Hari itu hujan turun sejak pagi. Rintiknya tidak deras, tapi cukup konstan untuk membuat semua orang malas bergerak. Bau tanah basah tercium sampai ke dalam kelas. Jendela-jendela dibiarkan sedikit terbuka, memberi ruang bagi udara dingin menyusup masuk ke sela-sela bangku kayu.
Aditya datang terlambat. Bajunya basah sebagian, rambutnya meneteskan air, dan aku—si ransel hitam—sedikit lembap di bagian bawah. Tapi dia tidak panik. Dia hanya menyapa Bu Tania pelan dan langsung menuju bangku paling belakang, tempat yang akhir-akhir ini sering dia pilih.
Duduk di sana membuatnya lebih tenang. Lebih bisa melihat seisi kelas, lebih bisa menyendiri jika dibutuhkan.
Hari ini pelajarannya Matematika, tapi pikiran Aditya ada di tempat lain. Satu minggu terakhir, ia disibukkan dengan kegiatan Teman Pagi. Mereka baru membuat akun Instagram komunitas, mengunggah kutipan dari jurnal pribadi, dan membuat jadwal pertemuan rutin.
Tapi ada sesuatu yang mengusik pikiran Aditya.
Seorang teman sekelas bernama Bayu, yang duduk di barisan tengah, akhir-akhir ini terlihat sangat pendiam. Biasanya, Bayu dikenal sebagai orang yang suka melontarkan candaan receh bahkan saat ujian. Tapi seminggu ini, dia nyaris tidak bicara. Matanya terlihat sembab beberapa kali. Dan yang paling mengejutkan, Aditya melihat coretan kecil di lengan Bayu waktu istirahat kemarin.
Itu bukan goresan biasa.
Sepulang sekolah, Aditya tidak langsung pulang. Ia duduk di depan perpustakaan sekolah, menunggu Bayu keluar. Saat Bayu muncul dengan langkah pelan, Aditya langsung berdiri.
“Yuk ngobrol bentar,” ajaknya sambil tersenyum.
Bayu tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan menuju bangku taman belakang sekolah. Tempat itu cukup sepi, hanya suara hujan rintik di dedaunan dan sesekali cuitan burung.
“Lu nggak usah ngomong kalau nggak mau. Gue cuma pengin duduk bareng aja,” kata Aditya lebih dulu.
Bayu menatap tanah. Lama. Lalu ia buka suara, lirih, hampir tak terdengar.
“Gue capek.”
Aditya tidak menjawab. Hanya menoleh pelan ke arahnya.
“Di rumah... gue ngerasa kayak nggak dianggap. Bokap kerja terus, nyokap sering sakit. Adik gue cerewet banget, dan tiap kali gue ngomong, kayak nggak ada yang denger.”
Suara Bayu mulai bergetar. “Terus... gue coba ngomong ke guru BP, tapi malah disuruh sabar. Gue bukan butuh disuruh sabar, Dit. Gue cuma pengin didengerin.”
Aditya menggenggam jemarinya sendiri, menahan emosi. Lalu ia membuka resleting tasku dan mengeluarkan jurnal kecilnya.
“Gue nulis di sini, kadang cuma satu kalimat. Tapi itu ngebantu. Kalau lo mau, kita bisa nulis bareng.”
Bayu mengangguk pelan. Air mata jatuh tanpa suara. Tidak dramatis, tidak meledak-ledak, tapi nyata.
Malam itu, Aditya menulis di kanal YouTube-nya:
Hari ini gue belajar sesuatu. Nggak semua orang butuh solusi. Kadang kita cuma butuh ruang untuk bilang, ‘gue lagi nggak baik-baik aja’. Dan itu cukup.”
Ia tidak menyebut nama siapa pun. Tapi esoknya, empat orang teman sekelas menyapanya pelan dan bilang, “Terima kasih.”
Komunitas Teman Pagi semakin berkembang. Tidak hanya di sekolah, tapi juga mulai diikuti oleh siswa dari SMP lain. Mereka membuka forum mingguan online, lewat Zoom, dan membahas topik seperti kecemasan saat ujian, tekanan dari orang tua, dan perasaan kehilangan arah.
Dalam salah satu sesi, seorang gadis bernama Sinta dari sekolah lain berkata:
“Aku pengin jadi penulis, tapi Papa maunya aku jadi dokter. Tiap kali aku bilang pengin nulis, dibilangnya mimpi yang nggak realistis. Lama-lama aku jadi benci nulis.”
Aditya menjawab dengan suara yang tenang tapi mantap:
“Dulu gue juga mikir harus jadi kayak orang-orang. Tapi ternyata, jadi diri sendiri itu bukan berarti egois. Itu bentuk tanggung jawab. Kalau kita nggak rawat mimpi kita sendiri, siapa lagi?”
Sinta menangis. Tapi kali ini bukan karena putus asa. Tapi karena lega.
Di kelas, Aditya kembali duduk di bangku belakang. Ia tidak lagi merasa sendirian. Ia tahu, kini ia punya suara. Suara yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua yang pernah merasa tak terlihat.
Aku, si ransel hitam, terbaring di atas meja. Ringan. Karena beban yang kupikul bukan lagi tentang pelajaran, tapi tentang harapan-harapan kecil yang perlahan tumbuh.
Pada akhir pekan, Aditya dan teman-teman komunitasnya membuat proyek kecil: menulis surat untuk orang asing.
Mereka menulis pesan-pesan penguat di secarik kertas:
“Kamu nggak sendiri.”
“Ada harapan di balik malam yang gelap.”
“Kita boleh lelah, tapi jangan menyerah.”
Surat-surat itu mereka lipat dan sisipkan ke dalam buku-buku di perpustakaan, di bawah meja kantin, bahkan di sela-sela papan pengumuman sekolah.
Tidak ada nama pengirim. Tidak ada label. Hanya harapan kecil yang tersebar diam-diam.
Beberapa hari kemudian, mereka melihat dampaknya. Seorang adik kelas tersenyum sambil memegang salah satu surat dan menyimpannya di dompet. Seorang guru menempelkan surat itu di meja kerjanya. Dan seorang siswa yang dikenal pemurung kini tampak lebih ringan.
Semua dari satu pesan sederhana: kamu nggak sendiri.
Aditya pulang dengan langkah ringan. Di jalan, dia menoleh ke arah langit yang masih mendung tapi tidak lagi kelabu. Ia tahu, perjalanan dirinya masih panjang. Tapi ia sudah menemukan sesuatu yang penting:
Suara.
Dan sekarang, ia siap menggunakannya—untuk dirinya sendiri, dan untuk semua orang yang masih mencari jalan.
***