Hari itu aku ikut menempel di punggung Aditya saat langkahnya lebih cepat dari biasanya. Nafasnya pendek, tangannya mencengkeram tali tasku lebih erat. Ia baru saja melihat notifikasi yang membanjiri ponselnya.
Podcast Teman Pagi yang tayang kemarin—episode keempat berjudul "Aku Nggak Pernah Cerita ke Siapa-Siapa"—mendadak viral.
Bukan karena soundbite lucu, bukan karena efek viral TikTok, tapi karena cerita Arvin. Tentang perundungan diam-diam yang ia alami sejak SMP. Tentang pernah ingin pindah sekolah, bahkan pernah berpikir untuk menyerah sepenuhnya.
Seorang akun besar di X (dulu Twitter) mengutip potongan kalimat Arvin:
“Rasanya kayak jalan sendirian, tapi setiap langkah dipelototi.”
Lalu menulis:
"Kenapa baru sekarang ada podcast kayak gini? Ini lebih penting dari edukasi formal."
Beberapa akun media ikut menyorotnya. Komentar masuk ratusan, bahkan ribuan. Sebagian besar menyemangati, memuji keberanian Arvin, mengangkat Teman Pagi sebagai podcast jujur anak sekolah.
Tapi tak semua reaksi baik.
Ada akun anonim yang menyebarkan potongan audio dan menyindir:
“Podcast sekolah rasa ruang curhat lebay. Bukan nyari solusi, tapi validasi.”
Beberapa orang mulai menyelidiki. Mencari tahu siapa Aditya. Siapa Arvin. Sekolah mana.
Tak butuh waktu lama sampai seorang guru mengirim pesan ke grup WA guru:
"Podcast ini bisa mencoreng nama baik sekolah kalau tak dikontrol. Siapa izinkan konten seperti itu tayang?"
Hari itu, Aditya dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Aku disampirkan di kursi dekat pintu. Ia duduk sendirian di hadapan Pak Heru—kepala sekolah yang lebih sering sibuk administrasi daripada urusan siswa. Tapi hari ini, ekspresi wajahnya serius.
“Aditya, kami tahu kamu punya niat baik. Tapi ketika sesuatu jadi konsumsi publik, tanggung jawabnya juga beda.”
“Pak, kami nggak sebut nama sekolah. Nggak ada yang kami salahkan juga.”
“Masalahnya bukan cuma menyebut atau tidak menyebut,” kata Pak Heru. “Ini soal persepsi. Dan sekarang publik mengaitkan cerita perundungan dengan institusi kami.”
Aditya diam. Tapi aku tahu, di dadanya, perasaan bersalah dan kecewa berkecamuk. Bukan karena merasa salah, tapi karena merasa tak didengar.
Di rumah, suasana makin panas.
Pakdenya memanggilnya ke ruang tengah. Di meja, ada cetakan tangkapan layar komentar-komentar yang menyebut nama Aditya, disertai komentar nyinyir.
“Ini yang kamu banggakan? Sampai sekolahmu bisa kena masalah karena kamu?”
“Bukan gitu maksudnya, Pakde. Ini tempat buat temen-temen cerita. Bu Ratih juga tahu dan—”
“Bu Ratih bukan yang bayar uang sekolah kamu. Kamu itu anak laki-laki. Fokus dong! Mau masuk jurusan apa nanti? Nilai turun, sekarang malah bikin masalah.”
Aku bisa merasakan tubuh Aditya menegang. Ia tak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tapi setelah itu, malamnya, ia memandangi laptop tanpa membuka file apapun.
Ia memandangi mikrofon kecil yang biasa dipakainya, lalu menutupnya dengan kain hitam. Seolah ingin berkata, “Diam dulu, ya.”
Hari-hari berikutnya jadi sepi. Tak ada rekaman. Tak ada unggahan. Grup Teman Pagi pun sunyi. Raka sempat mengirim pesan:
“Lo oke, Dit?”
Tapi Aditya hanya membalas dengan emoji jempol. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara gurunya di kelas, suara notifikasi PR, dan suara kecemasan yang makin besar dalam dirinya.
Minggu sore, Bu Ratih datang ke rumah. Ia duduk di teras bersama nenek Aditya. Mereka bicara pelan. Aku diletakkan di kursi samping, bisa mendengar sepenuhnya.
“Saya nggak datang sebagai guru BK, tapi sebagai seseorang yang tahu Aditya punya potensi,” kata Bu Ratih.
Neneknya menatap ragu. “Tapi saya khawatir. Dia terlalu terbuka. Dunia nggak selalu ramah.”
“Saya mengerti. Tapi mungkin kita bisa bantu dia belajar membatasi, bukan mematikan.”
Nenek Aditya akhirnya bicara. “Anak ini baru mulai ngerti dirinya, Bu. Kalau sekarang kita paksa dia diam... takutnya nanti dia lupa gimana caranya ngomong lagi.”
Kalimat itu tak disambut dengan balasan. Hanya hening. Tapi kadang, diam adalah titik temu.
Malam harinya, Aditya menyalakan laptop. Ia membuka folder Teman Pagi. Tapi tidak untuk unggah.
Ia membuat catatan baru:
“Hal-hal yang Nggak Bisa Gue Kontrol”
Komentar orang lain.
Persepsi publik.
Ketakutan orang tua.
Reaksi sekolah.
Masa lalu orang yang bercerita.
Lalu ia buka catatan berikutnya:
“Hal-hal yang Masih Bisa Gue Pilih”
Terus jadi ruang dengerin orang.
Ngejaga temen yang udah percaya.
Belajar jujur tanpa nyakitin.
Pelan-pelan ngejelasin ke orang rumah.
Nggak berhenti jadi diri sendiri.
Pagi Senin, ia datang ke sekolah tanpa mikrofon. Tapi ada seberkas cahaya dalam langkahnya. Ia menulis di papan pengumuman komunitas:
“Teman Pagi vakum sejenak. Tapi ruang ini tetap ada. Bukan di podcast. Tapi di kantin, taman belakang, atau lorong sepi. Kalau kamu butuh cerita, cukup bilang: ‘Pagi’. Kita dengerin bareng-bareng.”
Di perutku, ada catatan kecil yang ia selipkan diam-diam:
“Kalau suara gue terlalu nyaring buat mereka, nggak apa-apa. Gue bisa pelan-pelan. Tapi gue nggak akan sepenuhnya diam.”
Dan aku, si ransel hitam, akan terus ikut ke mana pun ia melangkah. Meski tak lagi bising oleh rekaman, tapi tetap penuh oleh makna.
***