Aku tahu ada yang berubah dari langkah Aditya pagi ini.
Bukan soal beratku—isinya masih sama: binder tugas, satu novel remaja yang baru dipinjamnya dari perpustakaan, dan sebotol air minum. Tapi langkahnya… ada irama yang baru. Bukan lagi langkah anak yang menghindari dunia, tapi seseorang yang mulai mengukuhkan tempatnya di dalamnya.
Pagi itu, sebelum sekolah dimulai, Aditya menyempatkan diri mampir ke ruang OSIS. Raka dan Ayu sudah di sana, tengah menempel pengumuman di papan informasi. Tema besar bulan ini: Kreativitas Digital dan Kesehatan Mental.
“Lo yakin mau tampil?” tanya Raka, menoleh ke arah Aditya sambil menggenggam lakban bening.
Aditya mengangguk. “Gue gak bakal tampil sebagai ‘Aditya si gamer’. Gue cuma mau bawa cerita. Yang nyata.”
Ayu tersenyum tipis. “Gue suka channel lo yang baru. Suara lo... kedengeran kayak orang yang benar-benar ada. Bukan karakter.”
Aditya mengangkat bahu. “Gue baru sadar, mungkin selama ini gue terlalu sibuk jadi karakter.”
Di kelas, aku berdiam di bawah mejanya saat ia membuka laptop, mengecek komentar-komentar terbaru di channel barunya, Belakang Panggung. Bukan ratusan komentar—baru belasan. Tapi hampir semua panjang dan jujur.
“Gue ngerasa ini bukan channel YouTube, tapi tempat buat berhenti sebentar.”
“Gue dengerin pas mau tidur. Rasanya kayak ditemani.”
“Lo ngebantu gue buat berani nangis. Makasih.”
Aku bisa merasakan dada Aditya mengembang pelan. Ia membalas satu per satu komentar itu. Bukan dengan emoji, bukan dengan "thanks", tapi dengan kalimat utuh. Kalimat yang terasa hidup.
Saat jam istirahat, Bayu mendekatinya. Kali ini tanpa geng motor, tanpa gaya sok asik, tanpa ironi di wajah.
“Dit, gue nonton videomu yang baru…” katanya pelan, “...yang judulnya soal ‘berhenti jadi lucu’.”
Aditya hanya menatapnya, menunggu lanjutan kalimat yang biasanya tidak pernah datang.
“Gue pernah ngerasa itu juga. Tapi waktu itu, gue malah ngetawain orang lain biar gak ditertawain.”
Ada keheningan sebentar. Aku bisa mendengar napas mereka—dua remaja yang selama ini salah paham satu sama lain, bukan karena saling benci, tapi karena sama-sama takut kelihatan lemah.
Aditya mengangguk. “Kita bisa mulai dari sini, Bay. Ngobrol tanpa harus ngelucu.”
Bayu mengangguk kecil. “Thanks, Dit.”
Sepulang sekolah, Aditya merekam lagi.
Kali ini di kamar, tanpa naskah, hanya suara dari hati. Aku duduk di kursi kerja, menemaninya dalam diam seperti biasa.
“Halo. Ini gue lagi gak tahu harus ngomong apa, tapi pengin tetap ada.”
“Gue pengin cerita soal sesuatu yang dulu gue pikir harus ditutup-tutupi: hidup yang gak rapi.”
“Gue dulu bikin konten biar bisa diterima. Tapi sekarang, gue bikin konten biar bisa nerima diri gue sendiri.”
“Gue sadar dua dunia itu—dunia maya dan dunia nyata—gak harus jadi dua kepribadian.”
“Gue bisa jadi orang yang sama di keduanya, pelan-pelan.”
Malamnya, setelah makan malam bersama nenek—yang hanya menatap Aditya dengan mata haru tanpa banyak bicara—ia duduk di teras.
“Channel barumu masih lanjut?” tanya sang nenek sambil membawa teh jahe.
Aditya mengangguk. “Yang ini bukan buat viral. Tapi buat yang butuh ruang.”
Nenek tersenyum. “Dari dulu, aku tahu kamu bukan anak yang suka keramaian. Tapi kamu juga bukan anak yang sembunyi.”
Ia menatap langit malam. “Kamu tuh... anak yang belajar nyala dengan caranya sendiri.”
Sebelum tidur, Aditya menuliskan di jurnal—kertas yang sudah mulai penuh dan lembab karena pernah ketumpahan minuman dari dalam tasku:
“Gue gak tahu sampai kapan gue bisa jujur terus. Tapi malam ini, gue ngerasa cukup.”
“Cukup buat bilang ke diri gue sendiri: lo gak harus jadi dua orang.”
“Cukup jadi satu. Yang asli.”
Aku tahu—ini bukan akhir dari pencariannya. Tapi ini adalah titik ketika dua dunia yang tadinya terpisah, mulai menyatu di dalam dirinya.
Aku, si ransel hitam, masih di punggungnya. Dan sekarang, aku membawa bukan hanya beban harian, tapi satu suara yang jujur—dari seorang remaja yang sedang belajar menjadi utuh.
***