Pagi itu, angin terasa lebih ringan. Aditya berjalan menuju sekolah dengan langkah yang mantap. Tidak ada musik di telinganya, tidak ada distraksi dari ponsel. Hanya derap kaki dan napasnya yang tenang. Di dalam tubuhku, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda: ia tidak sedang berlari dari apa pun. Tidak sedang memaksa diri menjadi seseorang.
Hari ini, bukan tentang jadwal pelajaran atau video baru di kanal YouTube-nya. Hari ini adalah tentang menulis surat.
Di kelas Bahasa Indonesia, Bu Murni memberikan tugas yang terdengar sederhana tapi ternyata mengusik banyak kepala:
“Coba tulis surat untuk dirimu di masa lalu. Bebas kapan, yang penting jujur.”
Teman-teman Aditya mulai ribut sendiri. Ada yang bersungut-sungut, ada yang menertawakan masa kecilnya. Tapi Aditya hanya terdiam. Pandangannya kosong menatap buku tulis, sebelum kemudian menunduk dalam.
Ia menulis:
Untuk Aditya yang usia 11 tahun,
Aku tahu kamu sering pura-pura tidur supaya nggak denger suara ribut di ruang tamu. Aku tahu kamu pura-pura baik-baik aja waktu Papa pergi, dan kamu berpura-pura senang ketika pindah ke rumah Nenek. Padahal kamu bingung kenapa harus kehilangan dua rumah dalam waktu berdekatan.
Aku cuma mau bilang, kamu nggak perlu pura-pura kuat. Sedih itu boleh. Bingung itu wajar. Dan nanti, kamu akan bertemu banyak orang yang juga sama hancurnya. Mereka nggak butuh kamu jadi pahlawan. Mereka cuma butuh tahu kamu juga pernah rapuh.
Terima kasih udah bertahan sejauh ini. Aku bangga sama kamu.
Salam, Aku yang sedang belajar berdamai.
Aditya membaca ulang tulisannya, lalu menarik napas panjang. Dia tidak meneteskan air mata. Tidak juga tersenyum lebar. Tapi aku tahu, surat itu seperti membuka kunci kecil di dalam dadanya. Kunci yang selama ini terpasang erat, menahan banyak hal.
Sepulang sekolah, Aditya mampir ke taman dekat rumah. Duduk di bangku panjang di bawah pohon yang daunnya mulai menguning. Ia mengeluarkan kamera kecil dari tasku dan mulai merekam dirinya.
“Kali ini bukan vlog gaming,” katanya pelan ke lensa. “Gue cuma mau bacain surat yang gue tulis hari ini. Mungkin, ada di antara kalian yang juga butuh denger ini.”
Ia membaca surat itu perlahan, tanpa efek suara, tanpa cut. Hanya satu kamera, satu suara, dan satu hati yang akhirnya belajar menengok ke belakang tanpa takut.
Video itu ditonton lebih dari seribu orang dalam semalam. Komentar-komentar kembali berdatangan:
“Gue juga dulu pura-pura tidur...”
“Kok rasanya kayak ditulis buat gue.”
“Gue jadi pengen tulis surat juga buat diri gue yang dulu.”
Aditya tidak menjawab satu per satu, tapi ia membaca semuanya. Ia menyalin beberapa komentar ke dalam jurnalnya dan menuliskan:
“Mungkin ini bukan tentang gue lagi. Tapi tentang kita.”
Malam itu, Nenek mengetuk pintu kamar.
“Boleh Nenek masuk?”
“Boleh,” jawab Aditya.
Nenek duduk di tepi tempat tidur. Tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Hanya melihat Aditya yang menutup laptopnya dan menatap penuh perhatian.
“Ada yang bilang ke Nenek tadi... Katanya cucu Nenek ini anak yang luar biasa,” ucap Nenek sambil tersenyum.
Aditya tertawa kecil. “Siapa tuh?”
“Bu Ratih,” jawab Nenek. “Kita ketemu waktu Nenek ke sekolah buat ambil raport sementara. Dia cerita semua kegiatanmu. Dan... Nenek jadi mikir, mungkin selama ini Nenek juga terlalu diam.”
“Diam gimana, Nek?”
Nenek menarik napas. “Kita sama-sama terluka, ya. Nenek kehilangan anak, kamu kehilangan orangtua. Tapi Nenek terlalu sibuk kuat sendiri, sampai lupa bilang kalau Nenek bangga padamu. Maaf ya.”
Aditya mendekat dan memeluk Nenek. Bukan pelukan buru-buru, tapi pelukan yang tenang. Seperti memeluk rasa aman yang sempat hilang.
“Nek, makasih udah jagain aku. Aku juga nggak pernah bilang itu.”
Malam itu, rumah kecil di gang sempit itu lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena akhirnya dua hati yang lama diam mulai bicara.
Beberapa hari kemudian, Aditya mengajak beberapa temannya membentuk komunitas kecil bernama "Teman Pagi"—sebuah ruang berbagi, tanpa harus sempurna. Ia mengajak Tika, Nanda, dan satu siswa kelas sebelah yang pernah cerita soal ayahnya yang mengalami depresi.
Mereka tidak berencana menyelesaikan semua masalah dunia. Tapi mereka ingin menciptakan ruang di mana semua orang bisa berkata, “Gue capek,” tanpa takut dihakimi.
Di pertemuan pertama, mereka hanya duduk di perpustakaan sekolah setelah jam pulang. Tidak ada format, tidak ada struktur. Hanya kopi sachet, beberapa biskuit, dan satu pertanyaan dari Aditya:
“Gimana kabar kalian hari ini, yang sebenarnya?”
Dan untuk pertama kalinya, beberapa dari mereka menjawab dengan jujur.
Di malam hari, ketika semuanya tidur, Aditya menulis di jurnal:
“Gue masih belum tahu masa depan gue kayak apa. Tapi sekarang, gue tahu apa artinya hadir. Dan ternyata, itu jauh lebih penting.”
Aku tergantung di punggung kursi, melihat cahaya laptopnya pelan-pelan meredup. Hanya suara detak jam dan kipas yang terdengar. Tapi dalam diam itu, aku tahu, perjalanan Aditya terus berlanjut. Bukan untuk jadi sempurna, tapi untuk jadi utuh.
Dan aku, si ransel hitam yang dulu hanya jadi saksi bisu ke mana ia melarikan diri, kini jadi saksi ke mana ia melangkah pulang.
***