Aku, tas hitam Aditya, kembali tergantung di pojok kamar, menyaksikan pagi yang dimulai tanpa tergesa. Tidak ada alarm yang dibanting, tidak ada langkah tergopoh-gopoh menuju kamar mandi. Hanya suara ketikan pelan dan aroma teh manis buatan nenek yang menguar dari dapur.
Aditya duduk di meja belajarnya, wajahnya serius. Layar laptop menampilkan dokumen kosong dengan judul yang baru saja ia ketik: "Surat untuk Diri Sendiri."
Hari ini adalah tugas akhir dari proyek literasi. Tema besar semester ini: “Kenali Dirimu, Cintai Dirimu.” Seluruh siswa diminta menulis surat yang tidak ditujukan untuk orang lain, melainkan untuk diri mereka di masa depan.
Tangannya sempat berhenti. Lalu ia mulai menulis:
Hai, Dit.
Kalau lo lagi baca ini, berarti lo udah lebih tua, lebih berpengalaman. Mungkin lo udah tahu siapa diri lo sebenarnya, atau mungkin masih nyari—nggak apa-apa.
Gue nulis ini dari kamar kita yang sempit, di hari Minggu pagi. Masih pakai tas yang sama, masih suka main Roblox, masih belum tahu hidup ini mau dibawa ke mana. Tapi gue lagi belajar. Belajar nerima, belajar ngerasa, belajar nggak nyalahin diri terus-terusan.
Kadang gue ngerasa kayak beban buat semua orang. Nenek nggak pernah bilang gitu, tapi gue tahu biaya hidup, listrik, kuota, semua itu berat. Dan gue belum bisa bantu banyak.
Tapi akhir-akhir ini, gue mulai ngerti. Ternyata bantuin orang nggak harus gede. Kadang, cukup dengan tetap hidup, tetap mencoba, itu aja udah bantu mereka yang sayang sama lo.
Jadi, buat lo yang baca ini nanti, gue cuma pengin bilang: terima kasih. Karena lo udah bertahan. Karena lo nggak menyerah waktu semuanya gelap. Karena lo milih jalan yang nggak gampang, tapi lo jalani juga.
Semoga lo udah bisa bilang ke diri sendiri, "Gue cukup, gue berharga." Karena dari sini, gue udah mulai percaya itu.
Salam dari Aditya yang masih bingung, tapi nggak takut lagi.
Surat itu tidak ditunjukkan ke siapa-siapa. Tapi sore harinya, Aditya mencetaknya dan menyimpannya di dalam saku kecilku, di balik resleting yang jarang dibuka. Ia bilang, “Nanti suatu hari, kalau gue lagi ngerasa hancur, ingetin gue ya.”
Sejak hari itu, aku bukan sekadar tas yang membawa buku dan laptop. Aku jadi penjaga rahasia kecil yang sangat berarti.
Senin pagi, sekolah terasa berbeda. Mungkin karena mendung yang menggantung, atau karena kabar yang cepat menyebar di kalangan siswa: Raka, teman sekelas Aditya yang jarang bicara, diketahui sedang mengalami depresi berat dan dirawat di rumah sakit jiwa setelah mencoba bunuh diri.
Suasana kelas sunyi. Tak ada yang tahu harus berkata apa.
Aditya duduk diam, menggenggam ponselnya, membuka obrolan terakhir dengan Raka. Hanya satu kalimat:
"Gue capek, Dit. Tapi lo kayaknya ngerti, ya?"
Waktu itu Aditya cuma membalas: "Iya. Gue ngerti. Tapi gue masih di sini."
Dan sekarang Raka tidak bisa membalas apa pun lagi.
Sore itu, Aditya tidak pulang langsung. Ia duduk di perpustakaan, kali ini bersama Ayu dan Alif. Mereka bertiga saling diam cukup lama sebelum Ayu berkata pelan, “Gue pernah hampir kayak Raka. Waktu bokap ninggalin nyokap. Gue ngerasa nggak ada yang peduli.”
Alif menunduk. “Gue juga. Dulu sempat nyimpen cutter di laci meja. Buat jaga-jaga, katanya. Tapi akhirnya gue kasih ke guru BK. Cuma... gue belum pernah cerita ke siapa-siapa.”
Aditya hanya mendengarkan. Tapi dalam hatinya, kata-kata itu terukir.
Tiba-tiba, ia angkat bicara. “Gimana kalau kita bikin forum kecil? Bukan yang gede-gede. Cuma tempat curhat. Nggak usah bawa nama sekolah. Anonim aja.”
Ayu mengangkat alis. “Di Discord?”
“Bisa,” jawab Aditya. “Atau forum tulisan. Kayak blog gitu. Tapi kita yang moderasi. Kita yang jaga.”
Dan begitu saja, benih kecil itu tumbuh.
Selama dua minggu, Aditya dan dua temannya sibuk. Mereka membangun situs kecil dengan nama:
“Teman Tak Terlihat”
Tempat di mana siapa pun bisa menulis, tanpa nama, tanpa takut dihakimi. Tempat di mana satu kalimat sederhana seperti “Lo nggak sendirian” bisa menyelamatkan hari seseorang.
Postingan pertama diunggah oleh pengguna bernama "HutanDalamKepala":
"Kadang gue ngerasa kayak rumah yang udah lama ditinggalin. Tapi tulisan-tulisan di sini bikin gue nyadar: ternyata masih ada yang mau mampir.”
Aditya menutup laptopnya. Hari itu capek sekali, tapi hatinya hangat.
Ia mengeluarkan kertas surat dari saku kecilku dan membacanya ulang. Satu kalimat terakhirlah yang paling mengena:
“Semoga lo udah bisa bilang ke diri sendiri, 'Gue cukup, gue berharga.'”
Ia menghela napas dan berbisik, “Gue mulai percaya.”
Dan aku, si tas hitam, hanya bisa diam menyimpan semuanya. Karena perjalanan menemukan diri sendiri memang tidak selalu besar dan dramatis. Kadang, ia berawal dari satu surat kecil... untuk diri sendiri.
***