Aku tidak tahu pasti kapan Aditya mulai kehilangan cahayanya. Mungkin bukan hilang, tapi meredup—perlahan, seperti senja yang pelan-pelan ditelan malam. Aku hanya tahu, belakangan ini, punggung tempatku biasa bersandar terasa berbeda. Tegang. Lebih membungkuk. Lebih diam.
Hari itu hujan turun sejak subuh. Aditya tidak membawa payung. Aku menempel lembap di punggungnya saat kami berlari menyeberangi jalan, berusaha menghindari genangan. Tapi langkahnya tidak tergesa seperti biasanya. Seolah hujan tak perlu dihindari, biarlah membasahi, siapa tahu bisa meluruhkan sesuatu.
Di sekolah, suasana kelas sama seperti biasa—ramai, penuh obrolan tentang tugas, game baru, atau gosip dari kelas sebelah. Tapi Aditya cuma duduk di bangkunya, kepala bersandar di meja, matanya menerawang ke jendela. Ada embun yang menyelinap di kaca, tapi tidak sedingin yang merambat dari tubuh Aditya sendiri.
“Lo gak bikin tugas biologi?” bisik Saka, temannya yang duduk di depan.
Aditya menggeleng lemah. “Nanti gue kerjain... di rumah.”
Padahal aku tahu, ia belum menyentuh tugas itu. Semalam ia hanya membuka laptop, menatap layar kosong, lalu mematikan lampu dan diam dalam gelap. Tidak menangis, tidak marah, hanya diam. Aku digantung di paku kamar, menyaksikan siluetnya dari kejauhan.
Pelajaran Biologi dimulai. Bu Mega masuk sambil membawa setumpuk kertas soal dan lembar tugas. Semua murid mendesah pelan. Saka membalikkan badan, mengangkat alis pada Aditya.
“Gawat, kayaknya dikumpulin hari ini.”
Aditya tidak menjawab. Ia hanya membuka bukunya dan mulai menyalin sesuatu dengan tangan lemas. Tulisan itu tidak rapi. Spidol hitamnya bahkan nyaris habis.
“Aditya,” panggil Bu Mega. “Kamu kelihatan nggak fokus. Ada yang bisa dibantu?”
Ia menggeleng. “Nggak, Bu. Maaf.”
Waktu istirahat, Reya duduk di sebelahnya sambil membuka kotak makan. Isinya pastel buatan ibunya. Ia menawarkan satu ke Aditya. “Mau?”
Aditya menoleh, mencoba tersenyum. Tapi aku tahu senyuman itu seperti spidolnya tadi: nyaris habis.
“Lo kenapa sih akhir-akhir ini?” tanya Ayu pelan. “Gue liat lo kayak... kosong.”
“Enggak apa-apa kok,” jawab Aditya cepat.
“Bilang ‘nggak apa-apa’ tuh bukan solusi, Dit. Kadang, lo perlu ngaku kalau lo nggak baik-baik aja.”
Aditya menarik napas panjang. Lalu membungkuk, menyembunyikan wajahnya di atas meja.
Aku tahu, itu bukan karena mengantuk. Tapi karena menyembunyikan mata yang mulai berkaca.
Pulang sekolah, hujan sudah reda. Tapi hatinya belum. Sepanjang jalan, Aditya tidak berbicara. Sesampainya di rumah, ia hanya memberi salam, lalu langsung ke kamar.
Neneknya mengetuk pintu beberapa menit kemudian. “Dit, kamu nggak makan dulu?”
“Gak lapar, Nek.”
“Tadi katanya mau dibikinin bakwan.”
“Nanti aja ya...”
Aku diletakkan di pojok kamar, tak jauh dari kursi belajar. Aditya duduk di lantai, punggungnya bersandar ke dinding. Ia membuka YouTube, melihat channel-nya sendiri. Subscriber-nya bertambah lima orang hari ini. Tapi ekspresinya datar. Tak ada senyum, tak ada rasa bangga.
“Ngapain gue bikin video kalau gue sendiri gak yakin sama isinya...” gumamnya.
Ia membuka komentar lama dari salah satu video populernya. Banyak yang bilang lucu, seru, menghibur. Tapi satu komentar yang muncul di antara pujian itu terus mengganggunya:
“Bang, mainnya kurang semangat ya sekarang. Kenapa?”
Tengah malam, lampu masih menyala. Aditya membuka buku catatan kecil yang jarang ia pakai. Halamannya sebagian kosong, tapi ada beberapa coretan di sana. Tulisannya kecil, agak berantakan, tapi aku sempat melihat sekilas dari tempatku tergantung:
“Kenapa gue ngerasa capek banget, padahal gak ngapa-ngapain?”
“Kalau gue berhenti, orang bakal ninggalin gue?”
“Apa semua orang juga bingung sama diri mereka sendiri?”
Tulisan itu tidak selesai. Pena jatuh ke lantai. Aditya menyandarkan kepala ke meja, membiarkan dirinya tertidur dengan mata masih basah.
Keesokan harinya, kelas kedatangan guru BK, Bu Ratih. Beliau membawa form refleksi pribadi yang harus diisi semua murid. Di papan tulis tertulis:
Tema minggu ini: Menjadi Teman untuk Diri Sendiri.
Semua mulai menulis. Sebagian menanggapinya main-main, menggambar doodle atau menulis seadanya. Tapi Aditya menatap form itu lama.
Satu pertanyaan menarik perhatiannya: “Apa yang ingin kamu katakan pada dirimu sendiri hari ini?”
Aditya mulai menulis:
“Gue tahu lo capek. Tapi lo gak harus terus pura-pura kuat.”
“Gak semua orang harus ngerti. Tapi lo bisa mulai dari jujur ke diri lo sendiri.”
Setelah menulis itu, Aditya duduk diam. Lalu, pelan-pelan, ia menangis. Bukan terisak. Tapi air matanya mengalir tenang, seperti hujan semalam.
Ayu menunggunya di depan gerbang pulang sekolah.
“Gue baca form lo. Bu Ratih minta gue bantu jaga lo.”
Aditya menatapnya dengan mata sembab. “Jaga? Gue segitu parahnya ya?”
“Bukan parah. Tapi lo berharga. Dan kadang, orang berharga juga boleh istirahat.”
Malam itu, Aditya membuka komunitas YouTube dan menulis sebuah postingan:
"Kadang, jadi remaja tuh nggak segampang kelihatannya. Gue lagi belajar sayang sama diri sendiri. Maaf kalau video nggak rutin. Tapi gue pengen balik jadi gue yang dulu, yang bikin konten karena senang, bukan karena takut ketinggalan."
Beberapa jam kemudian, komentar membanjiri:
“Gue juga ngerasain hal yang sama, Bang. Makasih udah jujur.” “Jaga diri ya, Dit. Kita nungguin lo kapan pun siap.” “Kadang kita butuh rehat, bukan karena lemah, tapi karena kita manusia.”
Aditya membaca semuanya. Lalu menatap layar lama, sebelum akhirnya tersenyum. Senyum kecil, tapi tulus. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir.
Aku, tas ransel tua yang menemaninya ke mana-mana, tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Tapi malam itu, aku merasa sesuatu yang penting sedang tumbuh di dalam dirinya.
Bukan subscriber. Bukan viewer. Tapi keberanian untuk berhenti sejenak dan berkata, “Gue nggak baik-baik aja, dan itu gak apa-apa.”
Dan mungkin... di situlah awal mula Aditya benar-benar mengenal dirinya sendiri.
***