Hari Senin datang lagi, seperti biasa. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aditya berdiri di depan kelas bukan untuk dihukum karena terlambat atau lupa membawa PR, tapi untuk berbicara di depan seluruh murid dan guru. Bu Murni menunjuknya secara khusus untuk menyampaikan pidato singkat dalam acara Peringatan Bulan Kesehatan Mental.
Langkahnya pelan, tapi mantap. Aku, si ransel hitam, digendong di satu pundaknya, ikut naik ke panggung kecil aula sekolah. Detak jantungnya terasa cepat. Telapak tangannya berkeringat.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” suara Aditya pelan, nyaris tenggelam di awal. Tapi setelah menarik napas panjang, ia menatap ke depan. “Gue pengin cerita, bukan tentang teori atau statistik. Tapi tentang teman gue. Dan tentang diri gue sendiri.”
Semua mendengarkan.
“Ada masa ketika gue ngerasa sekolah ini cuma tempat numpang lewat. Nggak ada yang benar-benar kenal sama gue. Bahkan, gue sendiri juga nggak ngerti siapa gue. Sering kali, gue cuma ngerasa kayak... penumpang.”
Ia berhenti sebentar. Menghela napas. “Sampai akhirnya, ada satu orang yang duduk bareng gue waktu istirahat. Dia nggak ngomong banyak. Tapi cukup buat bikin gue mikir: mungkin, gue nggak se-invisible itu.”
Ruangan jadi sangat hening.
“Sekarang, kami punya komunitas kecil bernama Teman Pagi. Kami bukan ahli. Kami bukan penyelamat. Tapi kami mau belajar dengerin. Kadang, itu aja udah cukup.”
Tepuk tangan mengisi aula. Bukan karena pidatonya sempurna. Tapi karena ketulusannya terasa.
Setelah acara, beberapa siswa mendekati Aditya. Mereka bilang terima kasih. Ada yang memeluknya. Ada yang meminta izin untuk ikut Teman Pagi. Bahkan seorang guru, Pak Rudi dari kelas sebelah, mengajak kerja sama membuat buletin sekolah khusus untuk tema kesehatan mental.
“Biar nggak berhenti di sini aja,” katanya sambil tersenyum.
Aditya mengangguk. Ada rasa lega. Tapi juga rasa tanggung jawab yang besar. Ia tahu, ketika seseorang mulai bicara, maka ia juga harus siap mendengarkan lebih banyak lagi.
Di rumah, ia duduk di kamar sambil memandangi layar laptop. Channel YouTube-nya yang dulu hanya berisi gameplay Roblox, kini mulai berisi video reflektif. Salah satunya berjudul: Kenapa Lo Nggak Harus Kuat Terus?
Komentarnya penuh. Banyak yang menulis:
"Gue nonton ini sambil nangis. Makasih udah ngomongin hal yang gue rasa tapi nggak bisa gue ungkapin."
"Gue juga ngerasa kayak lo, Dit. Tapi abis nonton ini, gue pengin pelan-pelan berani ngomong."
Channel-nya belum viral. Tapi isinya makin bermakna. Dan itu cukup untuk membuat Aditya bertahan melanjutkan.
Keesokan harinya di sekolah, Aditya melihat seseorang duduk sendiri di kantin. Anak kelas tujuh, masih tampak kikuk dengan seragam yang kebesaran. Ia menghampiri.
“Boleh duduk?”
Anak itu menoleh kaget, lalu mengangguk. Tak lama kemudian, mereka bicara soal game, soal guru galak, dan soal makanan kantin yang terlalu mahal.
Satu percakapan sederhana. Tapi itulah yang Aditya pelajari: bukan tentang seberapa dalam, tapi seberapa tulus.
Pada malam harinya, Aditya menulis di jurnalnya:
"Gue pernah berharap bisa jadi orang lain. Tapi sekarang, gue pengin ngerti versi terbaik dari diri gue sendiri. Nggak harus jadi luar biasa. Tapi cukup jadi gue yang nggak pura-pura."
Ia menyimpan jurnal itu ke dalam tasku. Aku merasa hangat. Di antara buku-buku, aku membawa mimpi yang baru. Mimpi tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri, bukan versi yang disukai semua orang.
Sabtu pagi, komunitas Teman Pagi mengadakan pertemuan terbuka di taman kota. Mereka menggelar tikar, membawa camilan, dan menyediakan papan tulis kecil. Temanya hari itu: Hal Kecil yang Membuatmu Bertahan.
Masing-masing anak menuliskan satu hal yang selama ini jadi alasan mereka bertahan:
"Dengerin lagu di kamar sendirian."
"Pelukan dari nenek."
"Makan mie instan jam dua pagi."
"Komentar positif di YouTube."
"Buku harian yang udah sobek-sobek."
Aditya menuliskan: Ngobrol sama orang asing yang ternyata sepemikiran.
Hari itu, mereka tertawa, menangis, dan saling menguatkan. Tidak ada yang menilai. Tidak ada yang menyela. Semua didengarkan.
Sebelum bubar, mereka saling memberikan notes kecil. Tulisan acak, tapi penuh makna:
"Lu nggak harus hebat buat pantas dicintai."
"Kalau hari ini berat, istirahat bentar juga nggak apa-apa."
"Gue bangga sama lu yang masih di sini."
Aditya menyimpan semua itu dalam kantong kecil di tasku. Aku tahu, kertas-kertas itu akan ikut bersamanya ke mana pun.
Malam harinya, Aditya duduk di teras rumah. Neneknya datang membawa secangkir teh hangat.
“Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” ujar sang nenek sambil menepuk bahunya.
Aditya tersenyum. “Aku ngerasa... lebih ngerti diri sendiri, Nek. Dulu aku pikir harus tau jawabannya sekarang juga. Tapi ternyata, nggak apa-apa kalau masih nyari.”
Nenek mengangguk. “Hidup memang bukan soal cepat-cepat dapet jawaban. Kadang, yang penting itu terus nanya.”
Aditya menatap langit. Aku bisa merasakan ketenangan dalam dadanya. Tak lagi gelisah seperti dulu. Ia belum selesai mencari, tapi kini ia tahu, arah pencariannya sudah benar.
Besok, mereka berencana membuat podcast pertamanya bersama Teman Pagi. Topik perdana: Ketika Kita Nggak Tahu Mau Jadi Apa.
Aditya menulis catatan pembukanya:
"Gue sering ngerasa gagal karena belum tahu mau jadi apa. Tapi ternyata, banyak juga yang ngerasa sama. Jadi gue rasa, mending kita jalan bareng aja. Pelan-pelan. Sambil saling ngingetin kalau kita nggak sendirian."
Dan dengan begitu, langkahnya pun semakin mantap. Karena dalam diam yang ramai, Aditya mulai menemukan dirinya sendiri.
Dan aku, si ransel hitam, akan terus jadi saksi perjalanannya.
***