Selama tiga belas tahun aku hidup dan tinggal di rumah ini, tidak pernah sekali pun aku memasuki gudang. Tempat itu persis berada di samping kandang hewan. Sejak dulu aku takut untuk masuk ke sana karena Mas Yanto pernah bercerita dia melihat sosok berbaju putih dan berambut panjang—mirip seperti kuntilanak—ketika bersembunyi di sana. Gudang itu memang begitu gelap karena saklarnya yang rusak tidak kunjung Bapak betulkan. Alhasil setiap orang yang ingin masuk ke sana harus membuka pintu lebar-lebar agar cahaya masuk ketika langit masih cerah atau menggunakan senter apabila langit telah gelap.
Hari ini, aku memberanikan diri masuk ke gudang. Umurku sudah bukan lima tahun lagi, yang percaya akan ucapan Mas Yanto berumur delapan tahun mengenai penampakan kuntilanak di sana. Masku itu pasti hanya berhalusinasi atau dia sengaja berbohong karena kesal persembunyiannya aku temukan dengan cepat. Pasalnya delapan tahun lalu, setelah Mas Yanto keluar dari gudang dan menceritakan kejadian horor itu, permainan petak umpet langsung berakhir begitu saja.
Aku membuka pintu gudang dengan kunci yang Mas Yanto berikan. Setelah aku membuka pintunya lebar-lebar, aku langsung terbatuk-batuk karena debu di dalam sana meruak keluar. Semenjak Bapak pergi, gudang ini memang tidak pernah dibersihkan, tetapi terus dimasuki barang-barang bekas.
Tidak kuat dengan debu yang menumpuk, aku mengambil sapu. Kaos yang sedang aku gunakan kutarik hingga menutupi hidung, lalu perlahan aku membersihkan debu-debu di area yang masih bisa aku jangkau saja. Lebih tepatnya di lantai dan area kardus-kardus berisi koran bekas yang menjadi tujuan utamaku masuk ke sini.
Usai membersihkan debu yang mengganggu pandangan dan pernapasan, aku mulai membuka kardus-kardus berisi koran bekas. Koran-koran itu adalah koran yang telah Bapak baca semasa hidupnya. Bapak suka sekali membaca koran ketika di terminal atau pasar sembari menunggu penumpang. Sebulan setelah Bapak pergi, tidak ada lagi koran yang dilempar ke teras rumah kami.
Tujuanku mencari koran-koran bekas dikarenakan guru mata pelajaran bahasa Indonesia memberikan tugas mencari berita di koran untuk diteliti struktur maupun kaidah kebahasaannya. Mengingat bahwa dahulu Bapak suka sekali membaca koran, maka aku tanyakan kepada Mas Yanto keberadaan koran-koran bekas tersebut, lalu Mas Yanto memberikanku kunci gudang ini.
Kardus berisi koran itu cukup banyak, mungkin ada sekitar sepuluh kardus. Sebanyak itu, tapi Ibu tidak pernah mau membuang atau merombengnya untuk ditukar dengan uang. Lumayan, satu kilogram koran bisa dihargai sepuluh ribu rupiah. Namun aku mengerti apa yang Ibu rasakan, beliau pasti ingin menyimpan barang-barang peninggalan Bapak. Persis seperti aku yang masih menyimpan handuk kecil berwarna merah milik Bapak yang selalu beliau gunakan saat narik bemo. Aku menyimpan satu-satunya handuk yang tersisa itu dengan baik di dalam lemari, sementara satu handuk lainnya tidak pernah aku temukan di mana keberadaannya setelah hari terakhir Bapak pergi bekerja.
Dari banyaknya kardus, aku memilih satu kardus yang berada di paling atas. Aku angkut kardus itu dengan susah payah ke luar gudang untuk memudahkanku mencari berita yang cocok. Pintu gudang masih aku biarkan terbuka lebar. Sementara itu aku berlutut di depan kardus untuk mengambil koran-koran di dalamnya.
Koran teratas, halaman pertama menunjukkan berita pembacokan. Aku ngeri dibuatnya jadi aku ambil dan jatuhkan ke lantai. Koran kedua, halaman pertama juga menunjukkan berita yang sama. Terus begitu hingga koran kelima. Sepertinya saat itu, berita pembacokan adalah berita hot yang sedang ramai di publik. Aku menjadi penasaran untuk membacanya.
Berita pembacokan di koran tersebut terbit pada bulan Desember 2013. Bulan yang sama dengan bulan kematian Bapak.
