Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Pagi itu, aku merasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena buku pelajaran atau botol minum yang penuh. Tapi karena kepala Aditya penuh dengan pikiran-pikiran yang sulit dirapikan. Langkah kakinya menuju sekolah pelan, hampir malas, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dihindari. Dan aku tahu persis apa itu.

Sudah seminggu sejak video pengakuannya diunggah. Teman Pagi belum rilis episode baru. Di rumah, Aditya lebih sering membaca atau menggambar iseng daripada menyusun script podcast. Tapi konsekuensi dari keputusannya itu mulai terasa—di dunia nyata, dan di rumah.

“Aditya.”

Suara itu datang dari arah lorong saat kami berjalan menuju kelas. Aku merasakan punggungnya menegang. Sosok tinggi dengan rambut cepak dan wajah datar berdiri di ujung lorong: Bayu. Siswa kelas 11 yang dulunya satu angkatan dengan Raka di ekskul jurnalistik.

“Kamu serius berhenti?” tanya Bayu tanpa basa-basi.

Aditya mengangguk pelan. “Nggak berhenti. Cuma... jeda.”

Bayu menghela napas, lalu mendekat. “Gue ngerti sih, capek itu manusiawi. Tapi podcast lo itu udah jadi sumber keberanian banyak orang, Dit. Termasuk adik gue. Dia dengerin lo tiap malam.”

Aditya menunduk. “Gue cuma nggak mau pura-pura kuat terus.”

Bayu terdiam, lalu menepuk pundaknya. “Kalau gitu, pas lo balik nanti, jangan balik sebagai ‘penyelamat’. Balik aja sebagai teman. Itu cukup.”

Setelah Bayu pergi, Aditya termenung lama. Tapi aku bisa merasakan satu hal: kata-kata itu tidak menyudutkannya. Justru... membebaskan.

Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tapi jam terakhir berubah jadi sesuatu yang lain ketika Bu Ratih, guru BK, masuk kelas tanpa memberi pengantar. Ia membawa beberapa lembar kertas dan memandang murid-murid dengan mata yang hangat.

“Hari ini, saya cuma mau ngobrol,” katanya. “Bukan soal nilai. Tapi soal tekanan.”

Semua mendengarkan.

“Saya tahu banyak dari kalian yang punya dunia di luar kelas. Ada yang punya channel YouTube, ada yang ngurus adik di rumah, ada yang ikut lomba tiap bulan. Tapi coba jujur, siapa di sini yang pernah merasa... capek jadi diri sendiri?”

Beberapa tangan terangkat, termasuk Aditya.

Bu Ratih mengangguk. “Capek jadi versi yang diharapkan semua orang, ya?”

Beberapa murid mengangguk pelan.

“Dulu saya kira jadi guru BK itu harus selalu tenang, tahu solusi, bisa nangkep anak yang bohong. Tapi kenyataannya... saya juga sering ragu. Bahkan sering salah. Tapi saya belajar satu hal: menjadi dewasa bukan tentang selalu benar. Tapi tentang berani memperbaiki.”

Kelas hening. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti... hening yang membuka ruang.

Aditya mengangkat tangan. “Bu, boleh nanya?”

“Tentu.”

“Kalau kita udah terlanjur bikin citra, di internet atau di rumah, gimana cara lepasnya?”

Bu Ratih tersenyum. “Bukan lepas. Tapi jujur. Biar orang tahu, citra itu hanya bagian dari kita. Bukan keseluruhannya.”

Aku bisa merasakan napas Aditya lebih lega. Sebuah kunci kecil seperti baru saja diberikan kepadanya.

Tapi dunia luar sekolah tidak semudah itu.

Malam harinya di rumah, Aditya baru saja selesai mencuci gelas ketika neneknya memanggil dari ruang tamu. Tapi bukan nenek yang sedang duduk di sana.

Melainkan... tante Dina, adik almarhum ibunya.

“Aku lihat channel YouTube kamu sekarang isinya bukan game lagi,” ucap tante Dina, tanpa senyum.

