Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Aku kembali menempel erat di punggung Aditya pagi itu, dan bisa kurasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut, tapi karena bersemangat. Tangannya membawa laptop di dalam perutku, bersama catatan skrip yang masih belum selesai ia rapikan. Hari ini adalah hari rekaman pertama Teman Pagi versi baru.

Tapi berbeda dari biasanya, Aditya tak datang dengan niat menyuarakan isi kepalanya. Hari ini, ia datang untuk mendengarkan.

Di ruang musik yang dipinjam khusus oleh Bu Ratih, empat kursi disusun setengah lingkaran. Di tengahnya, ada satu mikrofon dan selembar kertas dengan tulisan tangan besar:

“Apa satu suara dalam diri kamu yang paling sering kamu abaikan?”

Aku diletakkan di pojok ruangan, dekat speaker kecil. Dari posisi itu, aku bisa melihat mereka semua. Arvin, Ayu, Raka, dan satu orang yang tak pernah muncul di episode sebelumnya: Rani.

Rani adalah siswi kelas XI IPS, dikenal pendiam, selalu duduk di pojok kelas, dan kalau bicara suaranya hampir seperti bisikan. Tapi hari ini, Aditya memilihnya jadi narasumber pertama.

“Kalau nggak nyaman, boleh berhenti kapan aja ya, Ran,” ujar Aditya dengan lembut.

Rani mengangguk, lalu mengambil napas. “Sejak kecil, aku sering dibilang ‘terlalu sensitif’. Padahal... aku cuma cepat nangis. Cepat takut. Cepat mikir.”

Tangannya gemetar. Tapi ia terus bicara.

“Aku sering pura-pura jadi cuek biar nggak dikatain lemah. Tapi makin lama, aku nggak tahu mana aku yang beneran.”

Sunyi.

Hanya mikrofon yang mendengar, dan kami semua yang ada di ruangan itu. Tapi dari diamnya Ayu, dari sorot mata Arvin, dari napas pelan Raka, aku tahu: tidak ada yang menilai. Hanya mendengarkan.

Lalu, giliran Aditya.

“Dulu aku mikir, harus bikin podcast supaya bisa bantu orang lain. Tapi sekarang aku sadar... aku cuma pengin punya tempat yang nggak nge-judge.”

Rani tersenyum kecil. “Tempat itu... aku rasa aku baru nemu sekarang.”

Dan saat itulah, aku merasa: ruangan kecil itu bukan sekadar tempat rekaman. Tapi ruang aman yang mereka ciptakan sendiri, dari keberanian dan ketidaksempurnaan.

Keesokan harinya, rekaman itu diunggah sebagai Teman Pagi Edisi Baru #1: Suara yang Sering Diabaikan. Tanpa intro musik ceria. Tanpa gaya Aditya yang biasanya menghibur. Hanya percakapan jujur yang direkam dengan nada pelan.

Komentar pertama datang dari akun bernama @senyumsenja:

“Akhirnya ada ruang buat kami yang nggak pandai berkata-kata. Terima kasih.”

Tapi tak semua komentar manis. Ada juga yang menulis:

“Kok isinya jadi berat banget? Mana game-nya? Kangen Dit yang dulu.”

Aditya membaca semuanya. Satu per satu. Tapi malam itu, dia tidak gelisah seperti biasanya. Ia hanya menatap layar, lalu berkata pelan, “Mungkin mereka bener. Tapi... ini versi aku yang sekarang.”

Aku merasa seperti ikut tumbuh bersama dia. Sebuah bentuk baru dari keberanian: bukan hanya berani bicara, tapi juga berani kehilangan penggemar demi kejujuran.

Namun dunia nyata belum tentu sepakat.

Hari Rabu, aku ikut Aditya menghadap wali kelas karena sebuah amplop dari rumah.

“Nilai fisika kamu turun,” kata Bu Nirmala. “Dan ada permintaan dari orang tua supaya kamu lebih fokus ke akademik.”

Aditya menunduk. “Saya masih belajar, Bu. Cuma... saya juga sedang ngatur waktu buat proyek pribadi.”

“Proyek apa?”

“Podcast, Bu.”

Wajah Bu Nirmala tampak ragu. “Saya khawatir kegiatan ini ganggu fokus. Ini sudah kelas XI. Sebentar lagi kamu harus pilih jurusan. Jangan sampai menyesal.”

Aku merasakan dadanya sedikit sesak. Tapi ia mengangguk, sopan.

Tapi setelah keluar ruangan, ia duduk lama di bangku lorong, memandangi jari-jarinya.

“Kalau aku harus milih... mana yang lebih penting? Suara orang lain? Atau nilai fisika?”

Tak ada yang bisa menjawab. Tapi aku tahu, dua hal itu sama pentingnya bagi dia. Karena keduanya adalah bagian dari siapa dirinya sekarang: murid yang ingin membahagiakan keluarganya, sekaligus remaja yang ingin dimengerti.

Hari Jumat, Bu Ratih mengajak Aditya ngobrol empat mata. Aku diletakkan di lantai ruang BK, cukup dekat untuk mendengar.

“Kamu tahu nggak kenapa saya setuju kamu bikin podcast itu di sekolah?” tanya Bu Ratih.

Aditya menggeleng.

“Karena saya percaya, kamu tahu batas. Tapi juga... karena kamu butuh ruang yang nggak diukur dengan nilai rapor.”

Aditya menggigit bibir. “Tapi sekarang, semua orang lihatnya nilai saya turun.”

“Nilai bisa dikejar. Tapi pemahaman diri? Nggak semua orang dapat kesempatan itu saat remaja.”

Suasana hening. Lalu Bu Ratih melanjutkan.

“Tapi kamu juga perlu kompromi. Bukan tunduk. Tapi negosiasi. Misalnya, batasi jumlah episode saat mendekati ujian. Atau libatkan orang tua dalam proses bikin kontennya. Biar mereka ngerti, kamu bukan kabur. Kamu sedang cari arah.”

Itu saran yang adil. Dan Aditya mengangguk. Perlahan. Tapi pasti.

Malam itu, ia menulis di jurnal:

“Gue mulai ngerti. Nggak semua orang bakal setuju sama jalan yang gue pilih. Tapi setidaknya, gue bisa belajar menjelaskan kenapa gue memilih jalan itu.”

Lalu ia menatap ke arahku, lalu ke laptopnya, dan membuka folder berisi draft episode baru.

Aku tahu, Teman Pagi bukan cuma podcast. Ini adalah cara dia menyusun ulang hidupnya—dari serpihan pertanyaan yang selama ini tak pernah ia berani ucapkan.

Dan aku, si tas ransel hitam yang selalu berada di punggungnya, akan terus menjadi saksi—bahkan untuk hal-hal yang tak direkam, tak ditulis, dan tak pernah diunggah.

*** 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The First 6, 810 Day
505      355     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Main Character
836      542     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Our Perfect Times
803      582     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
SABTU
2220      894     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Bisikan yang Hilang
55      50     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Can You Hear My Heart?
402      234     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Kacamata Monita
656      299     0     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Happy Death Day
551      300     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Di Bawah Langit Bumi
2034      771     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...