Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Aku pernah mengira perjalananku akan berakhir hanya sebagai tas yang membawa beban fisik Aditya: buku, laptop, botol minum, dan harapan-harapan yang nyaris patah. Tapi hari ini, aku sadar, aku telah menggendong lebih dari itu.

Pagi ini, punggung Aditya terasa tenang. Tapi detak jantungnya masih menunjukkan sesuatu: gugup yang bercampur harap. Kami berdiri di depan ruang serbaguna sekolah, di mana acara Teman Pagi Hari akan dimulai sebentar lagi. Aula telah dihias dengan poster-poster buatan tangan, kursi disusun melingkar, dan di tengahnya ada satu mikrofon tegak, menunggu suara-suara yang ingin didengar.

Aditya memeriksa daftar rundown acara di ponselnya. Ia menjadi pembicara utama sekaligus moderator diskusi pertama. Ayu berdiri di sana, membawa clipboard dan tersenyum meyakinkan.

“Lo siap, Dit?” tanya Ayu, matanya menatap ke dalam.

“Siap gemeteran,” jawab Aditya, mencoba bercanda, meski aku tahu itu bukan 100% lelucon.

Ayu menepuk lengannya pelan. “Lo bukan cuma siap. Lo perlu tahu, lo sudah sejauh ini karena lo mau berubah , dan karena lo berani dengerin .”

Kata-kata Ayu seperti jangkar kecil yang menjaga agar Aditya tidak dihanyut oleh kegelisahannya sendiri.

Acara dimulai. Musik akustik ringan mengalun sebagai pembuka. Aditya naik ke panggung dan, seperti saat pidato sebelumnya, dia membukanya dengan salam yang sederhana namun tulus.

"Hari ini, kita bukan datang untuk menjadi orang yang paling tahu. Kita datang untuk membuat dengerin satu sama lain. Dan untuk itu, kita memerlukan keberanian."

Beberapa siswa, guru, bahkan orang tua, mulai memperhatikan dengan lebih khidmat.

Aditya lalu bercerita tentang perjalanan kecilnya: dari gamer pemalu yang hanya hidup lewat suara di YouTube, menjadi seseorang yang berani mengajak orang lain berbicara secara nyata. Ia menyebut tentang Bu Ratih yang membuka ruang, tentang neneknya yang jadi jangkar, tentang Ayu dan komunitas yang ia bentuk dari satu bangku kosong di kantin.

Tepuk tangan terdengar setelah dia selesai berbicara. Tapi bagian yang paling menyentuh belum datang.

Acara berlanjut ke sesi diskusi terbuka. Di situlah saya menyaksikan sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya: keberanian kolektif yang meleset dari ruang yang terasa aman.

Seorang siswa dari kelas sembilan, yang biasanya pendiam, menceritakan bahwa ia sering tidak masuk karena rasa cemas yang berlebihan. Seorang guru, Pak Rudi, mengaku pernah merasa hampa meski terus mengajar setiap hari.

Lalu seseorang berdiri dari barisan belakang. Raka.

Raka adalah teman Aditya yang dulu selalu tampak tenang dan suka melucu, tapi beberapa minggu terakhir aku merasakan perubahan dalam caranya menyentuhku—ia jadi sering menahan tas Aditya saat Aditya harus bicara. Gerakannya tidak nyaman, seolah ingin berbicara tapi takut.

Kini, dia akhirnya berbicara.

“Gue juga pengin jujur,” katanya pelan. “Gue sering ngerasa kayak... harus selalu jadi yang bikin suasana cair, yang ngeti semua hal. Tapi kadang, gue juga ngerasa capek. Banget. Tapi gue nggak tahu harus cerita ke siapa... sampai akhirnya liat Teman Pagi ini.”

Suasana hening. Lalu seseorang memulai tepuk tangan kecil. Lalu yang lain ikut. Bukan untuk menghakimi, tapi menguatkan.

Aku tahu, detik itu adalah titik balik untuk banyak orang dari mereka. Termasuk Raka.

Di akhir acara, saat semua sedang merapikan kursi dan menyimpan perlengkapan, Aditya duduk di tepi panggung. Napasnya berat tapi lega. Ayu mendekatinya dan duduk di tempatnya, kaki mereka sama-sama menggantung.

“Ini sukses, Dit,” ujar Ayu.

