Loading...
Logo TinLit
Read Story - To the Bone S2
MENU
About Us  

Rumah Sakit Tanpa Wajah

 

Cahaya putih itu menyilaukan. Bukan seperti matahari, tapi lebih menusuk, seperti jarum-jarum neon yang tak mengenal ampun.

 

Nafa membuka matanya perlahan. Semua terasa asing. Langit-langit ruangan ini bukan langit-langit kamar yang ia kenal. Bau antiseptik menusuk hidungnya. Tangannya dingin, kaku, dengan selang infus menancap di kulit pucatnya. Ketika ia mencoba bergerak, tubuhnya hanya merespons dengan nyeri yang pelan tapi menyiksa.

 

Ia tidak tahu di mana ia berada.

 

Namun suara yang ia cari tak terdengar. Bukan suara ayahnya. Bukan suara suster. 

 

Wajah lelaki itu... seharusnya ada di sini. Tapi tak ada.

 

 

---

 

Hari-hari berikutnya berlalu seperti potongan film yang diputar lambat. Nafa hanya bisa duduk, menatap jendela rumah sakit yang memperlihatkan salju tipis jatuh di luar. Kota ini — tempat ini — adalah Amerika. Begitu kata ayahnya.

 

“Untuk pengobatan terbaik,” katanya, sambil mengelus rambut Nafa dengan tangan yang dulu begitu tegas, kini penuh keraguan.

 

Mereka tidak membicarakan kecelakaan. Mereka tidak menyebut nama apa pun dari masa lalu.

 

Yang ada hanya suster-suster asing, suara mesin medis, dan seorang pria muda bernama Zac yang mulai duduk di ruangan terapi setiap sore.

 

Zac tidak langsung bicara. Ia hanya duduk. Kadang menggambar di buku sketsanya. Kadang hanya membaca novel. Tapi kehadirannya tenang, seperti air hangat yang perlahan meluruhkan kebekuan.

 

“Boleh aku duduk di sini?” tanya Zac suatu hari.

 

Nafa mengangguk pelan. Suaranya belum kuat untuk menjawab. Tapi Zac tersenyum, seolah itu sudah cukup.

 

 

---

 

Suatu malam, setelah Nafa tertidur lebih awal, Zac keluar dari ruang terapi. Ia menemukan Adam menunggu di lorong, duduk dengan tangan terlipat dan kepala menunduk.

 

“Zac,” kata Adam pelan, seperti sedang menimbang berat di hatinya. “Aku mau bicara sedikit.”

 

Zac mengangguk, berdiri tegak seperti biasa — tenang tapi waspada.

 

“Putriku... dia terlihat hidup, tapi hatinya masih di tempat yang tak bisa aku jangkau.” Adam menghela napas. “Aku tahu dia kehilangan seseorang. Kami semua tahu itu.”

 

Zac menatapnya tajam, tidak menjawab.

 

“Aku ingin kau menghipnoterapi dia. Hapus kenangan itu. Hapus siapa pun yang membuatnya terjebak di masa lalu.”

 

Zac menelan ludah. “Pak Adam, proses seperti itu tidak bisa asal dilakukan. Apalagi kalau pasien belum siap.”

 

“Dia akan hancur kalau terus memeluk kenangan itu. Aku sebagai ayah... aku nggak tahu cara lain buat selamatkan dia.”

 

Sesaat sunyi. Zac menatap lantai sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar, “Kalau aku lakukan itu, dia mungkin akan lupa… tapi dia tidak akan benar-benar sembuh.”

 

Adam memejamkan mata. “Kalau itu harga yang harus dibayar agar dia bisa hidup... maka biarlah aku jadi orang jahat yang membuat keputusan itu.”

 

Zac diam. Pilihan itu bukan medis. Itu emosional. Dan dalam hatinya yang mulai terikat pada pasien bernama Nafa, ia tahu — menghapus sesuatu bukan berarti menyembuhkan.

 

Tapi ia juga tahu... kadang cinta seorang ayah terlalu besar untuk membiarkan luka itu tetap ada.

 

 

---

 

Esoknya, Zac datang ke ruangan Nafa dengan satu tujuan: membantunya melepaskan — meski tahu sebagian dari dirinya sendiri ikut tercerabut dalam proses itu.

 

Jatuh Pada Perempuan yang Tak Mengingat Siapa Dirinya

 

Sudah tiga minggu sejak sesi terapi pertama dimulai.

 

Nafa sudah bisa berjalan sendiri. Pelan, ragu-ragu, seolah setiap langkahnya seperti menyusuri ingatan yang kabur. Ia tidak banyak bicara, tapi Zac tahu... setiap diamnya penuh makna.

 

Sore itu, Zac duduk di sudut ruangan, mencatat perkembangan pasien lain saat pintu terbuka perlahan. Nafa berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan mata yang selalu tampak setengah kosong.

 

“Aku mimpi lagi,” katanya tanpa basa-basi.

 

Zac menutup bukunya, perlahan berdiri. “Yang sama?”

 

Nafa mengangguk. “Pantai. Tangan seseorang... dan suara motor.”

 

Zac tidak menjawab. Ia tahu, memancing terlalu dalam akan menyalakan kembali luka yang seharusnya perlahan padam.

 

Tapi yang tidak ia duga adalah perasaan yang mulai tumbuh—perlahan tapi pasti. Perasaan yang berbahaya. Yang seharusnya tidak muncul di antara pasien dan terapis. Tapi bagaimana ia bisa tidak tergerak?

