Suatu hari, Aditya menatap layar laptopnya begitu lama, sampai sinar birunya memantul ke kaca jendela dan membuat wajahnya seperti bayangan dua sisi: satu versi di dalam layar, satu versi di dunia nyata. Aku, tas yang setia menemaninya, tergeletak di lantai dekat meja. Dan dari bawah sana, aku bisa melihat perbedaan dua wajah itu.
Di layar, Aditya tersenyum, bicara lancar, penuh percaya diri. Ia menyapa ratusan penonton yang menunggu konten baru, lengkap dengan opening khasnya yang mulai dikenal:
“Halo, balik lagi di Teman Pagi. Podcast yang nemenin kamu ngerapihin hati...”
Tapi di dunia nyata, Aditya sedang bingung sendiri. Berkeringat. Beberapa catatan berserakan. Script yang sudah ia tulis dua jam lalu terasa hambar. Ia menghapusnya. Menulis lagi. Hapus lagi.
“Kenapa semua kata-kata gue kayak niru orang lain, ya?”
Beberapa hari belakangan, komentar di video YouTube-nya mulai berubah. Biasanya penuh dukungan, sekarang muncul nada-nada halus tapi tajam:
“Topiknya mulai basi, ya?”
“Kok kayak ngulang-ulang, Bang?”
“Dulu lebih jujur. Sekarang kayak nyari aman doang.”
Komentar-komentar itu kecil, tapi menggigit. Dan Aditya membacanya semua. Berkali-kali. Ia tidak membalas satu pun. Tapi aku tahu, ia mengulangnya di kepala seperti mantra terbalik.
Aku bisa merasakan beban yang ia bawa makin berat. Sebab aku juga yang menampung semua perlengkapan: mikrofon kecil, catatan, kamera saku, hingga power bank yang nyaris selalu habis. Tapi yang paling berat bukan barang-barang itu—melainkan keraguan.
Keraguan tentang siapa dirinya sebenarnya.
Suatu malam, ia duduk di kamar dalam gelap. Laptop menyala, tapi bukan untuk edit video. Ia buka YouTube-nya sendiri. Menonton ulang episode-episode awal Teman Pagi. Suaranya waktu itu belum terlalu jernih. Pencahayaannya gelap. Tapi ada semangat yang beda.
“Gue pengin podcast ini jadi tempat semua orang bisa ngomong jujur...”
Aditya berhenti di kalimat itu.
Ia memejamkan mata. Menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, lalu bicara pelan, “Kenapa sekarang malah jadi tempat gue pura-pura?”
Keesokan harinya di sekolah, ia makin pendiam. Tidak menyapa Arvin. Tidak ikut komentar soal video TikTok yang viral. Di kelas, ia cuma mencatat pelajaran tanpa suara.
Ayu menyadari perubahan itu. Saat istirahat, ia duduk di samping Aditya dan bertanya, “Lo lagi mikirin podcast, ya?”
Aditya mengangguk. “Gue kayak... kejebak sama citra yang gue bangun sendiri.”
“Citra?”
“Gue bikin persona di internet—cowok yang kuat, positif, ngerti masalah orang lain. Tapi nyatanya gue sendiri lagi nggak ngerti harus gimana.”
Ayu menatapnya serius. “Jadi lo ngerasa harus selalu jadi versi ‘bagus’ dari diri lo di depan kamera?”
“Ya. Karena itu yang ditunggu orang. Tapi... itu bukan gue setiap saat.”
Ayu menggigit bibir. Lalu berkata pelan, “Gue ngerasa kayak gitu juga di medsos. Di IG, gue kayak cewek keren yang kalem, bijak, feminis. Tapi kenyataannya... gue juga kadang pengin marah, pengin nyinyir, pengin jadi orang biasa.”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa yang pahit.
Sore itu, Aditya tidak langsung pulang. Ia membawa aku ke rooftop sekolah, tempat jarang orang ke sana kecuali kalau galau.
Ia duduk. Membuka catatan. Menulis satu kalimat:
“Teman Pagi akan berubah. Jadi lebih jujur, atau nggak usah lanjut sekalian.”
Lalu ia membuka kamera. Bukan kamera podcast. Kamera HP biasa. Ia bicara langsung ke lensa:
“Hai, ini Aditya. Bukan host Teman Pagi. Bukan konten kreator. Cuma... anak sekolah biasa yang lagi bingung.”
Ia berhenti. Napasnya bergetar. Tapi ia lanjut:
“Gue tahu banyak dari kalian yang suka podcast ini karena ngerasa ada tempat aman. Tapi belakangan, gue sendiri ngerasa makin asing sama konten yang gue buat. Kayak... gue pura-pura tahu segalanya, padahal enggak.”
“Jadi mulai sekarang, gue bakal ambil jeda. Bukan karena gue nyerah. Tapi karena gue butuh jadi manusia dulu. Bukan konten duluan.”
Ia mematikan kamera. Lama menatap layar. Lalu mengunggah video itu tanpa edit.
Efeknya lebih besar dari yang ia kira.
Puluhan komentar masuk. Banyak yang kaget. Tapi sebagian besar justru lega.
“Akhirnya ada yang jujur di medsos.”
“Kami tetap dukung, Kak. Nggak perlu selalu sempurna.”
“Terima kasih sudah jadi nyata.”
Dan untuk pertama kalinya setelah lama, Aditya tidur tanpa mimpi buruk. Ia merebahkan tubuh ke kasur, menarik selimut, dan berkata lirih ke udara, “Gue masih gue, kan?”
Aku, yang tergolek di pojok kamar, ingin menjawab: ya. Kamu masih kamu. Anak laki-laki yang sedang mencari arah, bukan menjual arah.
Beberapa minggu berikutnya, Teman Pagi vakum. Tapi Aditya mulai kembali menulis di jurnal, menggambar di margin buku tulis, bahkan kembali ngobrol santai dengan Arvin dan Raka. Ia terlihat lebih ringan. Lebih... nyata.
Dan suatu sore, ia mengajak Ayu duduk di kantin, tanpa laptop, tanpa mikrofon.
“Gue pengin podcast ini balik lagi. Tapi formatnya beda.”
Ayu tertarik. “Gimana maksudnya?”
“Bukan sebagai pembicara yang ngerti segalanya. Tapi sebagai pendengar juga. Podcast-nya bukan soal solusi, tapi soal proses. Tentang... tumbuh.”
Ayu tersenyum. “Kayaknya nama ‘Teman Pagi’ makin cocok, ya?”
“Kenapa?”
“Soalnya lo kayak fajar. Nggak selalu terang. Tapi selalu muncul lagi, pelan-pelan.”
Malam itu, Aditya mencatat di buku jurnal yang kusimpan di tasku:
“Versi digital gue mungkin keren. Tapi versi asli gue... lebih hidup.”
Dan sebagai tas hitam, aku akan terus menemani perjalanannya. Menyimpan cerita-cerita yang tidak selalu layak jadi konten, tapi selalu layak untuk dikenang.
***