Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Hari Senin datang lagi, seperti biasa. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aditya berdiri di depan kelas bukan untuk dihukum karena terlambat atau lupa membawa PR, tapi untuk berbicara di depan seluruh murid dan guru. Bu Murni menunjuknya secara khusus untuk menyampaikan pidato singkat dalam acara Peringatan Bulan Kesehatan Mental.

Langkahnya pelan, tapi mantap. Aku, si ransel hitam, digendong di satu pundaknya, ikut naik ke panggung kecil aula sekolah. Detak jantungnya terasa cepat. Telapak tangannya berkeringat.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” suara Aditya pelan, nyaris tenggelam di awal. Tapi setelah menarik napas panjang, ia menatap ke depan. “Gue pengin cerita, bukan tentang teori atau statistik. Tapi tentang teman gue. Dan tentang diri gue sendiri.”

Semua mendengarkan.

“Ada masa ketika gue ngerasa sekolah ini cuma tempat numpang lewat. Nggak ada yang benar-benar kenal sama gue. Bahkan, gue sendiri juga nggak ngerti siapa gue. Sering kali, gue cuma ngerasa kayak... penumpang.”

Ia berhenti sebentar. Menghela napas. “Sampai akhirnya, ada satu orang yang duduk bareng gue waktu istirahat. Dia nggak ngomong banyak. Tapi cukup buat bikin gue mikir: mungkin, gue nggak se-invisible itu.”

Ruangan jadi sangat hening.

“Sekarang, kami punya komunitas kecil bernama Teman Pagi. Kami bukan ahli. Kami bukan penyelamat. Tapi kami mau belajar dengerin. Kadang, itu aja udah cukup.”

Tepuk tangan mengisi aula. Bukan karena pidatonya sempurna. Tapi karena ketulusannya terasa.

Setelah acara, beberapa siswa mendekati Aditya. Mereka bilang terima kasih. Ada yang memeluknya. Ada yang meminta izin untuk ikut Teman Pagi. Bahkan seorang guru, Pak Rudi dari kelas sebelah, mengajak kerja sama membuat buletin sekolah khusus untuk tema kesehatan mental.

“Biar nggak berhenti di sini aja,” katanya sambil tersenyum.

Aditya mengangguk. Ada rasa lega. Tapi juga rasa tanggung jawab yang besar. Ia tahu, ketika seseorang mulai bicara, maka ia juga harus siap mendengarkan lebih banyak lagi.

Di rumah, ia duduk di kamar sambil memandangi layar laptop. Channel YouTube-nya yang dulu hanya berisi gameplay Roblox, kini mulai berisi video reflektif. Salah satunya berjudul: Kenapa Lo Nggak Harus Kuat Terus?

Komentarnya penuh. Banyak yang menulis:

"Gue nonton ini sambil nangis. Makasih udah ngomongin hal yang gue rasa tapi nggak bisa gue ungkapin."

"Gue juga ngerasa kayak lo, Dit. Tapi abis nonton ini, gue pengin pelan-pelan berani ngomong."

Channel-nya belum viral. Tapi isinya makin bermakna. Dan itu cukup untuk membuat Aditya bertahan melanjutkan.

Keesokan harinya di sekolah, Aditya melihat seseorang duduk sendiri di kantin. Anak kelas tujuh, masih tampak kikuk dengan seragam yang kebesaran. Ia menghampiri.

“Boleh duduk?”

Anak itu menoleh kaget, lalu mengangguk. Tak lama kemudian, mereka bicara soal game, soal guru galak, dan soal makanan kantin yang terlalu mahal.

Satu percakapan sederhana. Tapi itulah yang Aditya pelajari: bukan tentang seberapa dalam, tapi seberapa tulus.

Pada malam harinya, Aditya menulis di jurnalnya:

"Gue pernah berharap bisa jadi orang lain. Tapi sekarang, gue pengin ngerti versi terbaik dari diri gue sendiri. Nggak harus jadi luar biasa. Tapi cukup jadi gue yang nggak pura-pura."

Ia menyimpan jurnal itu ke dalam tasku. Aku merasa hangat. Di antara buku-buku, aku membawa mimpi yang baru. Mimpi tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri, bukan versi yang disukai semua orang.

Sabtu pagi, komunitas Teman Pagi mengadakan pertemuan terbuka di taman kota. Mereka menggelar tikar, membawa camilan, dan menyediakan papan tulis kecil. Temanya hari itu: Hal Kecil yang Membuatmu Bertahan.

Masing-masing anak menuliskan satu hal yang selama ini jadi alasan mereka bertahan:

"Dengerin lagu di kamar sendirian."

"Pelukan dari nenek."

"Makan mie instan jam dua pagi."

"Komentar positif di YouTube."

"Buku harian yang udah sobek-sobek."

Aditya menuliskan: Ngobrol sama orang asing yang ternyata sepemikiran.

Hari itu, mereka tertawa, menangis, dan saling menguatkan. Tidak ada yang menilai. Tidak ada yang menyela. Semua didengarkan.

Sebelum bubar, mereka saling memberikan notes kecil. Tulisan acak, tapi penuh makna:

"Lu nggak harus hebat buat pantas dicintai."

"Kalau hari ini berat, istirahat bentar juga nggak apa-apa."

"Gue bangga sama lu yang masih di sini."

Aditya menyimpan semua itu dalam kantong kecil di tasku. Aku tahu, kertas-kertas itu akan ikut bersamanya ke mana pun.

Malam harinya, Aditya duduk di teras rumah. Neneknya datang membawa secangkir teh hangat.

“Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” ujar sang nenek sambil menepuk bahunya.

Aditya tersenyum. “Aku ngerasa... lebih ngerti diri sendiri, Nek. Dulu aku pikir harus tau jawabannya sekarang juga. Tapi ternyata, nggak apa-apa kalau masih nyari.”

Nenek mengangguk. “Hidup memang bukan soal cepat-cepat dapet jawaban. Kadang, yang penting itu terus nanya.”

Aditya menatap langit. Aku bisa merasakan ketenangan dalam dadanya. Tak lagi gelisah seperti dulu. Ia belum selesai mencari, tapi kini ia tahu, arah pencariannya sudah benar.

Besok, mereka berencana membuat podcast pertamanya bersama Teman Pagi. Topik perdana: Ketika Kita Nggak Tahu Mau Jadi Apa.

Aditya menulis catatan pembukanya:

"Gue sering ngerasa gagal karena belum tahu mau jadi apa. Tapi ternyata, banyak juga yang ngerasa sama. Jadi gue rasa, mending kita jalan bareng aja. Pelan-pelan. Sambil saling ngingetin kalau kita nggak sendirian."

Dan dengan begitu, langkahnya pun semakin mantap. Karena dalam diam yang ramai, Aditya mulai menemukan dirinya sendiri.

Dan aku, si ransel hitam, akan terus jadi saksi perjalanannya.

*** 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Senja di Balik Jendela Berembun
16      16     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
In Her Place
717      483     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Arsya (The lost Memory)
611      473     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Layar Surya
1118      676     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Can You Hear My Heart?
405      236     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
No Longer the Same
289      222     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Trying Other People's World
122      107     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Simfoni Rindu Zindy
501      425     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
I Found Myself
40      36     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?