Aditya berdiri di depan cermin kamar, mencoba tiga gaya rambut berbeda—tanpa hasil yang memuaskan. Ia tertawa sendiri, lalu akhirnya menyisir rambut seperti biasa: rapi ke samping. Aku, tergantung di punggung kursi, tahu kenapa ia ribet sejak pagi. Hari ini, ia akan berbicara di depan teman-teman satu angkatan, dalam sebuah acara bincang inspiratif bertema “Suara Kita”.
Bukan acara resmi sekolah. Ini proyek dari kelompok ekskul jurnalistik dan OSIS gabungan. Ide dari Bu Ratih dan beberapa guru—untuk memberi ruang bagi siswa yang menyuarakan pengalaman dan pemikiran mereka. Sesuatu yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya di sekolah ini.
Dan Aditya diminta jadi salah satu pembicara.
Bukan karena dia juara kelas. Bukan karena dia ketua OSIS. Tapi karena dia pernah terpuruk. Dan karena itu, saya berani memikirkan soal itu.
“Ada yang mau tahu kenapa saya pernah menghapus sekolah minggu?” suara Aditya terasa gemetar dari balik mic. Tangannya memegang pinggiran podium, dan aku bisa merasakan sedikit getaran dari tubuhnya. Tapi dia tidak lari.
Beberapa siswa di aula diam. Beberapa lainnya terlihat penasaran. Ayu duduk di deretan depan, menyemangati dengan pandangan penuh dukungan. Bahkan Reya duduk di pojok, tak kalah fokus mendengarkan.
"Saya bukan anak yang mudah dibuka. Dulu saya pikir, semua masalah harus disimpan sendiri. Tapi ternyata, menyimpan itu bukan berarti kuat. Kadang, malah bikin kita meledak dari dalam."
Dia berhenti sebentar. Menarik napas. Lalu tersenyum.
"Saya anak dari keluarga yang tidak utuh. Ibu saya meninggal saat aku masih SMP. Ayah saya—nggak tahu dia di mana sekarang. Saya tinggal sama nenek. Dan kadang, sama Pakde. Saya kira, asal saya tetap terlihat biasa-biasa aja, semua akan baik-baik aja."
Beberapa wajah mulai berubah. Tidak semua orang tahu cerita itu. Tapi Aditya tidak tampak menyesal membaginya. Ia menatap lurus.
"Yang bikin hidup makin berat itu bukan masalah, tapi perasaan sendirian. Dan makin lama saya simpan sendiri, makin berat rasanya. Sampai akhirnya saya cuma bisa nangis di kamar, marah ke semua orang, dan pengin hilang."
Dia menghela napas.
“Tapi ternyata... saya nggak sendirian. Ada temen saya yang nyari. Ada guru yang care. Ada tempat buat cerita. Dan perlahan, saya belajar bilang: 'saya nggak baik-baik aja.' Itu kalimat paling sulit buat saya ucapin. Tapi itu juga titik balik saya.”
Suara di ruangan yang sunyi. Bahkan kipas angin terdengar jelas.
Aditya melanjutkan, kali ini lebih tenang. "Hari ini saya pengin bilang ke siapa pun yang lagi ngerasa sendiri: kamu nggak sendirian. Nggak harus jadi berani hari ini juga. Tapi coba buka satu pintu. Coba cerita ke satu orang. Coba izinkan diri kamu buat sembuh."
Lalu ia menutupnya dengan kalimat, “Dan jangan takut terlihat rapuh. Karena dari mengulang-retak itu, cahaya bisa masuk.”
Tepuk tangan meledak. Beberapa siswa terlihat menunduk. Beberapa lainnya berdiri. Bu Ratih menatap Aditya dengan mata berkaca-kaca. Dan aku—tas tua yang dulu ikut menampung air mata Aditya diam-diam di kamar—merasa bangga.
Anak ini tidak lagi bersembunyi.
Dia mulai berdiri.
Sore harinya, kami berjalan pulang melewati jalur biasa. Tapi langkah Aditya kali ini lebih ringan, meski aku tetap berisi penuh. Ia mampir ke warung dekat gang, beli dua gorengan, lalu duduk di tepi taman kecil dekat rumah.
Tak banyak yang dia lakukan. Hanya duduk, makan, lalu menatap langit.
Tapi aku tahu, dalam diamnya itu, ada rasa lega yang tak bisa dijelaskan.
Malamnya, di kamar, Aditya menulis lagi. Jurnal harian yang kini mulai menjadi kebiasaan baru.
"Hari ini aku bicara. Dan ternyata, rasanya bukan cuma lega. Tapi kayak—akhirnya suara yang lama ketahan, bisa keluar. Dan yang paling aneh, orang-orang dengerin."
"Dulu gue pikir satu-satunya tempat gue bisa jadi diri sendiri ya cuma pas main Roblox di YouTube. Tapi ternyata, dunia nyata juga bisa jadi tempat aman. Asal... gue berani buka pintu duluan."
Aku ingin menggenggam tangan. Tapi aku cuma tas. Jadi aku hanya duduk diam di sudut kamar, menyerap udara malam yang terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.
Aditya sudah tidak lagi bersembunyi.
Dan ini baru permulaan.
***