Aku mulai membaca judul berita pembacokan itu.
“Kalah Judi Merpati Pria Ini Bacok Lawannya”
“Tidak Terima Ditagih Uang Judi, Pria Ini Bacok Lawannya”
“Permainan Judi Adu Doro Berakhir Pembacokan oleh Seorang Warga Di Surabaya”
Dan judul di koran-koran selanjutnya yang tidak begitu berbeda.
Namun satu koran di dalam kardus mengalihkan fokusku. Halaman pertama koran itu juga memberitakan berita pembacokan yang sama, tetapi bedanya koran itu lengkap dengan foto di TKP. Foto itu menunjukkan barang milik korban berupa handuk kecil berwarna merah yang berlumuran darah. Handuk itu persis seperti handuk milik Bapak yang aku cari selama empat tahun belakangan ini.
Tanganku gemetar mengambil koran di dalam kardus itu. Berkali-kali aku meneguk ludahku sendiri ketika membacanya. Satu persatu kata dalam berita itu aku baca, tidak tertinggal sekalipun. Hingga satu paragraf membuatku terdiam. Paragraf itu berbunyi,
“Korban berinisial C (45) mendatangi rumah pelaku berinisial S (45) untuk menagih uang kemenangan dalam permainan Adu Doro tiga hari yang lalu. Menurut pernyataan pelaku, keduanya mengalami cekcok, korban terus menyuruhnya membayar uang sejumlah tiga ratus ribu rupiah karena telah berjanji kepada anak-anaknya pergi ke Taman Hiburan Remaja (THR), sementara pelaku yang tidak memiliki uang tersulut api amarah. Pelaku masuk ke dalam rumah mengambil pisau, lalu keluar membacok korban. Setelah melakukan pembacokan, pelaku masuk ke dalam rumah mengunci diri bersama anaknya. Sementara itu jasad korban ditemukan oleh warga kurang lebih tiga puluh menit setelah pembacokan.”
Handuk, inisial, umur, dan janji korban dalam berita pembacokan itu begitu sama dengan deskripsi Bapak. Bahkan tanggal pembacokan itu terjadi juga sama dengan hari di mana Bapak tidak pulang dengan bemo kremnya melainkan pulang diantar oleh ambulans. Sekaligus hari di mana seharusnya kami sekeluarga pergi ke Taman Hiburan Remaja (THR) sesuai dengan janji Bapak. Akan tetapi hari itu, kami malah mengantarkan Bapak untuk beristirahat dengan tenang di kasur barunya, di liang lahad.
Rasanya ini bukan hanya kebetulan belaka. Semua kesamaan itu mengarah pada Bapak, tapi hatiku tidak ingin mempercayai dan menerimanya.
Aku berlari masuk ke dalam dapur sambil menggenggam koran itu dengan kuat. Dengan napas yang tersengal-sengal, aku mencerca Ibu yang sedang memasak dengan banyak pertanyaan. Ibu memandangku kebingungan. Aku mengulurkan koran lusuh kepada Ibu, lalu sedetik kemudian badanku seketika lemas. Aku terduduk di lantai dengan air mata yang akhirnya tumpah juga.
Tangisku semakin kencang saat Ibu tidak kunjung menjawab dan hanya diam memandang koran yang memberitakan kronologi kematian suaminya.
“Ada apa, Bu?”
Mas Yanto menyusul ke dapur, seperti biasa dia datang lengkap dengan buku dan pensil di tangannya. Saat melihatku terduduk di lantai dengan air mata yang terus mengucur, Mas langsung menjatuhkan buku dan pensilnya. Dia berjongkok memegang kedua lenganku, Mas bertanya dengan wajah khawatirnya, “Kenapa, Ra? Kenapa kamu nangis?”
Aku tidak kuat untuk menjelaskan kepada Mas.
Dadaku begitu sesak membuatku sedikit kesusahan untuk bernapas. Selama empat tahun aku telah mencoba mengikhlaskan kepergian Bapak yang aku tahu karena kecelakaan lalu lintas. Namun siang ini aku mengetahui fakta yang berbanding terbalik. Bapak meninggal bukan karena kecelakaan lalu lintas saat sedang menarik bemo melainkan dibacok oleh orang jahat yang tidak terima kalah dalam permainan Adu Doro.
