Pagi itu, aku kembali merasakan Aditya mengisi tubuhku dengan hati-hati. Tidak tergesa, tidak kasar. Tangannya menyusun buku-buku dan jurnal kecil yang sejak seminggu terakhir selalu ia bawa ke mana-mana. Di saku depanku, dia masukkan dua buah pulpen dan satu spidol warna biru, seolah bersiap untuk menghadapi sesuatu yang penting.
“Ayo,” gumamnya lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri. “Kita bisa.”
Aditya mengangkatku dan menyampirkan tali-taliku ke bahu. Sudah lama aku tidak merasakan langkahnya sekuat pagi ini. Ada semacam tekad baru, sesuatu yang dulu mungkin samar-samar ia miliki, tapi sekarang terasa lebih mantap.
Hari itu, sekolah mengadakan sesi berbagi pengalaman antarsiswa sebagai bagian dari program “Pekan Refleksi Diri.” Setiap kelas diminta mengirimkan dua perwakilan untuk menyampaikan cerita atau refleksi pribadi yang bisa menginspirasi atau menyemangati teman-temannya.
Tentu saja, nama Aditya kembali muncul sebagai kandidat. Kali ini, bukan karena tekanan atau dorongan orang lain, tapi karena dia mengajukan diri sendiri.
Aku duduk di bawah bangku, mendengarkan degup jantungnya yang tak beraturan ketika giliran Aditya akhirnya tiba. Dia naik ke panggung kecil di aula sekolah dengan napas sedikit tertahan, namun langkahnya tidak gentar.
Dia memegang mikrofon, menghela napas panjang, lalu mulai bicara.
“Nama gue Aditya. Mungkin beberapa dari kalian kenal gue dari forum ‘Teman Tak Terlihat’ atau dari presentasi waktu festival sekolah kemarin. Hari ini, gue nggak datang ke sini untuk sok jadi motivator. Gue datang sebagai diri gue sendiri.”
Hening.
“Gue pernah merasa semua orang berharap gue kuat. Karena gue pernah bikin gerakan kecil, terus jadi kayak simbol anak yang ‘baik-baik aja’. Tapi kenyataannya, gue juga sering hancur. Sering bingung. Gue pernah ngerasa kayak semua orang bisa gue bantu, kecuali diri gue sendiri.”
Matanya menyapu ruangan, dan aku tahu betapa sulitnya mengucap itu. Tapi dia tetap lanjut.
“Beberapa minggu lalu, gue mulai konseling. Itu keputusan yang nggak mudah. Tapi ternyata, itu bukan tanda kalau gue lemah. Justru itu langkah pertama gue buat mulai jujur. Buat mulai sembuh.”
Suara Aditya terdengar lebih tenang sekarang.
“Jadi, kalau ada di antara kalian yang juga lagi bingung, capek, atau ngerasa nggak tahu mau jadi apa... lo nggak sendiri. Nggak harus tahu semua jawaban sekarang. Kadang, cukup berani bilang ‘gue butuh bantuan’ itu udah luar biasa.”
Hening lagi. Tapi kali ini, bukan hening canggung. Melainkan hening yang hangat. Seolah semua orang sedang mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aditya.
Selesai bicara, Aditya turun dari panggung dengan keringat dingin di tangannya. Tapi di balik itu, aku merasakan dadanya lebih ringan dari biasanya.
Dan yang mengejutkan, bukan hanya teman-teman sekelas yang menghampiri dan menepuk bahunya. Siswa-siswa dari kelas lain, bahkan yang tidak pernah bicara dengannya sebelumnya, menyapa dan berkata, “Makasih udah berani jujur.”
Satu orang bahkan berkata lirih, “Gue akhirnya ngerasa berani cerita ke orang rumah.”
Malam itu, di kamar, Aditya duduk dengan laptop di pangkuannya dan aku di punggung kursi. Dia membuka video editor, membuka rekaman kecil yang dia simpan diam-diam waktu di panggung tadi siang.
Lalu dia mulai mengedit. Bukan dengan gaya flashy dan suara musik keras seperti biasa. Tapi dengan sunyi yang disengaja. Kata-katanya dibiarkan menonjol.
Judul video itu: “Jadi Diri Sendiri: Cerita dari Anak Biasa.”
Dia mengunggahnya ke kanal YouTube-nya. Satu jam kemudian, notifikasi terus berdatangan.
Komentar demi komentar masuk:
“Kata-katamu nyelamatin gue malam ini.”
“Baru kali ini nemu video yang ngebahas jujur banget tentang rasa capek.”
“Gue jadi mikir, mungkin gue juga bisa mulai pelan-pelan.”
Aditya tersenyum kecil. Lalu berkata padaku:
“Gue nggak mau jadi ‘influencer’. Gue mau jadi suara. Suara buat orang-orang yang kayak gue.”
Beberapa hari kemudian, guru BK Bu Ratih memanggil Aditya ke ruangannya. Bukan untuk menegur, tapi untuk mengundangnya ikut dalam pelatihan pendamping sebaya tingkat kota. Program itu bertujuan melatih siswa-siswa SMA menjadi pendengar dan penolong awal bagi teman-temannya yang mengalami krisis mental.
Awalnya Aditya ragu. Tapi setelah bicara dengan neneknya, dan setelah merenung dalam jurnal kecilnya, dia mengambil keputusan:
“Gue nggak mau pura-pura bisa menyelamatkan semua orang. Tapi kalau kehadiran gue bisa bikin satu orang merasa lebih baik, itu udah cukup.”
Pelatihan itu mengubah banyak hal. Aditya belajar teknik mendengarkan aktif, mengenali tanda-tanda depresi ringan, dan cara merespon dengan empati tanpa menghakimi. Di sela-sela itu, dia juga menulis lagi. Bukan hanya untuk forum, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Satu hari, dia menulis:
"Mungkin jati diri bukan sesuatu yang harus dicari ke luar. Tapi ditemukan perlahan di dalam diri sendiri. Di tempat yang dulu kita takuti untuk lihat."
Sepulang dari pelatihan terakhir, Aditya duduk di bangku taman kecil di dekat sekolah. Dia membuka jurnal dan menulis:
“Gue mungkin masih belum tahu mau jadi apa. Tapi sekarang gue tahu gue pengen jadi orang yang jujur. Pengen jadi orang yang hadir buat diri sendiri. Dan buat orang-orang yang jalan sendirian malam-malam.”
Langit petang membentang seperti layar kosong. Dan di bahunya, aku tergantung dengan damai.
Aditya tak lagi memikul dunia. Dia memilih memikul harapan—meski kecil, meski rapuh—untuk dirinya dan orang lain.
Dan aku, si ransel hitam yang menyimpan buku, air, dan jurnal luka-luka kecil itu, tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai.
***