Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Kamu mungkin tak akan pernah benar-benar memperhatikan kursi baris tengah di kelas. Kursi itu bukan yang paling depan untuk anak-anak pintar yang rajin angkat tangan, bukan pula yang paling belakang untuk mereka yang suka kabur dari tanggung jawab. Kursi baris tengah sering kali jadi tempat mereka yang biasa-biasa saja. Yang tak mau menonjol, tapi juga tak ingin benar-benar hilang.

Saka duduk di sana.

Sudah tiga bulan aku mengenalnya lebih dekat. Ia teman sebangku Aditya, teman diskusi, juga—secara tidak resmi—penasihat emosional komunitas Teman Pagi. Tapi tak banyak yang tahu: Saka menyimpan banyak cerita yang bahkan Aditya belum tahu sepenuhnya.

Pagi itu, Saka datang ke sekolah lebih awal. Matanya sedikit sembab. Rambutnya acak-acakan, seperti lupa menyisir. Ia duduk di kursinya, diam. Tidak seperti biasanya yang langsung menyapa Aditya dengan lelucon aneh soal tugas matematika atau guru olahraga yang katanya mirip karakter anime.

Aditya memperhatikannya dari kejauhan, lalu menghampiri.

“Lo nggak apa-apa?”

Saka diam sebentar. Lalu menggeleng. “Nggak tahu. Rasanya kayak... lo tahu kan, balon yang udah terlalu penuh angin? Kayak gitu.”

Aditya tidak menjawab. Ia hanya duduk di sampingnya. Diam. Lalu membuka diriku dan mengeluarkan dua bungkus roti sobek.

“Gue bawa dua. Yang satu buat lo.”

Saka menoleh, tersenyum kecil. “Lo emang aneh. Tapi aneh yang gue butuhin.”

Jam istirahat, mereka pindah ke perpustakaan. Duduk di sudut yang jarang dijamah siswa lain. Di meja kayu yang mulai usang, Aditya membuka topik.

“Gue pengin podcast kita berikutnya bukan soal kesedihan. Tapi soal... hal yang bikin kita tetap jalan.”

Saka mengangguk pelan. Tapi sorot matanya masih suram.

Aditya melanjutkan, “Tapi sebelum itu... kalau lo pengin cerita, gue dengerin.”

Butuh waktu lama sebelum Saka bicara. Dan ketika ia akhirnya membuka suara, nadanya pelan, nyaris seperti bisikan.

“Bokap gue udah bertahun-tahun nggak pulang. Nyokap gue sibuk kerja dan makin keras. Dulu kalau gue dapet nilai jelek, paling dimarahin. Sekarang... dipukul. Di rumah, gue diem. Di sekolah, gue jadi badut. Gue nggak tahu mana yang asli.”

Aditya menelan ludah. Ia pernah mendengar kabar bahwa rumah Saka agak ‘tegang’, tapi tidak pernah menyangka seburuk ini.

“Gue ngerasa kayak... hidup itu film yang terus diputar, tapi gue nggak pernah dapet naskahnya. Jadi tiap hari cuma improvisasi, berharap penonton nggak sadar.”

Beberapa hari kemudian, mereka duduk berempat: Aditya, Saka, Bayu, dan Raka. Kali ini, Bu Ratih ikut bergabung dalam diskusi non-formal sebelum jam pelajaran selesai. Ruangan BK dibiarkan terbuka, angin sore masuk bersama aroma tanah basah.

“Podcast selanjutnya, kita bisa bawa tema ‘Sisi Lain dari Wajah Kita’,” saran Bu Ratih sambil menyeruput teh.

Raka langsung nyeletuk, “Wah, gue takut kalau wajah gue yang satu lagi serem, Bu.”

Bayu tertawa kecil. “Lo lebih serem kalau serius, Ra.”

Aditya melirik Saka. Ia tahu, ini akan berat. Tapi juga tahu: cerita yang paling berat justru yang paling perlu dibagikan.

“Lo siap, Ka?” tanyanya pelan.

Saka mengangguk. “Gue nggak tahu bisa ngomong bagus atau enggak. Tapi gue mau nyoba.”

Sabtu sore. Mereka berkumpul di taman kota, seperti biasa. Kali ini, Aditya membawa laptop dan mikrofon tambahan. Mereka duduk di atas tikar, dengan suara motor dan anak-anak kecil bermain di latar belakang. Tak sempurna. Tapi justru itu yang membuatnya nyata.

Rekaman dimulai.

“Nama gue Saka. Mungkin lo kenal gue sebagai orang yang sering lempar jokes nggak penting. Tapi hari ini, gue pengin cerita tentang sisi lain.”

“Gue dibesarkan di rumah yang nggak selalu aman. Kadang ada hari-hari di mana gue berharap lebih lama di sekolah biar nggak cepat pulang. Tapi gue juga nggak pengin orang kasihan. Karena yang gue cari bukan belas kasihan. Tapi tempat buat jadi diri sendiri.”

