Kebenaran dari Bawah Tanah
Lokasi: Pemakaman Kecil, Pinggiran Kota – Pagi Mendung
Gerimis tipis turun sejak subuh, membasahi rerumputan liar yang mengelilingi pagar besi berkarat di pemakaman kecil itu. Suasana tampak muram, seakan alam ikut menggigil menanti kebenaran yang sebentar lagi diangkat dari bawah tanah.
Di bawah tenda darurat biru, Kapten Yudha berdiri tegap dalam mantel hujan. Wajahnya kaku. Di tangan kirinya, map coklat penuh berkas lama; di tangan kanan, termos kopi yang dingin sejak satu jam lalu.
Tim forensik tengah sibuk menggali makam dengan nisan kayu bertuliskan:
“Kendrick Christian — 1990–2023”
> Padahal, penyelidikan diam-diam menyebut: nama itu mungkin keliru.
Bripka Salma menghampiri dengan raut tegang. “Pak, ini salinan data medis dari RS Pelita Sehat. Pasien atas nama Kendrick Christian pernah menjalani endoskopi tiga bulan sebelum kecelakaan. Ada catatan iritasi di bagian esofagus bawah.”
Kapten Yudha membaca cepat. “Dan catatan lain?”
Salma membuka lembar kedua. “Saat usia 17, pasien pernah mengalami patah tulang lutut kanan akibat kecelakaan sepeda motor. Ada laporan operasi pemasangan plat titanium ukuran mikro.”
Kapten Yudha mendecak pelan. “Artinya, kalau ini benar jenazah Kendrick, kita harus bisa lihat minimal dua hal: jejak luka di kerongkongan, dan plat logam di lutut.”
Suara cangkul menghantam kayu. Peti tua akhirnya berhasil diangkat ke permukaan. Petugas forensik dengan perlahan membuka tutup peti yang sudah mulai lapuk karena lembap. Aroma tanah basah dan kayu membusuk menusuk hidung.
> Sunyi. Bahkan hujan seolah menunda tetesnya.
Saat kain kafan dibuka, mereka hanya melihat tulang belulang. Tengkorak dengan retakan samar.
Seorang ahli forensik berkata tegas, “Tulang lutut kanan utuh. Tidak ada logam terdeteksi. Struktur tenggorokan juga bersih. Tidak ada bekas iritasi atau luka lama.”
Kapten Yudha merunduk, memandangi kerangka itu. “Berarti kita... menggali nama yang salah.”
Salma tampak pucat. “Kalau begitu... siapa yang dikubur di sini?”
Satu jam kemudian, hasil uji DNA dari gigi belakang keluar.
Kapten Yudha menghela napas panjang. “Yang dikubur di sini... Marco. Bukan Kendrick Christian.”
Salma menambahkan, “Dua hari setelah kejadian, ada rekaman CCTV di SPBU jalur barat. Seorang pria pakai hoodie dan helm penuh, bawa motor Marco. Wajahnya tidak terlihat, tapi tinggi dan posturnya... mirip Kevin.”
Kapten Yudha menatap makam yang terbuka. “Kita bukan cuma salah nama. Kita salah cerita sejak awal.”
---
Di Antara Dua Nama
Lokasi: Pemakaman — Sore Hari Setelah Penggalian
Mendung belum juga bubar. Langit hanya berganti dari kelabu terang ke kelabu gelap. Tanah makam yang tadi diuruk ulang kini kembali sunyi. Tak ada polisi. Tak ada forensik. Hanya satu sosok lelaki berdiri diam—Kendrick Christian.
Tubuhnya masih tirus. Luka di pelipis kiri belum sepenuhnya pulih. Namun sorot matanya kini tak lagi bingung.
Ia menatap nisan kayu sederhana itu:
“Kendrick Christian — 1990–2023”
> Ironi. Nama itu masih berdiri, walau tubuh pemilik aslinya masih hidup.
Perlahan, Christian berjongkok. Dari dalam saku jaket tuanya, ia keluarkan kalung berbentuk bintang—yang pernah menjadi miliknya, lalu milik Nafa, lalu... Di rampas Marco malam itu.
Ia menggenggam kalung itu lama. Suara hujan mulai turun pelan, seperti semesta ikut mendengarkan.
"Kamu menang, Mar. Bahkan sampai akhir, dunia pikir yang mati itu aku.”
Ia menunduk lebih dalam, menatap tanah merah yang belum sepenuhnya padat.
“kamu pikir hidup aku gampang, ya? Karena aku punya kerjaan, punya cewek, punya arah.”
(Sesaat hening)
“Padahal, aku cuma yatim piatu. Nama ‘Kendrick’ itu... cuma peninggalan dari orang yang ninggalin aku duluan.”
