Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Aku bisa merasakan bagaimana jantungnya berdetak kencang, seperti ingin melompat keluar dari dada.
Aditya membaca cepat isi surat itu. Tulisannya acak, penuh coretan, seperti ditulis dalam tangis atau panik.
"Gue udah nyoba kuat. Tapi nggak ada yang denger. Di rumah, suara gue kayak angin. Di sekolah, gue cuma jadi lelucon. Gue capek jadi 'anak baik' yang diem-diem patah. Kalau kalian baca ini, mungkin gue udah nggak ada. Atau... mungkin gue lagi cari tempat buat jadi diri sendiri, meski cuma sebentar. Maaf.”
Tiba-tiba, udara di dalam kamar berubah menjadi dingin. Padahal tak ada AC, tak ada kipas. Tapi kata-kata itu menampar keras, lebih keras dari apa pun yang pernah mereka dengar.
“Dia bisa aja pergi ke jembatan Kali Suci,” kata Raka, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia pernah bilang, itu tempat satu-satunya yang bisa bikin dia ngerasa 'tenang'.”
Aditya menoleh cepat. “Lo yakin?”
Raka mengangguk pelan, wajahnya pucat.
Tanpa banyak tanya, Aditya keluar dari rumah. Langkahnya cepat, hampir seperti lari. Malam sudah jatuh sempurna, dan jalanan mulai sepi. Lampu-lampu kota memantulkan bayangan yang panjang di aspal, seperti garis waktu yang kian menipis.
Aku bisa merasakan tubuhnya berkeringat, meski angin malam menusuk kulit. Sepanjang perjalanan, pikiran penuh—tentang suara yang tak sempat didengar, tentang peringatan yang terabaikan, tentang bagaimana satu kalimat "nggak apa-apa" bisa saja menyelamatkan nyawa.
Tiba di jembatan Kali Suci, suasana benar-benar sunyi.
Tak ada suara motor. Tak ada pembicaraan warga.
Hanya aliran air yang terdengar di bawah, bergemuruh kecil.
Aditya menoleh ke kanan dan kiri. Raka berdiri di belakangnya, menarik napas cepat, panik. Lalu, dari kejauhan, mereka melihat sosok berdiri di tepian jembatan. Berdiri diam. Menatap ke bawah.
“Naufal!” teriak Aditya tanpa sadar.
Sosok itu tak bergerak.
Aditya berlari. Aku memantul-mantul di punggung, tapi aku tak peduli. Napasnya berburu, suara langkahnya menggema di badan jembatan yang sepi.
"Naufal! Denger gue dulu! Tolong!"
Sosok itu menoleh. Wajah pucat, mata sembab. Tapi ada kejutan di dalamnya. Sepertinya, dia tak menyangka akan ditemukan.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Naufal, suaranya serak. “Lo nggak harus dateng… Gue nggak penting.”
Aditya berhenti dua meter dari tepian. Ia tak langsung menjawab. Ia tahu, satu kata yang salah bisa menggiring semuanya menjadi lebih gelap.
“Gue baca surat lo,” katanya pelan. “Dan itu... cukup bikin gue ngerasa gagal sebagai temen.”
Naufal menunduk. Bahunya bergetar.
“Gue tahu lo ngerasa sendirian. Tapi percaya deh… sekarang lo nggak sendirian lagi.”
"Lo nggak ngerti, Dit. Di rumah, gue kayak hantu. Di sekolah, gue cuma jadi bahan lelucon. Bahkan saat gue cerita ke wali kelas, katanya gue 'terlalu sensitif'. Gue... nggak tahu mau ke mana lagi."
Aditya melangkah perlahan. Satu langkah. Lalu berhenti. "Kalau lo masih mau pergi... gue nggak bisa nahan. Tapi gue minta satu hal: kasih gue waktu lima menit. Buat dengerin lo."
Diam Naufal. Air matanya mengalir pelan. Tapi ia tak melangkah mundur, juga tak maju.
Aditya melepaskan tugasku dari punggung. Ia letakkan perlahan di pinggir jembatan, lalu duduk di situ, bersila, seperti saat mereka podcast.
“Tempat ini memang tenang, Nauf. Tapi lebih tenang lagi kalau lo bisa cerita tanpa takut dihakimi.”
Hening. Lama.
Lalu Naufal bicara. Pelan. Terputus-putus. Tentang ayah yang berkata “ngapain sekolah kalau cuma bikin malu.” Tentang malam-malam tidur dengan musik keras di telinga biar gak denger konflik orangtuanya. Tentang rasa iri ke teman-temannya yang bisa tertawa tanpa beban.
Aditya mendengarkan.
Tak menyela.
Tak menawarkan solusi.
Hanya mendengarkan.
Dan untuk pertama kalinya, mungkin itu cukup.
Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di warung pinggir jalan, makan mi rebus instan. Naufal masih diam, tapi matanya mulai terbuka. Ada cahaya tipis di situ. Raka membuat lelucon receh tentang mie yang katanya rasa "galau berkarat" karena terlalu lama dimasak. Naufal tersenyum kecil. Pelan. Tapi nyata.
Malam itu, Aditya menulis satu catatan pendek di HP-nya:
“Mungkin kita nggak bisa nyelametin semua orang. Tapi kalau kita bisa jadi alasan satu orang tetap bertahan... itu udah lebih dari cukup.”
Keesokan harinya, Aditya kembali ke ruang BK. Ia minta bicara langsung dengan Bu Nindya.
“Bu,” katanya tenang, “kalau sekolah mau bantu, saya terbuka. Tapi kalau disuruh berhenti, saya tidak bisa. Karena malam kemarin, kami nyelametin teman kami dari niat buat... pergi selamanya.”
Bu Nindya prihatin.
"Saya nggak ahli, Bu. Tapi saya tahu rasanya jadi orang yang ngerasa nggak punya siapa-siapa. Dan saya nggak mau ada yang ngerasa kayak gitu lagi."
Ia menatap gurunya secara langsung. Tak ada rasa takut di matanya, hanya ketulusan yang nyaring.
“Saya pengin terus dengerin mereka. Karena kadang-kadang, satu-satunya hal yang membuat seseorang tetap hidup... adalah ketika akhirnya ada yang benar-benar mau dengerin.”
Aku bisa merasakan sesuatu berubah di ruangan itu. Seperti dinding tak terlihat yang mulai retak.
Tapi di luar ruangan...
Seorang murid perempuan berdiri diam di depan pintu BK. Ia mendengar sebagian dari percakapan tadi. Wajahnya pucat. Tangannya memegang ujung lengan seragamnya.
Dan saat Aditya keluar dari ruangan, gadis itu tiba-tiba memanggil dengan suara pelan.
"Aditya... boleh minta waktu sebentar? Gue... kayaknya butuh dengerin juga. Tapi... kayaknya suara gue udah terlalu lama hilang."
Aditya menoleh. Matanya membulat pelan. Bukan karena wajah gadis itu asing.
Tapi karena dia mengenalnya dengan baik— itu Zahra , satu-satunya murid yang selama ini dikenal selalu kuat. Selalu ceria.
Dan kini, matanya sembab. Suaranya gemetar.
***