Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Pagi itu, aku kembali merasakan Aditya mengisi tubuhku dengan hati-hati. Tidak tergesa, tidak kasar. Tangannya menyusun buku-buku dan jurnal kecil yang sejak seminggu terakhir selalu ia bawa ke mana-mana. Di saku depanku, dia masukkan dua buah pulpen dan satu spidol warna biru, seolah bersiap untuk menghadapi sesuatu yang penting.

“Ayo,” gumamnya lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri. “Kita bisa.”

Aditya mengangkatku dan menyampirkan tali-taliku ke bahu. Sudah lama aku tidak merasakan langkahnya sekuat pagi ini. Ada semacam tekad baru, sesuatu yang dulu mungkin samar-samar ia miliki, tapi sekarang terasa lebih mantap.

Hari itu, sekolah mengadakan sesi berbagi pengalaman antarsiswa sebagai bagian dari program “Pekan Refleksi Diri.” Setiap kelas diminta mengirimkan dua perwakilan untuk menyampaikan cerita atau refleksi pribadi yang bisa menginspirasi atau menyemangati teman-temannya.

Tentu saja, nama Aditya kembali muncul sebagai kandidat. Kali ini, bukan karena tekanan atau dorongan orang lain, tapi karena dia mengajukan diri sendiri.

Aku duduk di bawah bangku, mendengarkan degup jantungnya yang tak beraturan ketika giliran Aditya akhirnya tiba. Dia naik ke panggung kecil di aula sekolah dengan napas sedikit tertahan, namun langkahnya tidak gentar.

Dia memegang mikrofon, menghela napas panjang, lalu mulai bicara.

“Nama gue Aditya. Mungkin beberapa dari kalian kenal gue dari forum ‘Teman Tak Terlihat’ atau dari presentasi waktu festival sekolah kemarin. Hari ini, gue nggak datang ke sini untuk sok jadi motivator. Gue datang sebagai diri gue sendiri.”

Hening.

“Gue pernah merasa semua orang berharap gue kuat. Karena gue pernah bikin gerakan kecil, terus jadi kayak simbol anak yang ‘baik-baik aja’. Tapi kenyataannya, gue juga sering hancur. Sering bingung. Gue pernah ngerasa kayak semua orang bisa gue bantu, kecuali diri gue sendiri.”

Matanya menyapu ruangan, dan aku tahu betapa sulitnya mengucap itu. Tapi dia tetap lanjut.

“Beberapa minggu lalu, gue mulai konseling. Itu keputusan yang nggak mudah. Tapi ternyata, itu bukan tanda kalau gue lemah. Justru itu langkah pertama gue buat mulai jujur. Buat mulai sembuh.”

Suara Aditya terdengar lebih tenang sekarang.

“Jadi, kalau ada di antara kalian yang juga lagi bingung, capek, atau ngerasa nggak tahu mau jadi apa... lo nggak sendiri. Nggak harus tahu semua jawaban sekarang. Kadang, cukup berani bilang ‘gue butuh bantuan’ itu udah luar biasa.”

Hening lagi. Tapi kali ini, bukan hening canggung. Melainkan hening yang hangat. Seolah semua orang sedang mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aditya.

Selesai bicara, Aditya turun dari panggung dengan keringat dingin di tangannya. Tapi di balik itu, aku merasakan dadanya lebih ringan dari biasanya.

Dan yang mengejutkan, bukan hanya teman-teman sekelas yang menghampiri dan menepuk bahunya. Siswa-siswa dari kelas lain, bahkan yang tidak pernah bicara dengannya sebelumnya, menyapa dan berkata, “Makasih udah berani jujur.”

Satu orang bahkan berkata lirih, “Gue akhirnya ngerasa berani cerita ke orang rumah.”

Malam itu, di kamar, Aditya duduk dengan laptop di pangkuannya dan aku di punggung kursi. Dia membuka video editor, membuka rekaman kecil yang dia simpan diam-diam waktu di panggung tadi siang.

Lalu dia mulai mengedit. Bukan dengan gaya flashy dan suara musik keras seperti biasa. Tapi dengan sunyi yang disengaja. Kata-katanya dibiarkan menonjol.

Judul video itu: “Jadi Diri Sendiri: Cerita dari Anak Biasa.”

Dia mengunggahnya ke kanal YouTube-nya. Satu jam kemudian, notifikasi terus berdatangan.

Komentar demi komentar masuk:

“Kata-katamu nyelamatin gue malam ini.”

“Baru kali ini nemu video yang ngebahas jujur banget tentang rasa capek.”

“Gue jadi mikir, mungkin gue juga bisa mulai pelan-pelan.”

Aditya tersenyum kecil. Lalu berkata padaku:

“Gue nggak mau jadi ‘influencer’. Gue mau jadi suara. Suara buat orang-orang yang kayak gue.”

Beberapa hari kemudian, guru BK Bu Ratih memanggil Aditya ke ruangannya. Bukan untuk menegur, tapi untuk mengundangnya ikut dalam pelatihan pendamping sebaya tingkat kota. Program itu bertujuan melatih siswa-siswa SMA menjadi pendengar dan penolong awal bagi teman-temannya yang mengalami krisis mental.

Awalnya Aditya ragu. Tapi setelah bicara dengan neneknya, dan setelah merenung dalam jurnal kecilnya, dia mengambil keputusan:

“Gue nggak mau pura-pura bisa menyelamatkan semua orang. Tapi kalau kehadiran gue bisa bikin satu orang merasa lebih baik, itu udah cukup.”

Pelatihan itu mengubah banyak hal. Aditya belajar teknik mendengarkan aktif, mengenali tanda-tanda depresi ringan, dan cara merespon dengan empati tanpa menghakimi. Di sela-sela itu, dia juga menulis lagi. Bukan hanya untuk forum, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Satu hari, dia menulis:

"Mungkin jati diri bukan sesuatu yang harus dicari ke luar. Tapi ditemukan perlahan di dalam diri sendiri. Di tempat yang dulu kita takuti untuk lihat."

Sepulang dari pelatihan terakhir, Aditya duduk di bangku taman kecil di dekat sekolah. Dia membuka jurnal dan menulis:

“Gue mungkin masih belum tahu mau jadi apa. Tapi sekarang gue tahu gue pengen jadi orang yang jujur. Pengen jadi orang yang hadir buat diri sendiri. Dan buat orang-orang yang jalan sendirian malam-malam.”

Langit petang membentang seperti layar kosong. Dan di bahunya, aku tergantung dengan damai.

Aditya tak lagi memikul dunia. Dia memilih memikul harapan—meski kecil, meski rapuh—untuk dirinya dan orang lain.

Dan aku, si ransel hitam yang menyimpan buku, air, dan jurnal luka-luka kecil itu, tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. 

*** 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dalam Satu Ruang
128      83     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Monologue
466      303     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Me vs Skripsi
1746      706     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
116      103     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
328      243     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Cinderella And The Bad Prince
1037      711     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Perjalanan Tanpa Peta
50      45     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Deep End
35      34     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
362      246     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...