Aku, si tas hitam lusuh yang selalu menempel di punggung Aditya, kembali terasa berat. Bukan karena buku-buku atau peralatan sekolah, tapi karena pikiran-pikiran di dalam kepala anak ini makin hari makin penuh. Sudah dua hari ia bolak-balik begadang demi menyenting video terbaru ke kanal YouTube-nya—video paling jujur yang pernah ia buat.
Judulnya saja sudah seperti pengakuan dosa: “Apa Gunanya Jadi Diri Sendiri Kalau Ngak Ada yang Dengerin?”
Tapi bukan hanya soal video. Hari-hari belakangan ini, tekanan datang dari semua arah.
Mulai dari sekolah, di mana ia mulai merasakan ekspektasi dari guru-guru terhadapnya berubah sejak pidato kesehatan mental itu viral di media sosial sekolah. “Aditya si anak inspiratif.”
“Aditya si pelopor Teman Pagi.”
“Aditya si panutan.”
Kata-kata itu terdengar manis, tapi di pundaknya justru makin menindih. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti sedang ditonton semua orang.
Apalagi ketika rumor-rumor mulai muncul bahwa nilai akademiknya anjlok. Beberapa teman bahkan mulai berpikir: “Kamu sibuk banget bantuin orang, tapi nilainya sendiri gimana?” atau “Lo yakin mau lanjut YouTube terus, Dit?”
Kemudian dari rumah—atau lebih tepatnya, dari Pakde. Suatu malam, saat Aditya pulang lebih malam karena pertemuan komunitas Teman Pagi, Pakde menyambutnya dengan wajah muram.
“Kamu pikir komunitas itu bisa berhasil di masa depan?” kata Pakde tanpa basa-basi. “Kalau kamu mau kuliah dengan uang saya, kamu harus buktiin bahwa kamu bisa fokus. Bukan sibuk jadi pahlawan sosial.”
Kalimat itu membuat Aditya bungkam. Ia tak menjawab, hanya diam menatap lantai sambil memegang taliku. Aku merasakan jari-jarinya gemetar.
Pagi itu, Aditya menatap bayangannya di cermin. Mata panda, rambut berantakan, dan wajah penuh keraguan. Tapi tetap ia pakai seragam. Tetap ia gendong aku di bahu. Walau bahunya mulai turun ke samping.
Di sekolah, dia duduk diam. Tak ikut ramai saat istirahat. Bahkan Ayu pun sempat bertanya pelan, “Lo kenapa, Dit? Lo kayak... balik jadi lo yang dulu.”
Ia hanya tersenyum kecut. “Mungkin karena gue memang belum pernah benar-benar berubah.”
Ayu tidak memaksa. Tapi ekspresi wajahnya seperti sedang berusaha menahan banyak hal yang ingin diucapkan. Mungkin karena dia tahu, Aditya sedang dalam mode “diam bukan berarti baik-baik aja.”
Sepulang sekolah, Aditya tidak langsung pulang. Ia menuju warnet kecil yang sepi di ujung jalan, tempat dulu ia pertama kali mengunggah video Roblox. Tempat itu kini seperti ruang nostalgia, tapi juga mengingatkan akan semua proses yang sudah ia lewati.
Ia duduk, menyalakan komputer tua, membuka folder video mentah yang belum dipublikasikan.
Lalu ia mulai berbicara ke kamera.
“Gue pengin jujur. Gue capek. Capek jadi contoh. Capek jadi 'versi baik' dari diri gue. Gue pengin jadi orang biasa yang ngerasa bingung, gagal, takut... tanpa harus minta maaf karena itu.”
Video itu tidak diedit. Tidak diberi backsound yang dramatis. Ia hanya menambahkan satu teks di akhir: Kalau lo juga pernah ngerasa gini, lo nggak sendirian.
Ia mengunggah video itu malam itu juga. Lalu matikan semua notifikasi.
Dua hari setelahnya, saat kami kembali ke sekolah, suasana di kelas berubah. Beberapa teman mulai melihat Aditya bukan hanya sebagai “anak panutan”, tapi juga sebagai “anak yang manusia.”
Bayu, yang dulunya aneh, mendekatinya sambil berkata, “Gue nonton videonya. Makasih udah bilang apa yang gue sendiri belum berani ngomong.”
Ayu hanya menatap lama. "Lo tahu nggak, Dit? Video lo itu... nyelamatin banyak orang. Tapi gue harap, yang pertama lo selamatin itu diri lo sendiri."
Dan akhirnya, pada hari Jumat sore itu, komunitas Teman Pagi mengadakan pertemuan internal. Mereka tidak mengadakan acara besar. Hanya lingkaran kecil di ruang musik, duduk berhadap-hadapan tanpa topik khusus.
Aditya yang memulai, "Gue pengin minta maaf. Kalau selama ini kalian ngerasa gue kayak... 'terlalu jadi pahlawan'. Gue juga lagi belajar nerima sisi gelap dalam diri gue. Dan ternyata, itu lebih sulit dari bikin orang lain nyaman.”
Semua diam.
Lalu Raka, yang biasanya ceplas-ceplos, justru berkata pelan, "Justru karena lo jujur kayak gitu, gue jadi percaya. Soalnya lo bukan dewa. Lo juga sama kayak kita."
Satu demi satu, mereka mulai membuka cerita. Tentang tekanan orang tua, rasa minder, ketakutan jadi 'tidak berguna'. Malam itu, saya menyaksikan lingkaran kecil itu jadi semacam suaka bagi jiwa-jiwa yang lelah tapi masih berani datang.
Malamnya, di rumah, Aditya duduk bersama nenek. Ia menceritakan tentang semua kegelisahannya. Tentang tekanan Pakde, soal nilai-nilainya yang turun, dan tentang rasa takutnya jika ia sedang menipu semua orang.
Nenek hanya diam, lalu berkata, "Aditya, kamu itu anak yang punya banyak luka. Tapi bukan berarti kamu harus jadi dokter buat semua orang. Kadang, cukup jadi teman yang luka juga."
Air mata Aditya tumpah. Ia bersandar di bahu neneknya, membiarkan dirinya menjadi anak yang rapuh, bukan pemimpin, bukan inspirasi, bukan pembuat konten.
Malam itu, ia menulis jurnal pendek di buku catatan yang kusimpan dalam perutku:
“Gue pikir kekuatan itu soal pengaruh. Tapi ternyata, kekuatan paling tulus adalah pas kita berani ngaku: gue juga nggak tahu harus gimana, tapi gue di sini buat lo.”
Keesokan harinya, Teman Pagi membuat keputusan penting: mereka akan mengubah format komunitas.
Tidak hanya sebagai tempat curhat, tapi juga wadah belajar bersama. Tentang emosi, tentang keterampilan hidup, bahkan tentang batasan. Ayu menyarankan mengundang narasumber, dan semua setuju.
Aditya tidak lagi menjadi 'pemimpin utama'. Tapi dia tetap hadir, sebagai teman yang belajar bersama.
Dan aku, tas hitam ini, tahu betul: ini bukan akhir. Ini baru titik balik.
Karena saat seseorang berhenti pura-pura kuat, disitulah kekuatan sejati mulai tumbuh.
***