Rumah yang Tak Pernah Pergi
Malam menjelang. Lampu-lampu kota Los Angeles mulai menyala, seperti bintang-bintang kecil yang gugur ke bumi.
Nafa membuka pintu apartemen dengan pelan, seolah takut membangunkan kenangan.
Di dalam, suara televisi dari ruang keluarga terdengar samar, bercampur aroma kopi hangat yang menguar dari dapur.
Ia menghela napas sebelum menutup pintu.
Langkah kakinya ringan, tapi hatinya masih berat.
Di sofa, Zac duduk dengan buku di tangan, meski jelas dia tidak membaca.
Begitu mata mereka bertemu, Nafa tahu: Zac tahu.
“Hi…” ucap Nafa lirih.
Zac tersenyum kecil. “You’re home.”
Nafa menunduk. “I am…”
Dia melangkah mendekat. Ragu. Takut. Tapi tak bisa lari.
“Aku bertemu dia. Seperti yang aku bilang… aku hanya ingin menyelesaikan semua. Aku sudah melakukannya.”
Zac menutup bukunya perlahan. “And?”
“Aku bilang padanya kalau aku tetap memilih kamu.” Suara Nafa mulai gemetar. “Tapi aku juga bilang... aku nggak akan pernah bisa benar-benar lupa dia.”
Zac tidak menjawab cepat. Dia menatap Nafa dalam diam. Lalu, dengan suara pelan tapi pasti, ia berkata:
> “Aku tahu, Na. Aku tahu kamu nggak bisa lupakan dia… Tapi aku nggak butuh kamu untuk lupa. Aku cuma butuh kamu tetap pulang.”
Air mata Nafa jatuh begitu saja. Ia berlari memeluk Zac, dan Zac memeluknya kembali tanpa ragu.
Di pelukannya, Nafa seperti kembali jadi dirinya yang utuh.
> “I’m home,” bisiknya.
“And I’m not going anywhere,” jawab Zac.
Malam itu, mereka tak banyak bicara lagi. Hanya duduk berdampingan. Tangan bertaut. Napas saling menghangatkan.
Cinta memang tak selalu tentang kisah yang sempurna. Tapi tentang dua orang yang tetap memilih satu sama lain — meski dunia pernah memisahkan, meski hati pernah retak oleh masa lalu.
Waktu yang Tak Pernah Kembali, Tapi Tak Juga Hilang
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir Nafa dan Christian.
Nafa memilih tetap melanjutkan hidupnya bersama Zac dan Reagan. Luka tak sepenuhnya sembuh, tapi sekarang ada ruang untuk damai. Ruang untuk memahami bahwa cinta tak harus dimiliki dua kali agar tetap bermakna.
Zac menjadi lebih hangat, lebih tenang, dan Nafa belajar memeluk masa lalunya tanpa menyalahkan siapa pun. Mereka bertiga — orang tua dan anak — membangun kembali keseharian yang sempat goyah.
Suatu pagi, saat Nafa sedang merapikan seragam Reagan, anak kecil itu tiba-tiba berseru:
“Mom! Mr. Kendrick jadi guru renang sekolah-ku. Aku senang sekali"
Nafa terdiam, jantungnya seperti jatuh ke lantai.
“Guru Renang?” ulangnya perlahan.
Reagan mengangguk bersemangat. “Iya! Dia katanya suka pantai dan laut, jadi dia mau ajarin kita renang!”
Zac yang sedang meminum kopinya hanya mengangguk dan tersenyum tipis ke arah Nafa. Tak ada kata. Tapi pandangannya mengatakan: it’s okay.
Nafa menunduk, lalu tersenyum lembut pada Reagan.
“That’s nice, sweetheart. Make sure you behave.”
---
Epilog – Laut yang Masih Sama
Hari itu datang.
Christian berdiri di halaman taman kanak-kanak, dengan senyum penuh damai. Bukan untuk merebut masa lalu, tapi untuk menjadi bagian kecil dari dunia baru. Dunia tempat Reagan tumbuh, dan tempat Nafa bahagia.
Ketika Nafa dan Zac menjemput Reagan seusai kelas, mata Christian dan Nafa sempat bertemu.
Tak ada kata. Hanya anggukan kecil.
Dan senyum penuh pengertian dari seseorang yang pernah dicintai sepenuh hati… dan kini dilepas dengan sepenuh jiwa.
Karena cinta bukan selalu tentang bersama selamanya.
Tapi tentang pernah saling menemukan — meski akhirnya memilih jalan yang berbeda.
The End