Setelah pulang sekolah, langkah Aditya selalu terasa lebih lambat. Bukan karena lelah, tapi karena ia tahu, rumah tak selalu terasa seperti tempat untuk pulang.
Aku masih di punggungnya, mengikuti irama tubuhnya yang sedikit bungkuk. Jalan menuju rumah kami diwarnai bayangan tiang listrik, tembok rumah-rumah tua, dan aroma gorengan dari warung kecil di pojok gang. Kadang-kadang, Aditya mampir beli tahu isi seribuan. Hari ini tidak. Ia hanya jalan terus, memeluk diam.
Sesampainya di depan rumah, ia membuka pintu dengan kunci yang tergantung di saku celana. Nenek tidak menyambut seperti biasa. Sepatu nenek juga tak ada di rak. Rumah terasa sunyi.
"Nek?"
Tidak ada jawaban.
"Oh ya, Nek lagi ke puskesmas tadi pagi," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia melepas sepatunya, lalu menaruhku di lantai kamar. Tapi bukannya berganti baju atau makan siang, ia duduk di depan laptopnya. Dinyalakannya ring light kecil di sebelah meja, disiapkannya headset, dibukanya folder "Game Plan Bulan Ini."
Folder itu penuh ide-ide yang ditulis di tengah malam: "Tutorial Bangun Rumah Minimalis di Roblox," "Speedrun Mode Cuma Pake Alat Default," "Seri Horor: The Lost Orphan – Ep. 1." Tapi folder itu juga dipenuhi file video yang belum pernah diunggah. Karena setelah selesai diedit, dia malah ragu sendiri.
Kursor mouse-nya berputar pelan, seperti mencari alasan untuk percaya lagi.
"Oke. Hari ini gue coba voice-over ulang. Lebih ekspresif. Lebih jelas. Jangan kayak orang males hidup. Bisa, Dit. Bisa."
Ia mulai merekam. Suaranya terdengar bersemangat di awal.
"Halo, teman-teman! Selamat datang lagi di channel gue, DITPLAY. Kali ini kita bakal ngebahas map baru yang lagi rame banget—"
Lalu... ia berhenti. Mengulang. Lalu berhenti lagi.
"Ulang dari awal. Suara lo kayak robot.
Lalu ia tertawa hambar. Bukan karena lucu. Tapi karena frustrasi.
"Lo kenapa sih, Dit? Suara lo sendiri aja lo jijik dengernya."
Aku ingin bicara. Tapi aku hanya tas.
Malam tiba. Lampu rumah dinyalakan. Nenek pulang membawa kantong plastik berisi beberapa obat.
"Maaf ya, Nek tadi lupa nitip uang jajan."
"Nggak apa-apa, Nek. Aku bawa bekal kok," jawab Aditya, meski nasi goreng dalam tasku tadi tidak sempat ia sentuh. Kini sudah dingin dan mulai bau.
Nenek menatap wajah cucunya. Kerutan di wajah nenek semakin jelas tiap kali Aditya diam terlalu lama.
"Kamu kenapa? Kok pucat banget?"
"Capek aja, Nek."
"Sekolah atau YouTube?"
Aditya tertawa kecil. "Dua-duanya kayaknya."
"Kalau capek, istirahat. Dunia nggak akan marah kalau kamu berhenti sebentar."
Tapi Aditya hanya mengangguk. Lalu kembali ke kamar.
Malam itu, hujan turun.
Di dalam kamar, Aditya menyelimuti tubuhnya, tapi tidak memejamkan mata. Ia membuka HP, menonton video dari channel Roblox lain. Channel dengan suara yang berani, ekspresif, dan punya 2 juta subscriber.
Komentarnya ribuan.
Aditya menghela napas panjang.
"Kenapa gue nggak bisa kayak gitu ya? Padahal idenya sama. Bahkan kadang gue lebih dulu bikin. Tapi hasil gue... nggak ada yang peduli."
Ia menoleh ke arahku. Matanya sayu. Seperti sedang menunggu aku menjawab. Tapi aku hanya tas.
"Apa gue salah milih mimpi ya?"
Diam. Hanya suara hujan yang menjawab.
Hari Sabtu, sekolah libur. Tapi Aditya tetap bangun pagi. Ada semangat aneh dalam langkahnya.
"Gue mau bikin video jalan-jalan di map baru. Tapi kali ini, ada narasi. Gue mau cerita tentang tempat ini kayak lo lagi baca novel misteri."
Ia menyiapkan semua alat: laptop, headset, catatan kecil, bahkan tripod kecil untuk shoot ekspresi wajah. Ia tampak seperti anak yang sedang menyusun ulang potongan dirinya.
Di tengah proses rekaman, tiba-tiba pintu diketuk.
"Dit, ada teman kamu di luar. Ayu namanya."
Aditya terkejut. Ayu?
Ia keluar kamar, lalu melihat Ayu berdiri di ruang tamu, membawa dua botol es teh dan dua bungkus snack.
"Gue main sebentar ya, Dit. Ngganggu nggak?"
Aditya menggeleng. "Enggak kok. Masuk aja."
Ayu duduk di lantai kamar, tepat di sampingku. Ia memperhatikan peralatan Aditya.
"Lo serius banget ya. Gue kira lo cuma iseng bikin video."
"Gue juga pernah ngerasa iseng. Tapi makin ke sini, kayaknya ini satu-satunya hal yang bikin gue merasa gue tuh... punya arah."
Ayu mengangguk. "Tapi lo nggak harus jadi YouTuber buat jadi hebat, Dit. Lo hebat karena lo konsisten, bukan karena angka."
Kalimat itu menancap seperti peluru pelan-pelan. Aditya diam.
"Gue suka video lo yang lo bikin bulan lalu. Yang lo bilang semua orang itu NPC yang bisa upgrade. Itu bagus."
"Serius?" tanya Aditya.
"Iya. Gue kirim ke adik gue juga. Dia jadi semangat main."
Aditya tersenyum. Untuk pertama kalinya hari itu, ia tersenyum bukan karena sopan, tapi karena merasa... dilihat.
Dan aku tahu, dari punggungnya, beban yang biasa dia bawa perlahan mengecil.
Hari berlanjut. Sore itu mereka rekaman bareng. Ayu jadi pengisi suara NPC perempuan dalam cerita Aditya.
"Lo harus sering ngajak orang ngobrol di video lo, Dit. Biar nggak kesepian. Biar penonton juga ngerasa ditemani."
Aditya mengangguk. "Iya juga ya... Gue selama ini kayak terlalu sibuk jadi solo player."
"Sesekali, co-op itu penting."
Mereka tertawa.
Dan untuk pertama kalinya, kamar itu tidak terasa sempit. Laptop itu tidak terasa berat. Dan aku, tas tua yang usang ini, merasa seakan menyaksikan awal dari sesuatu.
Bukan sukses.
Tapi proses menemukan kembali alasan kenapa Aditya memulai semua ini.
Akhir minggu itu, video baru Aditya tayang.
Bukan video paling sempurna. Masih banyak yang bisa dikritik. Tapi komentar pertama datang dari nama yang tak asing.
"Cerita lo bagus banget. Suara lo juga udah beda. Semangat terus ya."
Ayu.
Aditya membalas komentar itu.
"Thanks. Kadang kita cuma butuh satu orang buat bikin kita percaya lagi."
Dan untuk pertama kalinya... dia percaya.
***