 

Gadis itu duduk di tepi jendela, cahaya matahari sore membingkai rambutnya. Bahkan dalam keadaan rapuh, ada sesuatu yang tenang dan lembut dari cara Nafa mengamati dunia, seperti sedang menunggu sesuatu yang sudah tak akan pernah kembali.

 

“Zac,” katanya pelan. “Kamu pernah ngerasa... cinta sama seseorang yang nggak kamu kenal?”

 

Zac tertawa kecil, pura-pura santai. “Kamu nanya gitu karena kamu nggak ingat siapa-siapa, atau karena kamu lagi ngetes aku?”

 

Nafa tersenyum samar. “Aku serius.”

 

Zac menatapnya, dan untuk sesaat tak menjawab. Ia tidak bisa jujur. Tapi pikirannya berbicara sendiri:

 

Ya, aku sedang jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak mengenal dirinya sendiri.

 

 

---

 

Beberapa hari kemudian, Adam memanggil Zac lagi. Kali ini nadanya mendesak.

 

“Bagaimana perkembangannya?”

 

“Baik,” jawab Zac singkat.

 

“Dan hipnoterapi?”

 

Zac ragu. Ia sudah mulai menjalankan prosesnya. Perlahan. Membimbing Nafa masuk ke ruang kenangan dengan hati-hati, lalu mengaburkannya sedikit demi sedikit. Tapi setiap ia menghapus satu fragmen, rasa bersalah menyelusup lebih dalam.

 

“Dia mulai bisa tersenyum,” jawab Zac akhirnya. “Tapi senyumnya... bukan miliknya. Itu senyum yang aku bantu bentuk.”

 

Adam menatapnya lekat. “Kau mulai terlibat secara emosional.”

 

Zac tidak membantah. Ia hanya menunduk.

 

“Aku tidak akan melarang,” kata Adam pelan. “Tapi kalau kau mencintainya, cintailah dia tanpa beban. Jangan buat dia harus memilih masa lalu yang bahkan tak bisa dia lihat jelas.”

 

 

---

 

Malam itu, Zac duduk sendirian di apartemennya. Buku-buku psikologi berserakan di lantai, dan ia membuka halaman sketsanya. Gambar wajah Nafa — dari berbagai sudut, dalam diam, dalam senyum samar, dalam sorot mata kosong — memenuhi halaman demi halaman.

 

Ia tak pernah menggambar pasien lain.

 

Hanya Nafa.

 

Yang Tak Pernah Selesai

Flasback

New York, Dua Pekan Setelah Pemakaman

Dari balik jendela rumah sakit Adam memandangi salju tipis yang turun di luar. Di ruang tengah, mesin infus berdetak pelan di samping ranjang tempat Nafa berbaring. Masih belum sadar. Sudah dua minggu sejak ia membawanya keluar dari Indonesia.

Ia memijit pelipisnya. Lelah, tapi bukan fisik.

Malam-malam belakangan selalu sama—hening, tapi riuh di kepalanya.

Ia menarik kursi, duduk di samping Nafa, lalu menggenggam tangan Nafa yang dingin. Napasnya menggantung, menggenggam tanpa tahu doa apa yang harus diucap.

Ia memejamkan mata, menahan denyut aneh yang selama ini ia pendam.

“kalung itu, luka di wajahnya, dan helm yang hancur. Semua cocok. Tapi waktu lihat tubuhnya di ruang pendingin… kenapa rasanya asing? Kayak aku ngelihat tubuh orang lain, bukan Christian.”

Tangannya bergetar.

“Aku yang tanda tangan surat kematian. Aku yang masukin dia ke liang lahat. Tapi setiap malam, wajahnya datang lagi. Bukan wajah Christian. Tapi… wajah orang yang minta tolong. Minta diungkapkan.”

Matanya menatap ke arah Nafa, yang wajahnya masih tenang dalam koma panjang.

“Kau juga ngerasa, ya?” gumamnya lirih.

Adam meneguk ludah, lalu berdiri. Ia melangkah ke meja dan membuka laptop. Di dalamnya, tersimpan video berlabel “Dashcam – Night of the Accident”. Diberikan oleh kenalan polisi dari Indonesia. Belum pernah ia buka.

Tangannya begetar. Ujung kursor mengarah ke file itu namum Ia ragu untuk membukanya..

Karena jika ia buka… tak ada jalan balik lagi.

Tapi kalau tidak dibuka…

Rasa bersalah ini akan jadi racun yang menggerogoti hidupnya hari demi hari.

Ia menatap layar laptop . Hening. Lalu, satu bisikan dalam hati:
"Kau harus tahu siapa yang benar-benar pergi malam itu."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gerhana di Atas Istana
22357      5497     2     
Romance
Surya memaksa untuk menumpahkan secara semenamena ragam sajak di atas kertas yang akan dikumpulkannya sebagai janji untuk bulan yang ingin ditepatinya kado untuk siapa pun yang bertambah umur pada tahun ini
Annyeong Jimin
29909      4047     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
545      416     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Lost & Found Club
437      348     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
40 Hari Terakhir
801      544     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
God, why me?
213      173     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Asrama dan Asmara
523      378     0     
Short Story
kau bahkan membuatku tak sanggup berkata disaat kau meninggalkanku.
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Crystal Dimension
326      226     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6105      1975     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...