Aku masih di punggung Aditya. Masih mencium bau detergen bercampur keringat, masih menyimpan segepok kertas catatan, dan… kini satu botol air mineral kecil. Mungkin terdengar sepele, tapi dulu Aditya nggak pernah bawa botol air. Ia selalu menahan haus. “Bisa kok tahan sampai rumah,” katanya.
Tapi hari ini ia berubah. Ia belajar bahwa tubuh dan perasaan itu harus dirawat. Diri sendiri perlu diperhatikan—tidak ditinggalkan.
Hari ini Teman Pagi akan membuat sesi terbuka pertama dengan format baru: Teman Pagi Belajar . Tema perdana yang dipilih: “Ngerti Diri Sendiri, Kok Ribet Banget, Ya?” Topik yang pas banget untuk remaja seumuran mereka. Ruang musik sekolah yang biasanya dipenuhi suara piano kini dipenuhi suara tawa canggung, gumaman, dan ketukan kaki gelisah.
Aditya tidak berdiri di depan. Hari ini, giliran Ayu mengemudikan acara, ditemani oleh Damar—anggota baru yang dulu pendiam, tapi ternyata punya pengalaman sebagai fasilitator pramuka.
Aku bisa merasakan detak jantung Aditya ketika dia duduk di antara teman-temannya, bukan di depan. Tapi kali ini, tidak seperti dulu, dia tidak merasa terpinggirkan. Ia merasa setara.
Ayu memulai dengan pertanyaan, “Siapa yang pernah ngerasa nggak ngerti kenapa dia marah, sedih, atau tiba-tiba ingin menghilang?”
Tangan-tangan terangkat. Bahkan beberapa yang biasanya diam ikut mengacung.
“Siapa yang pernah mikir 'gue nggak pantes didengerin'?”
Lebih banyak tangan terangkat. Termasuk tangan Aditya.
Saat aku tahu, bukan hanya Aditya yang berubah. Komunitas ini pun ikut bergerak.
Sesi dilanjutkan dengan latihan sederhana: mengenali emosi diri. Setiap peserta kartu diberi emosi berwarna, dari biru muda (tenang) sampai merah tua (marah besar). Mereka diminta menunjukkan warna yang mereka rasakan akhir-akhir ini.
Aditya memilih jingga. “Campur antara gugup, semangat, dan sedikit takut.”
Seorang siswa bernama Dinda mengangkat warna ungu. Bingung.Soalnya gue baru tahu kalau kakak gue menyimpan rahasia soal kondisi mentalnya.
Kemudian Bayu mengangkat warna abu-abu. “Gue belum tahu ini apa. Tapi gue pengin tahu.”
Tidak ada cemoohan. Tidak ada tawa mengejek. Hanya anggukan, dan satu per satu, keberanian tumbuh di antara mereka.
Aku, si tas yang sudah bertahun-tahun menempel di punggung Aditya, belum pernah menyaksikan momen sehangat ini di sekolah yang biasanya penuh tekanan.
Setelah sesi selesai, Ayu dan Damar mengajak peserta untuk berbagi ide program selanjutnya. Raka merekomendasikan sesi outdoor, semacam kamp penyembuhan. Sari mengusulkan sesi korespondensi surat untuk saling memberi dukungan.
Aditya mengusulkan topik: “Berani Nolak Ekspektasi.”
“Karena sering kali, ekspektasi itu bukan hanya dari orang lain, tapi dari diri sendiri juga,” jelasnya.
Semua menyambut dengan anggukan serius. Ada kekuatan dalam kalimat itu. Aku bisa merasakannya merambat dari tulang belakang Aditya sampai ke ujung resletingku.
Sepulangnya, di angkot, Aditya duduk sambil membuka HP. Biasanya ia membuka komentar YouTube atau TikTok. Tapi hari ini ia membuka file jurnal digital di Google Docs yang berjudul “Bukan Sekadar Proses”.
Dia mengetik:
"Hari ini gue nggak jadi pembicara, tapi gue ngerasa didengerin. Mungkin dulu gue pikir harus bersuara paling keras biar orang lain denger. Tapi sekarang gue ngerti, dengar juga bentuk kehadiran yang kuat."
Aku ingat masa-masa awal Aditya: duduk di bangku belakang kelas, takut buka suara, dan hanya bicara pada game Roblox. Kini, meski masih ada perselisihan dan keraguan, ia berani mengatakan: “gue nggak tahu semuanya, tapi gue di sini.”
Malamnya, di rumah, ia menemani nenek menyapu halaman. Nenek yang sabar dan jarang banyak tanya kini menatap Aditya lama-lama.
"Dulu kamu diam. Sekarang kamu banyak cerita. Tapi yang nenek suka, kamu sekarang lebih jujur. Sama orang, juga sama diri sendiri."
Aditya tersenyum. “Nek, aku cuma takut aku terlalu banyak cerita. Takut ngerepotin.”
Nenek tertawa. “Cerita itu bukan beban. Cerita itu jembatan. Tapi kamu harus tahu kapan istirahat juga.”
Mereka duduk di kursi bambu di teras. Angin malam membawa aroma kenangan, tapi juga harapan. Aku tergantung di sandaran kursi, dan untuk pertama kalinya, rasanya aku bukan hanya tas, tapi Saksi dari perjalanan besar—perjalanan kecil seorang anak belajar mengenali dirinya sendiri.
Beberapa hari setelahnya, email dari guru BK masuk: sekolah akan mengangkat kegiatan Teman Pagi sebagai bagian dari program resmi. Bahkan akan mengadakan pelatihan peer counselor untuk anggota yang berminat.
Aditya tertawa kecil saat membacanya. Bukan karena ingin jadi 'yang terkenal', tapi karena dia tahu: perjuangan mereka bukan sia-sia.
Ia menatap langit sakit lewat jendela kamar.
“Gue nggak tahu masa depan gue bakal kayak apa,” gumamnya, “tapi gue tahu, gue nggak sendirian lagi.”
Dan aku, yang dulu hanya tempat menyimpan buku, kini menyimpan cerita—tentang ketakutan, tentang bangkit, dan tentang berani berubah.
***