Ia mengusap tetes air hujan yang menempel di kalung itu
“Nafa... satu-satunya orang yang bikin gue ngerasa nama gue punya makna. Tapi malam itu, kamu ambil semuanya. Nama-ku. Motor, kalung ini. Bahkan... hidup Aku.”
Hening. Lalu dengan gerakan perlahan, Christian menaruh kalung itu di atas tanah makam. Ia tekan hingga setengah tenggelam ke lumpur basah.
Ia berdiri. Hoodie-nya ditarik menutupi kepala.
Gerimis berubah menjadi hujan deras, tapi tak membuatnya berlari.
"Aku yang terus hidup. Tapi bukan untuk kabur... untuk bertanggung jawab. Untuk ngebenerin semua yang rusak. Bahkan kalau aku harus mulai tanpa nama."
Langkah kakinya menjauh.
Pelan tapi mantap.
Ia meninggalkan dua hal di belakang:
—nama yang bukan lagi miliknya,
dan kalung, yang kini menjadi penanda baru sebuah kuburan lama.
Upaya yang Tertunda
Keesokan harinya, setelah hasil uji DNA mengonfirmasi bahwa jenazah yang dimakamkan atas nama Kendrick Christian ternyata adalah Marco, bukan Christian, Kapten Yudha langsung menginstruksikan penyelidikan lanjutan.
“Hubungi Adam dan Nafa,” ucap Kapten Yudha sambil memandangi papan kronologi yang penuh dengan catatan dan foto-foto TKP. “Kita perlu pemeriksaan silang, terutama soal keberadaan mereka malam kejadian.”
Bripka Salma segera mengangkat ponsel dan mencoba menghubungi Nafa terlebih dahulu. Satu nada sambung… dua… lalu masuk ke voice mail.
Ia mencoba lagi ke nomor rumah yang tercatat sebelumnya. Tidak aktif.
“Nomor Nafa tidak bisa dihubungi, Pak,” lapor Salma. “Data terakhir yang kita punya, dia dibawa ke Amerika sehari setelah kejadian karena koma. Tapi belum pernah kembali lagi.”
Yudha mengerutkan alis. “Amerika? Siapa yang bawa dia ke sana?”
“Adam,” jawab Salma pelan. “Sesuai pernyataan dari kerabat terdekat, malam kecelakaan itu Adam sedang berada di Boston, menghadiri konferensi psikiatri. Begitu mendengar kabar Nafa koma akibat kecelakaan, dia langsung terbang pulang dengan jet pribadinya, menjemput Nafa dari RS Pelita Sehat, dan membawanya ke Amerika untuk perawatan lanjutan.”
Yudha mengangguk pelan, menyerap informasi itu. “Berarti dia tidak ada di lokasi saat kejadian.”
“Tidak secara fisik,” jawab Salma. “Tapi sejak itu, Nafa dirawat dan tinggal di New York bersama Adam. Tak ada laporan kunjungan balik ke Indonesia selama lebih dari dua tahun terakhir. Mereka menghindari media, dan tidak pernah memberi pernyataan publik.”
"Adam juga yang menandatangani surat kematian itu, dia juga meminta agar mayat yang di yakini Christian itu tidak perlu di otopsi"
Kapten Yudha menghela napas, lalu berjalan perlahan menuju jendela. Hujan tipis membasahi kaca, sama seperti semalam saat makam digali ulang.
“Kita tak bisa menghubungi siapa pun yang menyaksikan malam itu,” gumamnya. “Nafa koma. Christian menghilang. Adam membawa Nafa keluar negeri. Dan satu-satunya tubuh yang bisa bicara... ternyata bukan siapa yang kita kira.”
Salma menunduk, lalu menambahkan, “Mereka mungkin menyimpan sesuatu yang bisa menjawab teka-teki ini. Tapi untuk saat ini… kita kehabisan saksi.”
“Tidak,” potong Yudha, nadanya tegas. “Masih ada satu.”
Salma menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu.
“Christian Kendrick belum mati. Dan cepat atau lambat… dia akan kembali ke dunia yang menguburnya hidup-hidup.”
Kebenaran yang Terkubur
Ruang interogasi sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Di hadapan dua penyidik duduk Kevin, tubuhnya tegap tapi sorot matanya letih. Ia sudah lama memendam kebenaran. Sekarang, tak ada lagi ruang untuk diam.
Kesaksian Kevin
Detektif:
“Kami ingin tahu seluruh kronologi malam kejadian. Dari kamu, Kevin.”
Kevin:
(Mengangguk pelan, suara berat)
“Saya ada di sana. Saya... memang selalu ada. Karena Adam minta saya awasi Nafa. Saya selalu mengawasi dari jauh. Termasuk malam itu.”
Penyidik:
“Jadi malam itu Christian memang datang ke arena?”
