Langit pagi ini tampak kusam. Awan menggumpal, seperti enggan membuka hari dengan terang. Tapi Aditya tetap melangkah keluar rumah dengan tugas yang tergantung di punggungnya. Buku catatan disimpan rapi di kompartemen dalam, bersebelahan dengan tempat pensil dan satu bungkus kecil permen mint—ia selalu membawanya kalau merasa tegang.
Kami tidak terburu-buru, tapi langkahnya mantap. Jalanan kampung yang biasa ia lewati sekolah tampak lebih hidup menuju ke sini. Seorang bapak menyiram tanaman, ibu-ibu menjemur pakaian, dan anak kecil berteriak mengejar layangan yang tersangkut di atap.
Namun langkah Aditya berhenti sejenak di depan gang sempit, tempat seorang laki-laki dengan jaket luluh duduk sambil merokok.
Ayahnya.
Pertemuan mereka tidak direncanakan. Bahkan sejak Aditya tinggal bersama neneknya, ia tak pernah tahu kapan—atau apakah—akan bertemu ayahnya lagi. Tapi pagi itu, semesta seolah membuka satu bab lama yang belum selesai ditutup.
Ayahnya menoleh pelan. Wajah tirus, mata sembab, dan senyum yang tak utuh.
"Apa?"
Aditya menggenggam taliku lebih erat. Aku bisa merasakan detak jantungnya bertambah cepat.
Ayahnya berdiri. “Kamu sehat?”
Tidak ada jawaban. Hanya anggukan kaku.
“Ayah cuma... lagi nyari kerja. Makanya ada di sekitar sini. Kalau kamu sempat, kita bisa ngobrol ya?”
Aditya mengangguk lagi, lalu berjalan cepat, melewati gang itu tanpa menoleh.
Di sekolah, pikiran tidak fokus. Saat guru bertanya, Aditya hanya mengangguk-angguk tanpa benar-benar mengerti. Di kelas IPS, ia bahkan salah menjawab soal yang ia kuasai dengan benar.
Saat istirahat, dia tidak pergi ke kantin. Ia memilih duduk sendiri di bangku taman belakang sekolah. Tempat biasanya ia dan Reya menyatukan soal permainan atau kehidupan.
Aku berbaring di tempatnya. Dari sini, aku bisa melihat wajahnya—linglung, tegang, dan kelabu.
Ayu menyusul tak lama kemudian.
“Lo nggak ke kantin?”
Aditya menggeleng. “Ngak lapar.”
Ayu duduk. Hening beberapa saat. Lalu bertanya pelan, "Lo kenapa? Lo kelihatannya kayak abis ketemu hantu."
Aditya tersenyum miris. “Gue ketemu bokap.”
Ayu menatap lama. “Yang ninggalin lo dan nyokap itu?”
“Yang ninggalin semuanya,” jawab Aditya pendek.
Ayu tidak berkata apa-apa. Ia hanya meraih botol minumnya dan meletakkannya di depan Aditya.
“Minum dulu, terus ceritain kalau lo mau.”
Butuh lima belas menit sampai Aditya mulai bercerita. Tentang bagaimana dulu ayahnya sering pulang tengah malam dalam keadaan mabuk, tentang pertengkaran orang tuanya yang nyaris jadi musik pengantar tidur, tentang malam ketika ibunya akhirnya meninggal dunia. Dan pagi tentang saat ia dan ayahnya tak saling bicara, lalu tiba-tiba ayahnya pun pergi.
"Waktu itu gue kira bokap cuma pergi kerja. Tapi dia nggak balik. Nenek yang datang jemput gue seminggu kemudian."
Ayu menggenggam tangan Aditya pelan. “Lo nggak pernah cerita soal ini.”
Aditya mengangguk. “Gue takut orang mandang gue beda.”
“Aditya,” Ayu menatap serius. “Lo bukan masa lalu orang tua lo. Lo bukan cerita mereka. Lo cerita lo sendiri.”
