Aku tak tahu pasti kapan seseorang dianggap sembuh dari luka masa lalu. Apakah saat ia berhenti menangis? Saat dia mulai tertawa lagi? Atau ketika dia bisa memaafkan tanpa perlu alasan?
Yang kutahu, pagi ini, Aditya memasukkanku ke dalam pelukannya bukan karena terburu-buru ke sekolah, tapi karena ingin memastikan aku tidak ketinggalan untuk perjalanan baru.
Kami bukan lagi murid biasa. Hari ini, Aditya dan beberapa teman Teman Pagi akan menghadiri undangan dari sekolah lain untuk berbagi cerita—bukan sebagai murid teladan, tapi sebagai teman sebaya. Sebagai pendengar. Sebagai seseorang yang pernah runtuh, dan memilih untuk tidak tetap berada di bawah.
Dalam perjalanan menuju sekolah itu, kami naik angkot. Di bangku belakang, Ayu menatap keluar jendela, sesekali mencatat sesuatu di ponsel. Raka memegang kertas berisi daftar topik yang akan mereka bahas.
“Gue deg-degan,” ujar Raka.
“Tenang aja. Yang penting dengerin dulu,” jawab Aditya. Kalimat sederhana, tapi kini sudah menjadi filosofi hidupnya.
Aku ingat betul Aditya yang dulu. Yang tegang menyebutnya di depan kelas. Yang sembunyi di balik akun YouTube karena takut dilihat apa adanya. Yang pernah menangis diam-diam di kamar saat surat nilai datang.
Kini, dia duduk dengan tenang. Sesekali tersenyum ke arah Ayu, atau mencandai Raka. Tapi bukan senyum palsu. Ada kepercayaan diri yang tumbuh. Bukan karena semua luka sudah hilang, tapi karena ia tak lagi menghindar dari rasa sakit.
Setelah sesi berbagi selesai—yang pewarnaan tawa, air mata, dan pelukan dari siswa lain—Aditya berdiri di halaman sekolah sambil menatap langit.
“Apa kita sudah berhasil?” tanya Ayu.
“Belum,” jawab Aditya. “Tapi kita sudah mulai jalan.”
Saya tahu, di balik penjelasan itu, ada satu kesadaran: tidak semua masalah akan selesai dalam satu pertemuan, satu pidato, atau satu podcast. Tapi dengan terus berjalan bersama, setidaknya mereka tidak akan tersesat sendirian.
Malam itu, di kamar yang sama, dengan lampu belajar menyala redup, Aditya membuka laptopnya. Ia memutar ulang klip video dari acara hari itu. Suara remaja lain yang tertawa, yang bercerita, yang berkata “makasih” dengan tulus.
Lalu, ia membuka email baru. Di kolom penerima, ia menulis:
Kepada Ayah
Tapi tidak langsung menulis isi pesannya. Ia hanya menatap layar beberapa saat, lalu tersenyum. Lalu tutup laptopnya. Belum sekarang.
Tapi dia tahu, waktunya akan tiba.
Dan aku? Aku akan tetap di sini. Di belakangnya, menemaninya melangkah ke tempat-tempat baru, membawa kisah-kisah yang belum selesai ditulis, mendengarkan diam-diam semua yang tak ia ucapkan, dan menjadi Saksi bahwa bahkan remaja yang hancur pun bisa memilih untuk bangun kembali.
Karena aku bukan hanya tas ransel biasa.
Aku rumah bagi perjalanan, Saksi bagi keberanian, dan bukti bahwa perubahan dimulai dari hal kecil: seperti keberanian untuk mendengar, dan keikhlasan untuk jujur.
Pada hari ini, kami tetap berjalan.
Menuju hari esok yang entah seperti apa.
Tapi satu hal pasti: kami tidak sendiri.
*** SELESAI ***