Kevin:
“Ya. Christian sebenarnya enggak niat ikut balapan. Dia udah lama pensiun. Tapi dia bilang ke saya, ‘Gue cuma pengin rasain ngebut sekali aja. Sekali aja, Kev.’ Saya ngerti. Itu kayak kerinduan buat dia. Tapi bukan untuk menang... hanya menutup kenangan.”
Detektif:
“Lalu Marco muncul?”
Kevin:
(Mengangguk tegas)
“Marco selalu muncul di setiap balapan, tapi malam itu dia beda. Lebih... gelap. Dia datang ke Christian sebelum start dan bilang, ‘Kalau gue menang, gue bawa Nafa.’”
Penyidik:
“Deal sepihak.”
Kevin:
“Benar. Christian nggak jawab. Dia anggap itu omong kosong. Tapi setelah finish, Marco menang. Dia langsung nyamperin tribun, narik liontin dari leher Nafa dan nyeret dia. Nafa jelas panik.”
Detektif:
“Dan Christian?”
Kevin:
“Christian murka. Dia samperin Marco. Mereka berkelahi. Awalnya saya pikir itu baku hantam biasa. Mereka sering begitu sejak SMA. Tapi tiba-tiba... Marco ambil stang motor tua—yang biasa dipakai ganjel rem. Dia pukul kepala Christian keras-keras. Christian langsung tumbang.”
Penyidik:
“Kamu melihat itu?”
Kevin:
“Ya. Saya syok. Saat saya mau bantu Nafa, Marco sudah bawa dia pergi naik motor Christian. Jaket, helm, semuanya milik Christian. Saya langsung lari ke Christian. Dia nggak sadar. Berdarah banyak. Saya angkut dia ke mobil dan sembunyiin dia di rumah kosong milik Adam dulu. Saya nggak tahu Marco bakal gila sejauh itu…”
Detektif:
“Kenapa kamu tidak lapor?”
Kevin:
“Saya takut. Malam itu motor Christian ditemukan terbakar. Ada tubuh tak dikenal. Semua orang yakin itu Christian. Karena liontin Nafa ditemukan di situ. Saya... nggak sanggup melihat Nafa atau Ibu Christian hancur lagi. Saya... pengecut.”
---
Beberapa jam kemudian, giliran Christian. Tubuhnya masih lemah. Luka di pelipis belum pulih betul. Tapi tatapannya tajam. Jelas. Siap untuk membongkar semuanya.
Kesaksian Christian
Detektif:
“Christian, kamu bisa lanjutkan kronologi setelah itu?”
Christian:
(Suara parau, menatap meja)
“Yang saya ingat... saya tarik Marco ke lorong sempit dekat paddock. Saya cuma mau dia berhenti. Tapi dia marah. Dia tuduh saya egois, ambil semua yang dia pengin—geng motor, sahabat, dan... Nafa. Saya enggak sempat jawab. Tiba-tiba... BRAKKK! Sesuatu kena belakang kepala saya. Rasanya seperti dunia meledak.”
Penyidik:
“Itu stang motor?”
Christian:
“Ya. Besi panjang. Sering dipakai buat ganjel rem. Marco pakai itu. Saya ambruk. Nggak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap. Saya pingsan lama.”
Detektif:
“Kapan kamu sadar?”
Christian:
“Pagi. Udah di tempat lain. Tubuh saya sakit semua. Kevin ada di sana. Dia bilang Marco bawa Nafa dan... orang-orang udah ngira saya yang tewas.”
Penyidik:
“Kenapa kamu tidak segera muncul?”
Christian:
“Saya mau. Tapi tubuh saya lemah. Kepala saya cedera. Saya sempat hilang ingatan beberapa hari. Dan saat sadar, saya takut. Takut muncul dan malah dituduh ngebunuh Marco. Semua bukti ada di saya: motor, liontin, jaket, helm. Sementara Marco... lenyap tanpa identitas.”
Detektif:
“Jadi kamu yakin, mayat yang dikubur atas nama Christian... sebenarnya Marco?”
Christian:
(Mengangguk pelan)
“Liontin itu punya saya. Tato kecil di jari... kami buat bareng waktu SMP. Tapi Marco juga punya. Dia sengaja meniru. Supaya kalau dia mati, orang kira itu saya. Dan kalau saya hidup... saya enggak bisa buktikan saya bukan dia.”
---
Para penyidik saling pandang.
Potongan-potongan yang selama ini membingungkan akhirnya terhubung:
Marco memukul Christian hingga pingsan.
Marco menyamar sebagai Christian dan membawa Nafa.
Kevin menyembunyikan Christian karena takut.
Mayat yang terbakar, yang dikubur sebagai Christian, adalah Marco.
Detektif menutup berkas..