Kalimat itu menggantung lama di udara.
Di rumah, malam harinya, Aditya membuka laptop. Ia membuka dokumen kosong dan mulai menulis:
Hari ini gue ketemu bokap. Rasanya kayak ngelihat bayangan lama yang gak pernah gue siapin buat balik. Tapi ternyata... rasa marah itu belum hilang. Dan gue capek pura-pura biasa aja.
Gue pengen jadi orang yang bisa minta maaf. Tapi ternyata susah. Apa itu salah?
Hari-hari berikutnya, Aditya mulai membaca artikel tentang luka masa kecil. Ia menonton video tentang trauma keluarga dan dampaknya terhadap hubungan sosial.
Salah satu video yang mengatakan:
"Menyembuhkan bukan berarti melupakan. Tapi mengakui bahwa luka itu pernah ada, dan memutus rantainya agar tidak membelenggu masa depan."
Aditya menuliskannya di buku catatannya, lalu menggambar rantai kecil yang terpotong di tengah.
Pada sesi BK berikutnya, Bu Ratih mengajukan satu pertanyaan yang membuat Aditya teringat:
“Kalau kamu bisa menulis surat ke ayahmu, tapi tidak harus mengirimkannya, kamu akan menulis apa?”
Aditya tidak langsung menjawab. Tapi malamnya, ia duduk di kamar dengan lampu redup dan mulai menulis:
Halo, Pak. Atau Ayah. Atau... orang asing yang pernah ada di rumahku.
Aku marah. Banget. Karena kamu pergi. Karena kamu tidak bilang apa-apa. Karena aku harus ngerasa mengisi atas sesuatu yang bukan salah aku.
Tapi aku juga kangen. Aku pengen kamu lihat aku sekarang. Bukan karena aku pengen kamu bangga, tapi karena aku pengen tau... apa kamu nyesel?
Aku nggak tau akan kirim surat ini atau nggak. Tapi aku tahu, nulis ini bikin aku ngerasa lebih lega.
Mungkin suatu hari aku bisa minta maaf padamu. Tapi bukan hari ini.
Beberapa hari setelahnya, Aditya kembali melewati gang tempat ayahnya muncul dulu. Tapi tempat itu kosong. Hanya ada plastik bekas dan puntung rokok.
Ia berdiri sejenak. Lalu membuka tugasku, mengambil catatannya, dan menyelipkan surat itu ke antara halaman.
“Gue belum siap,” gumamnya, “tapi gue juga nggak mau terus dibelenggu.”
Langit sore itu mulai cerah. Awan menggulung perlahan, membiarkan cahaya matahari menembus satu celah kecil.
Di sekolah, Aditya mulai membuat konten baru: vlog sederhana tentang kesehatan mental dari perspektif remaja. Bukan tutorial, bukan ceramah. Hanya cerita—jujur dan seadanya.
Judulnya: Cerita yang Gak Pernah Masuk Presentasi Sekolah.
Dalam video pertamanya, Aditya duduk di taman belakang sekolah.
"Hari ini gue cuma pengen bilang: nggak apa-apa buat nggak baik-baik aja. Dan lo nggak harus cepet sembuh. Kadang-kadang, cukup lo sadar kalau lo lagi luka, itu udah langkah pertama."
Video itu tidak viral. Tapi komentar-komentarnya tulus.
“Bang, boleh minta link artikel yang lo baca soal penyembuhan?” “Nonton ini kayak ngobrol sama temen lama.” “Lo bikin gue berani nulis surat juga. Mungkin gue gak kirim, tapi gue tulis.”
Malam itu, sebelum tidur, Aditya menulis satu kalimat di buku catatannya:
Maaf belum bisa memaafkan. Tapi aku sedang menuju ke sana.
Dan aku, tas hitam luluh yang menemaninya setiap hari, tahu satu hal:
Terkadang, langit tidak selalu biru. Tapi bukan berarti matahari hilang.
***