengan Priska yang mendadak melirik Delia kaku, Monita sudah mendapatkan jawabannya.
"Ah, itu ... actually ...," Delia buka suara, "Kevin sempat tanya ke gue, dia bisa ikut atau enggak. Ya gue mana tega ngelarang."
"Setidaknya lo tanya dulu ke gue."
"What's wrong with that? Toh cuma Kevin. Lo keberatan dia datang?"
Monita menahan diri agar tidak menunjukkan kesan sedang pilih-pilih teman. "Bukannya gue keberatan, tapi ... gue nggak kenal aja sama dia," sanggahnya.
"Seriously? Kalau gitu, kenapa lo undang anak prom night? Lo juga nggak kenal sama mereka semua."
Kalau soal masuk akal dan tidak masuk akal, Delia selalu lebih maju beberapa langkah di depannya. Begitu pula soal mojok-memojokkan, selalu saja ada yang bisa diungkit. Jika tahu pembicaraan mereka akan mengarah ke sini, Monita seharusnya tidak perlu mempermasalahkan kedatangan Kevin yang sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa. Monita menyesal telah salah langkah.
Sekarang dia harus berpikir keras agar Delia tidak semakin curiga. Mengundang anak prom night sebenarnya hanyalah strateginya untuk memaksa Dirga. Dia tidak benar-benar ingin mengundang mereka. Itu hanyalah taktik agar Dirga punya kewajiban untuk datang ke pestanya. Monita yakin, Dirga akan lebih tergerak jika datang bersama teman-temannya daripada datang sendirian.
"Okay bestie-bestie tercinta, nggak perlu diperpanjang lagi. Pestanya udah lewat, kado udah diterima. Mending diambil hikmahnya aja, gimana?"
Akhirnya Kana membunyikan gong perdamaian.
Priska ikut menimpali, "Iya nih, toh semuanya juga aman-aman aja. Nggak mesti diribetin."
Meski yang dikatakan Kana dan Priska terdengar masuk akal, Monita tetap yakin ada yang tidak beres. Kevin tidak lagi naksir dia, kan? Delia tidak lagi coba-coba jodoh-jodohin mereka, kan?
🕶️