Pagi itu, Aditya tampak berbeda. Bukan karena gaya rambutnya yang sedikit berantakan atau kaos kaki belang yang salah pakai. Tapi karena matanya. Ada sesuatu di sana—sebuah cahaya kecil yang tak lagi redup. Cahaya harapan.
Sejak forum "Teman Tak Terlihat" dirilis, hidup Aditya punya ritme baru. Ia bukan hanya YouTuber kecil yang bermain game dan tertawa sendiri di depan layar. Ia mulai merasa, mungkin, ada ruang lain dalam dirinya yang ingin hidup. Ruang yang ingin mendengar dan didengar.
Dan aku, tas hitamnya, selalu jadi saksi perjalanan ini.
Di sekolah, Ayu menyapanya lebih dulu. “Ada dua puluh lima tulisan baru semalam.”
Aditya membelalak. “Hah? Serius? Banyak amat.”
“Banyak yang nulis tentang rasa nggak cukup. Tentang ngerasa sendirian di rumah yang rame. Tentang jadi anak pertama yang harus kuat terus. Semua pakai nama anonim. Tapi rasanya deket banget.”
Aditya mengangguk. “Gue baca satu-satu. Dan lo tahu? Gue ngerasa kayak lagi baca bagian dari diri gue juga.”
Alif datang menyusul. “Gue bikin sistem label. Jadi tulisan bisa dikasih tag kayak ‘kesepian’, ‘keluarga’, atau ‘kecemasan’. Supaya pembaca bisa milih sesuai perasaan mereka.”
“Bagus,” sahut Aditya sambil tersenyum. “Lo jenius, Lif.”
Mereka bertiga tak pernah menduga forum itu akan bertumbuh secepat ini. Bukan karena tampilannya yang keren, melainkan karena kejujuran di dalamnya. Setiap paragraf seolah berkata, "Gue juga kayak lo. Kita sama-sama nyari arah."
Namun, seperti semua hal di internet, tak semua respon positif.
“Lo ngapain sih, Dit? Kayak sok jadi penyelamat dunia.”
Itu ucapan Galang, si ketua OSIS yang punya pengaruh besar. Komentarnya menyebar cepat. Ada yang setuju, ada yang diam-diam ikut merundung.
Aditya tidak membalas. Tapi aku merasakan gemetar tangannya saat dia membuka forum malam itu. Di balik semangatnya, dia masih bocah 16 tahun yang gampang goyah.
Ia menulis postingan tanpa nama:
“Gue pengin bantu, tapi gue takut salah. Kadang ngerasa nggak pantas, nggak cukup layak. Tapi gue juga pernah ngerasa sendirian, dan tulisan seseorang nyelametin gue. Jadi, meski nggak sempurna, gue tetap mau coba.”
Komentar berdatangan:
“Terima kasih udah tetap di sini.”
“Lo mungkin nggak tahu siapa kami, tapi kami tahu rasa itu.”
“Kalau lo nyerah, siapa lagi yang bakal bantu kami bertahan?”
Dan malam itu, Aditya menangis dalam diam. Aku bisa merasakan bahunya bergetar, tangannya meremas tali pundakku erat.
Hari-hari berikutnya penuh warna. Di antara ujian matematika dan PR sejarah, Aditya sibuk membalas komentar, menyaring tulisan yang masuk, dan membagi waktu untuk video gaming-nya.
Subscribernya naik perlahan. Bukan karena viral, tapi karena ia mulai bicara lebih jujur di kontennya. Di tengah permainan Roblox, ia menyelipkan cerita pendek:
“Gue sempat ngerasa nggak ada gunanya. Tapi ternyata, lo bisa mulai dari tempat paling kecil. Kayak forum ini. Kayak channel kecil ini. Dan ternyata, cukup buat bantu satu orang. Itu udah luar biasa.”
Dan komentar-komentar mulai berubah:
“Gue dateng buat nonton game, tapi gue nangis gara-gara kalimat lo.”
“Makasi udah nunjukin kalau jadi diri sendiri itu nggak salah.”
Suatu sore, neneknya duduk di sebelah Aditya yang sedang ngedit video.
“Dit,” katanya pelan. “Nenek baca tulisanmu. Yang tentang rasa capek.”
Aditya terdiam. “Maaf, Nek. Aku nggak maksud nyakitin.”
Nenek tersenyum. “Kamu nggak nyakitin. Kamu jujur. Itu lebih baik daripada pura-pura kuat.”
Air mata Aditya menetes lagi. Tapi kali ini bukan karena sedih.
Forum terus berjalan. Sekarang ada enam moderator relawan, termasuk dua kakak kelas dan satu alumni. Mereka bergantian membaca, menanggapi, dan menyaring. Tak semua tulisan bisa diposting—ada yang butuh bantuan profesional.
Itu sebabnya, Aditya dan teman-temannya mulai menjalin kerja sama dengan konselor sekolah. Forum bukan tempat terapi, tapi bisa jadi pintu pertama.
Suatu hari, sebuah email masuk ke kotak forum:
“Saya guru BK dari sekolah luar kota. Salah satu murid saya tunjukin situs kalian. Terima kasih sudah menciptakan ruang ini. Beberapa anak jadi berani cerita setelah baca tulisan di forum.”
Aditya membacanya pelan. “Ternyata... kita bisa bikin perubahan ya, bahkan tanpa tahu siapa yang terpengaruh.”
Dan aku, tas hitamnya, hanya bisa tersenyum dalam diam. Karena aku tahu, Aditya akhirnya menemukan bukan hanya suara, tapi arah.
Bukan arah yang pasti. Tapi langkah pertama dari ribuan, yang dimulai dari keberanian untuk peduli.
***