Aditya mengangguk pelan. “Tapi juga baru mulai. Semakin banyak yang ngomong, semakin besar tanggung jawabnya.”

"Itu tandanya lo bukan anak yang kabur dari rasa takut. Lo menghadapinya. Itu yang penting."

Aku tahu Ayu tak hanya memuji. Ia menyaksikan proses Aditya. Dari Aditya yang selalu canggung di depan umum, hingga kini, berdiri tegak membawa suara banyak orang.

Malamnya, di rumah, Aditya duduk di ruangan bersama laptop terbuka. Ia membuka file draft podcast, lalu menulis deskripsi untuk episode terakhir musim pertama:

"Ada masa ketika gue berharap hidup bisa berhenti . Tapi sekarang gue tahu, tidak perlu tahu semua penjelasan sekarang. Yang penting, terus jalan. Bareng-bareng. Sama-sama belajar dengerin. Sama-sama belajar jujur."

Tiba-tiba, pintu diketuk.

Neneknya masuk, membawa nampan kecil berisi susu hangat dan beberapa potong kue kering.

“Capek?” tanya nenek.

Aditya menggeleng. "Tapi kayak ada yang berat... di dada. Bukan karena sedih. Tapi kayak... lega yang numpuk."

Nenek duduk di pinggir kasur. Tangannya mengusap rambut Aditya perlahan. "Kamu sudah mulai menyembuhkan dirimu sendiri, Nak. Tapi ingat, tidak semua luka harus sembuh hari ini juga. Yang penting kamu bukan pura-pura."

Mata Aditya basah. Ia memeluk neneknya dengan pelan. Aku yang terletak di pojok ruangan, bisa merasakan udara berubah. Hangat. Nyaman. Rumah.

Seminggu setelah acara Teman Pagi Day , sebuah surat datang ke rumah. Bukan dari sekolah. Tapi dari seseorang yang selama ini hanya jadi bayang-bayang dalam hidup Aditya: ayah.

Amplopnya tipis. Isinya hanya satu lembar kertas. Tulisan tangan yang sedikit miring.

"Ditya, maaf karena pergi. Maaf karena nggak bisa jadi orang tua yang kamu butuhkan. Aku nggak minta dimaafkan sekarang. Aku cuma mau bilang, kamu hebat. Kamu bisa tumbuh bahkan tanpa aku. Dan kalau suatu saat kamu mau, aku pengin denger cerita kamu. Aku pengin dengerin."

Aditya lama menatap surat itu. Matanya tak berkedip. Ia tak menangis. Tapi aku tahu, pikiran berkecamuk.

Ia tak langsung membalas. Tapi dia mengambil jurnalnya. Menulis satu kalimat:

"Mungkin suatu saat, aku akan bercerita. Tapi untuk sekarang, cukup aku tahu... kalau aku tidak membutuhkan validasi dari orang yang pergi buat percaya kalau aku berharga."

Oleh karena itu, ia kembali ke taman tempat mereka biasa mengadakan pertemuan Teman Pagi. Tikar diadakan, camilan dibuka, dan Aditya duduk bersandar pada saya. Ia membawa selembar kertas—surat dari ayahnya.

Ia menunjukkannya pada Ayu dan Raka. Tak banyak kata yang diucapkan. Tapi dari sorot mata mereka, aku tahu: mereka mengerti.

Di taman yang mulai senyap menjelang magrib, angin menyapu dedaunan, membawa serpihan-serpihan kecil dari masa lalu, dan membuka jalan menuju masa depan.

Aditya menutup matanya sejenak, lalu berkata pelan, "Gue mungkin nggak tahu mau jadi apa. Tapi gue tahu, gue nggak akan jadi orang yang ninggalin."

Dan di belakangnya, aku tetap berada. Menggendong bukan sekedar buku dan botol minum, tapi keberanian, luka yang perlahan sembuh, dan mimpi yang kini punya tempat untuk tumbuh.

Perjalanan kami belum selesai. Tapi satu hal pasti: di punggung, aku tahu... dia telah berubah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Suara yang Tak Pernah Didengar
292      171     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
The Best Gift
37      35     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
31      29     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Trust Me
53      46     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Trying Other People's World
123      108     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Jalan Menuju Braga
327      251     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Monokrom
86      73     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
113      91     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Imperfect Rotation
144      129     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...