Aditya mengangguk. “Iya, Tan. Aku lagi... nyoba hal baru. Lebih ke podcast.”

“Podcast? Tentang perasaan? Tentang curhat?”

Ia tahu arah pembicaraan ini. Dan seperti biasa, nadanya mulai menegang.

“Nenekmu bilang kamu sering ngurung diri. Sekarang malah ngomong soal ‘mental health’ di internet. Kamu yakin itu berguna?”

Aditya menahan napas. “Aku yakin... itu dibutuhkan. Banyak orang ngerasa kesepian. Termasuk aku dulu.”

Tante Dina mengangkat alis. “Dan kamu pikir dengan podcast itu kamu bisa... nyembuhin orang?”

“Enggak. Aku cuma pengin jadi teman. Bukan penyelamat.”

Suara itu mantap. Tapi di dalam, aku tahu hatinya bergetar.

Tante Dina menghela napas panjang. “Aditya, kamu cowok. Harus kuat. Jangan kebanyakan mikirin hal-hal abstrak. Fokus ujian. Lulus. Lanjut cari kerja yang mapan. Itu baru jelas.”

Kalimat itu seperti tembok yang kembali muncul. Dingin. Kaku. Dan tinggi.

Malam itu, Aditya duduk di teras sendirian. Aku ada di sampingnya. Di pangkuannya ada kertas ulangan Matematika—nilai 85. Tapi tidak ada senyum.

“Aku bukan angka. Bukan program. Aku cuma pengin ngerti kenapa aku kayak gini,” gumamnya pelan.

Ia membuka jurnal, lalu menulis:

“Gue capek jadi versi ‘anak pintar’. Gue juga pengin gagal. Gue pengin ngulang. Gue pengin jujur. Tapi jujur itu mahal.”

Hari Sabtu, komunitas Teman Pagi akhirnya kumpul lagi. Tapi kali ini bukan untuk rekaman. Mereka cuma duduk di taman, makan gorengan, dan ngobrol.

Ayu membawa papan tulis kecil, menulis satu pertanyaan besar:

“Kalau lo bisa ngomong sesuatu ke diri lo sendiri versi umur 10 tahun, lo bakal bilang apa?”

Satu per satu mereka menjawab:

Arvin: “Nggak usah sok jago. Boleh kok jadi biasa.”

Ayu: “Jangan terlalu mikirin omongan orang. Nggak semua penting.”

Raka: “Lo nggak perlu jadi yang paling kuat buat disayang.”

Aditya: “Lo nggak harus jadi yang semua orang suka. Lo cukup jadi yang lo butuh.”

Setelah menulis itu, Aditya diam lama. Lalu berkata, “Gue mau mulai lagi podcast-nya. Tapi dengan format baru. Lebih banyak dengerin. Lebih banyak ngasih ruang buat cerita orang lain.”

Ayu tersenyum. “Kalau gitu, episode pertamanya tentang apa?”

Aditya menatap ke langit. “Tentang hidup sebagai dua versi: yang di layar, dan yang di cermin.”

Malam itu, Aditya mulai menyusun konsep baru. Di layar laptopnya, ia menulis:

“Selamat datang kembali di Teman Pagi. Kali ini, bukan tempat buat jawaban. Tapi buat pertanyaan. Bukan tempat buat kesempurnaan. Tapi buat keberanian.”

Ia menatap tasku yang terletak di sisi meja, lalu tersenyum kecil. “Siap, ya?”

Aku tidak bisa menjawab. Tapi dalam diamku, aku tahu: perjalanannya belum selesai. Tapi sekarang, ia melangkah sebagai dirinya sendiri—bukan hanya sebagai bayangan digital.

Dan aku, si ransel hitam, akan terus jadi saksi perjalanan itu.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Help Me Help You
1505      878     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Rumah?
47      45     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Reandra
1381      940     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Glitch Mind
39      36     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Matahari untuk Kita
602      355     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Spektrum Amalia
680      467     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Rumah Tanpa Dede
113      75     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
FaraDigma
695      407     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
The Boy Between the Pages
906      665     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...