“Dulu gue mikir, kalau gue cukup lucu, cukup pintar, cukup nurut, orang bakal suka sama gue. Tapi sekarang, gue sadar... jadi cukup buat diri sendiri itu lebih penting.”

Aditya menatap sahabatnya itu dengan mata yang mulai memanas. Di sebelahnya, Bayu menggenggam tangan Saka sebentar. Raka menunduk, menggosok matanya diam-diam.

“Kalau lo lagi dengerin ini, dan lo juga ngerasa harus pura-pura buat diterima... gue pengin bilang: asli lo, yang lo pikir jelek atau rusak, mungkin justru yang bikin orang lain ngerasa mereka nggak sendirian.”

Podcast itu berakhir dengan keheningan. Bukan karena tak ada yang mau bicara, tapi karena semua sedang mencerna.

Minggu pagi, notifikasi meledak.

Puluhan pesan pribadi masuk ke akun Teman Pagi. Ada yang bilang mereka baru sadar punya teman seperti Saka. Ada yang bercerita soal rumah mereka sendiri. Tapi ada satu yang dibaca berulang-ulang oleh Saka.

“Kak Saka, aku juga suka bercanda biar nggak kelihatan sedih. Tapi ternyata... boleh ya jadi dua-duanya. Terima kasih.”

Di sekolah, Bu Ratih memanggil Aditya dan Saka. Mereka duduk di ruangan BK, dengan suasana jauh dari formal.

“Podcast kalian menyentuh banyak hati. Tapi saya juga tahu, ini nggak gampang,” ucap Bu Ratih.

Ia lalu menoleh ke Saka.

“Ka, kalau kamu mau, saya bisa bantu atur pertemuan dengan konselor luar sekolah. Biar kamu punya ruang yang lebih aman buat ngobrol.”

Saka menunduk. “Saya boleh mikir dulu, Bu?”

“Boleh banget. Ini bukan paksaan. Tapi tawaran. Karena kamu penting. Nggak cuma sebagai pembuat orang lain nyaman, tapi juga sebagai seseorang yang pantas merasa aman.”

Hari-hari berikutnya, Saka mulai berubah. Bukan jadi lebih pendiam. Tapi jadi lebih jujur. Ia tetap melontarkan lelucon, tapi tak lagi sebagai tameng. Ia belajar bilang, “Gue capek,” tanpa takut dianggap manja. Dan entah bagaimana, itu membuat hubungannya dengan teman-temannya justru jadi lebih kuat.

Bayu mulai mengirimkan sketsa-sketsanya untuk konten visual Teman Pagi. Raka mulai mengedit video, menyisipkan potongan vlog yang membuat podcast mereka terasa lebih hidup. Dan Aditya? Ia menulis naskah intro dengan penuh hati, memastikan setiap episode bukan hanya rekaman, tapi pengingat bahwa suara sekecil apa pun layak didengar.

Pada hari Jumat, mereka mendapat kabar bahwa podcast mereka masuk nominasi program digital kesehatan mental remaja di tingkat kota. Meskipun kecil, ini jadi titik penting.

Malamnya, mereka mengadakan sesi live di Instagram komunitas. Komentar mengalir deras. Ada yang bertanya, ada yang curhat, ada juga yang sekadar bilang, “Makasih udah ada.”

Dan di akhir sesi, Saka menutup dengan satu kalimat yang membuat semuanya diam:

“Gue dulu mikir tempat aman itu harus tempat yang tenang. Tapi sekarang gue tahu: tempat aman itu... tempat di mana lo bisa jujur, dan lo tahu lo masih diterima.”

Malam itu, di kamar, Aditya menulis di jurnal:

“Gue bangga sama Saka. Bukan karena dia kuat. Tapi karena dia mau jujur. Dan karena dia ngajarin gue satu hal penting: menjadi pendengar bukan berarti lo harus selalu punya jawaban. Kadang, cukup dengan hadir.”

Aku, si ransel hitam, menyimpan jurnal itu dengan hati-hati. Karena aku tahu, isi di dalamnya akan terus bertumbuh. Sama seperti anak laki-laki pemilikku—dan teman-temannya—yang perlahan-lahan berubah. Bukan jadi seseorang yang sempurna. Tapi seseorang yang berani jadi diri sendiri.

Dan perubahan paling tulus, sering kali dimulai dari suara yang tak pernah terdengar—dari kursi tengah yang selama ini kita abaikan. 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
That's Why He My Man
705      510     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
257      227     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
My Private Driver Is My Ex
336      207     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Dimension of desire
184      152     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Segitiga Sama Kaki
538      378     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Suara yang Tak Pernah Didengar
290      169     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Ruang Suara
173      123     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Wabi Sabi
86      69     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
When Flowers Learn to Smile Again
777      574     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...