Just a Bench in the Park
Angin musim semi bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun muda di sepanjang jalan setapak taman. Christian duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi danau kecil yang tenang, dengan dua cup es krim di tangannya. Salah satunya rasa coklat—favorit Reagan.
> “I’m not even sure he’ll come...”
pikir Christian, sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
Tiba-tiba, suara kecil yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
> “You really came, Mister Chris!”
Christian menoleh cepat. Senyumnya merekah.
> “Hey, buddy! I told you I would. A promise is a promise.”
“Do you have the chocolate one?”
“Of course I do. For my favorite little swimmer.”
Reagan duduk di sampingnya, menerima es krim dengan senyum lebar.
> “Mom said I shouldn’t talk to strangers. But I told her you saved me.”
“That’s very kind of you,” jawab Christian, menahan senyum pahit.
“So… do you live here now? Are you a lifeguard or something?”
Christian tertawa kecil.
> “No. I just like this place. Peaceful. Reminds me of someone I used to know.”
Reagan mengangguk, sambil menyendok es krim dengan semangat.
> “Is that someone my mom?”
Christian terdiam.
Reagan menoleh ke arahnya, polos.
> “You look like someone from Mom’s photo album. She cried once looking at that picture.”
Christian menatap wajah kecil itu—mata itu… seperti mata Nafa.
> “You’re a smart kid, Reagan.”
> “Thanks! My dad says so too.”
Hati Christian mencelos, namun ia tetap tersenyum.
Ia tahu, garis takdir tidak bisa diubah semudah itu.
> “Do you think we can be friends forever?”
tanya Reagan, menggoyang-goyang kaki kecilnya.
Christian menghela napas pelan, lalu menjawab dengan suara tulus:
> “As long as you want, I’ll always be here.”
Dari kejauhan, Nafa dan Zac memperhatikan semuanya.
Ada damai, ada cemburu, dan ada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Di malam yang tenang, cahaya kota Los Angeles menyelinap masuk melalui jendela apartemen mereka. Nafa duduk di sofa, memandangi punggung Zac yang berdiri diam di dapur, menatap kosong ke dalam cangkir kopinya.
Nafa menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan,
> “Zac... we need to talk.”
Zac menoleh, menatap wajah istrinya yang tampak rapuh, tapi penuh keteguhan. Ia duduk di samping Nafa tanpa berkata-kata.
> “I saw how you looked at us. At me... and him. At Reagan.”
Nafa menunduk.
“I never planned for this. I didn’t know he was still alive.”
Zac mengangguk kecil.
> “I believe you.”
Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Nafa memandang Zac, matanya berkaca-kaca namun jernih.
> “Zac… I want you to know, I choose this life. I choose you.”
“But?” Zac bertanya lirih.
> “But I can’t erase Christian from my heart. He was my first love. My memories with him are a part of me... they shaped who I was before you found me.”
Zac menunduk, tangannya menggenggam erat lututnya.
> “Do you still love him?”
Nafa menggigit bibir.
> “Not in the same way. It’s not about wanting him back… it’s about accepting that he was real. That he mattered. But I love you, Zac. And this family—we are real now.”
Zac menatap Nafa dalam-dalam.
> “You’re not trying to forget him anymore.”
> “No. I don’t want to forget him. But I don’t want to lose you either. I’m not asking you to compete with a ghost. I’m asking you to walk with me... forward.”
Air mata menetes dari sudut mata Zac, tanpa suara.
> “You’re my home, Nafa. You and Reagan. Even if a piece of you still belongs to someone else… I’ll be your present. Your future.”
Nafa tersenyum lirih, menggenggam tangan Zac.
> “And you’ll always be the man who taught me how to love again, when I thought I never could.”
Janji Kedua di Taman
Pagi itu langit bersih, seolah tahu ada yang akan dipertemukan. Burung-burung berkicau malas, dan matahari belum terlalu galak menyapa dedaunan taman kota yang mulai ramai.
Christian duduk di bangku taman yang sama seperti pertemuan sebelumnya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, menunggu seorang bocah kecil yang, entah bagaimana, menghangatkan bagian hatinya yang lama beku.
Reagan muncul sambil berlari kecil, membawa tas ransel mungil dan senyum penuh rahasia.
“Kamu datang!” serunya riang.
Christian tersenyum. “Tentu. Kamu janji ngajak aku ketemu... seseorang yang penting, katanya?”
Reagan mengangguk penuh semangat. “Iya! Tapi... kamu jangan marah ya. Aku gak bilang siapa-siapa.”
Christian menaikkan alis. “Maksudnya?”
Tapi sebelum pertanyaan itu selesai, langkah kaki lain terdengar. Seorang pria dengan wajah penuh wibawa muncul di balik pepohonan.
Adam.
Christian langsung bangkit dari duduknya, tubuhnya menegang.
Adam, yang awalnya tampak heran, kini menatap Christian seperti sedang menilai seseorang dari masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.
“Kakek, ini dia!” seru Reagan tanpa rasa bersalah. “Ini paman pantai yang aku ceritain itu!”
Adam menatap cucunya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada pria muda di depannya. Sambil mengingat-ingat
“Christian?” Adam terkejut tidak percaya
Christian menelan ludah pelan. “Iya, Pak.”
Reagan memandang dua sosok dewasa itu dengan polos. “Kakek kenal?? "
Adam menghela napas, lalu menepuk kepala cucunya dan mengangguk pelan
Reagan duduk di bangku sambil mengeluarkan buku gambarnya lagi, tak terganggu oleh ketegangan di udara.
Adam dan Christian tetap berdiri.
“Aku tak menyangka bapak yang akan datang,” kata Christian akhirnya.
“sepertinya cucuku punya cara sendiri mengatur dunia.”
Christian menatap Reagan sejenak, kemudian kembali ke Adam. “Saya gak punya niat macam-macam. Saya cuma... nggak bisa bilang tidak ke anak itu.”
Adam duduk perlahan di bangku, berdampingan dengan cucunya. Ia menatap lurus ke depan. “Reagan selalu ingat kamu. Bahkan sebelum kami tahu siapa yang dia maksud.”
Suara Adam kini pelan, nyaris terbawa angin. “Aku tahu... ada sesuatu yang hilang darinya setelah kecelakaan itu.”
Christian berdiri diam. Hatinya tak karuan. Tapi ia tahu, jika ia berbalik sekarang, ia akan mengulang luka yang dulu.
“Saya gak bisa mengubah apa yang terjadi, Pak,” katanya lirih. “Tapi saya juga gak bisa terus lari.”
Adam menoleh. Untuk pertama kalinya, matanya melembut. “Saya tidak menyuruhmu lari. Tapi kalau kamu benar-benar ingin kembali... jangan hanya datang karena Reagan mengundang.”
Christian menatapnya dalam.
“Datanglah... karena kamu benar-benar siap berdiri di depan Nafa. Sebagai dirimu sendiri. Bukan bayangan masa lalu. Selesaikan masa lalu kalian dengan dewasa."
Reagan melihat mereka bergantian.
“Jadi… kalian temenan sekarang?” tanyanya polos.
Adam tersenyum kecil. “Belum. Tapi siapa tahu. Anak kecil sering jadi jembatan yang lebih bijak dari orang dewasa.”
Christian akhirnya duduk. Tak lagi canggung. Mungkin ini bukan awal yang ideal. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa... tak perlu menjelaskan segalanya dalam satu waktu.
Hari itu, di taman kecil yang tenang, tak ada yang sepenuhnya selesai.