Sekolah hari itu tampak seperti biasanya—riuh, sibuk, penuh suara. Tapi di dalam kepala Aditya, semuanya terasa sepi. Bahkan ketika teman-teman sekelasnya tertawa karena Pak Andi salah menyebut nama murid, Aditya hanya tersenyum kecil. Ia mencatat pelajaran dengan rapi, menyisipkan coretan-coretan kecil di pinggir buku: karakter Roblox, lingkaran kecil bertanda tanya, dan kalimat-kalimat seperti "gue masih belum yakin."
Ketika bel pulang berbunyi, Aditya tidak langsung pulang. Ia menuju ke ruang komputer, tempat yang jarang dikunjungi siswa lain kecuali saat jam pelajaran TIK. Di ruangan itulah ia menyimpan sebagian konten video mentahnya, menyambung pekerjaan yang ia mulai semalam: seri baru tentang dunia game dan emosi remaja.
Aku diletakkan di lantai, di bawah meja tempat ia duduk. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat sepasang kaki yang mengetuk-ngetuk lantai pelan, tanda pikirannya sedang aktif atau gelisah.
Beberapa hari sebelumnya, salah satu video vlog-nya mendapat pesan pribadi dari seorang penonton:
"Bang, gue juga broken home. Rasanya kayak... semua orang paham, tapi nggak ada yang betul-betul dengerin. Lo bisa bikin video soal itu nggak?"
Pesan itu datang dari akun bernama ChocoGloom. Tidak ada foto profil. Tidak ada bio.
Aditya membaca pesan itu berkali-kali. Ada sesuatu yang mengusik.
Ia akhirnya membalas, singkat:
"Makasih udah cerita. Boleh, gue coba. Tapi lo juga harus janji—coba dengerin diri lo sendiri, ya."
Dan itulah awal dari proyek kecilnya: Suara dari Balik Layar—video berisi cerita anonim dari para penontonnya yang merasa tidak punya tempat bercerita.
“Gue pengen bikin ruang,” ujar Aditya pada Reya saat mereka duduk di kantin. “Tempat orang bisa cerita tanpa takut denger, ‘kamu lebay’ atau ‘itu cuma fase’.”
Reya mengangguk sambil menyeruput jus jambu. “Gue suka idenya. Tapi lo siap nggak nerima semua cerita itu? Itu bisa berat, Dit.”
Aditya diam. Ia tahu risiko itu. Tapi ia juga tahu betapa berharganya rasanya saat seseorang mendengarkan, tanpa menghakimi.
“Gue pengen jadi orang yang dulu gue butuhin,” jawabnya akhirnya.
Hari-hari selanjutnya, Aditya mulai membuka sesi kirim cerita anonim lewat formulir. Dalam waktu dua hari, lebih dari dua puluh cerita masuk. Semua berisi hal-hal yang tidak akan muncul di permukaan media sosial: depresi, tekanan dari orang tua, perasaan hampa, ketakutan akan masa depan.
Satu cerita membuat Aditya termenung:
“Gue anak kedua. Kakak gue selalu jadi kebanggaan keluarga. Nilainya bagus, masuk universitas negeri, pacarnya cakep. Gue? Nggak bisa ikut ekskul aja dibilang nyusahin. Gue ngerasa kayak... pelengkap cerita doang.”
Aditya menyalin cerita itu ke skrip videonya. Ia membaca dengan suara pelan di depan kamera, menggunakan tone yang tenang.
“Kadang, kita bukan tokoh utama di rumah kita sendiri. Tapi bukan berarti kita nggak punya hak untuk bersinar.”
Video pertama dari seri Suara dari Balik Layar tayang satu minggu kemudian. Tidak ada backsound ceria, tidak ada efek kocak. Hanya layar gelap, suara Aditya, dan teks berjalan.
Responsnya? Tidak meledak. Tapi tepat sasaran.
“Gue ngerasa didengerin. Terima kasih.”
“Gue kira gue satu-satunya yang ngerasa kayak gini.”
“Lo ngebantu gue nangis, akhirnya.”
Malamnya, Aditya menuliskan di buku catatannya:
Kadang suara kecil bisa lebih nyaring dari sorakan satu stadion, kalau datang dari hati yang ngerti.
Di rumah, Nenek memperhatikan perubahan Aditya. Ia tidak lagi pulang dan langsung mengurung diri. Sekarang, Aditya sering duduk di ruang tengah, membantu mengupas bawang, atau sekadar menemani nenek menonton sinetron.
“Dit, kamu nggak main game terus, ya, sekarang?” tanya Nenek suatu malam.
“Masih, Nek. Tapi sekarang aku mainin juga cerita orang.”
Nenek terkekeh. “Mainin cerita orang, ya?”
Aditya mengangguk. “Aku lagi belajar dengerin orang, Nek. Karena ternyata... itu nggak gampang.”
Di sekolah, Aditya mulai membuat poster kecil yang ia tempel di papan pengumuman:
"Butuh tempat cerita? Kirim lewat link ini. Nggak ada penilaian. Cuma pendengaran."
Beberapa guru mempertanyakan, tapi Bu Ratih mendukung penuh. Bahkan beliau mulai menyisipkan sesi diskusi tentang empati dan pentingnya mendengar dalam pelajaran Bimbingan Konseling.
“Kadang, murid bukan butuh jawaban. Mereka cuma butuh ruang untuk didengar,” ujar Bu Ratih dalam rapat guru.
Aditya tahu, ia belum 'selesai'. Masih ada malam-malam saat ia tidak bisa tidur karena memikirkan cerita-cerita yang ia baca. Masih ada momen ketika komentar sinis di video membuatnya ingin berhenti.
Tapi ia juga tahu satu hal:
Setiap kali seseorang berkata, “makasih udah dengerin,” itu seperti vitamin buat luka lamanya.
Satu malam, Aditya menerima email dari ChocoGloom:
“Gue nonton semua videonya. Gue belum sembuh. Tapi gue udah bisa bangun pagi tanpa ngerasa pengen hilang. Itu kemajuan, kan?”
Aditya tersenyum. Ia membukaku dan mengambil buku catatannya. Di halaman paling belakang, ia menuliskan:
Kalau satu orang bisa merasa sedikit lebih kuat karena lo, itu udah cukup untuk lanjut besok.
Aku, tas hitam yang sudah mulai aus di ujung resletingnya, tahu satu hal pasti:
Aditya sedang tidak hanya mencari siapa dirinya. Ia juga sedang membangun tempat untuk orang lain mencari dirinya sendiri.
Dan itu... jauh lebih berarti daripada ribuan subscriber.
***