Aku tidak tahu banyak tentang permainan Adu Doro. Sebatas penjelasan dari Mas dan teman-teman kampung, permainan Adu Doro adalah permainan yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak. Guru ngaji kampung juga pernah berpesan bahwa permainan itu haram, judi. Dulu, Bapak juga selalu melarangku dan Mas untuk menonton permainan Adu Doro di lapangan kampung kami yang dimainkan oleh pemuda hingga bapak-bapak. Namun yang membuatku bingung, mengapa di saat Bapak melarang anak-anaknya untuk menonton, beliau malah bermain hingga merenggut nyawanya?
Memang kami memelihara puluhan merpati. Bahkan tiga bekupon berdiri tegak di samping kandang hewan. Tapi aku tahu Bapak tidak suka mengadu merpati miliknya. Kami hanya sesekali melatih merpati-merpati dengan menerbangkannya di perumahan dekat kampung kami. Dari banyaknya merpati yang kami punya, Dodo adalah merpati kesayangan kami yang terbang dengan kecepatan super. Dodo juga merpati pertama yang datang ke rumah kami dengan kakinya yang terluka. Kami merawat luka Dodo hingga sembuh. Setelah itu, merpati kami bertambah satu demi satu ekor hingga jumlahnya menjadi puluhan, aku tidak pernah bisa menghitungnya dengan tepat.
Tiga hari sebelum kepergian Bapak, aku pernah kehilangan Dodo. Aku mencarinya ke semua bekupon yang ada, juga mengeceknya dengan teliti di kumpulan merpati yang sedang makan jagung di tempat parkir bemo, tapi tetap tidak ada. Padahal Dodo memiliki warna yang berbeda dengan merpati-merpati yang lain. Dodo memiliki bulu berwarna merah dengan sedikit warna putih di ekornya. Perbedaannya itu membuatku dengan mudah menemukannya di kumpulan puluhan merpati. Akan tetapi hari itu, Dodo benar-benar tidak ada. Aku sampai membuat pengumuman dengan selembar kertas bahwa Dodo telah hilang, tapi sebelum aku sebarkan, besok paginya aku melihat Dodo makan jagung bersama merpati-merpati yang lain.
Dari memori kecil itu, aku jadi mengerti ke mana perginya Dodo hari itu. Dia dibawa Bapak mengikuti permainan Adu Doro dan Dodo memenangkan permainan itu. Fakta yang membuatku membencinya.
Masih dengan wajah yang banjir air mata, aku berjalan keluar menuju tempat bekupon-bekupon berdiri. Bekupon tersebut dibuat dari dua struktur, pertama adalah pondasinya yang kurang lebih memiliki tinggi dua meter dan kedua adalah bekupon itu sendiri yang dipasang di atasnya. Jika kalian bertanya mengapa bekupon selalu ditempatkan di tempat yang tinggi atau terkadang di atas rumah, itu agar merpati-merpati dapat menemukan rumahnya dengan mudah.
Setelah sampai di depan bekupon-bekupon, aku naik ke salah satu bekupon yang kecil. Setiap kali menaiki pijakannya, aku terus menangis sambil tersedu-sedu. Sesampainya di atas, tangisku semakin kencang melihat merpati-merpati berwarna putih yang mengingatkanku dengan Bapak yang terbalut kain kafan. Amarahku yang memuncak membuatku segera mendorong bekupon itu hingga jatuh dan hancur berantakan. Merpati-merpati di dalamnya pun segera beterbangan.
Mungkin suara robohnya bekupon mengundang Ibu dan Mas Yanto yang segera berlari keluar. Melihatku yang berada di atas bekupon membuat Ibu bersujud, lalu menangis sambil meminta maaf kepadaku. Beliau memintaku agar turun, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku malah melompat ke bekupon kedua yang jaraknya hanya satu meter. Namun, itu cukup membuat Ibu menjerit histeris. Seperti yang baru saja aku lakukan, aku pun mendorong bekupon kedua itu. Melihatku mendorong bekupon membuat Mas Yanto segera menarik Ibu menjauh agar tidak tertimpa bekupon.
Bekupon kedua telah hancur berantakan. Kini, aku kembali meloncat ke bekupon terakhir yang lebih besar. Ibu kembali menjerit histeris. Beliau menyuruh Mas Yanto untuk menghentikanku. Mas Yanto menurut saja. Dia pun naik ke bekupon terakhir untuk menarikku turun dari sana. Namun, aku menolaknya hingga tidak sengaja sikutku mengenai hidung Mas Yanto. Dia sampai mengadu kesakitan.
Di bekupon terakhir yang lebih besar ini, aku melihat Dodo yang baru saja keluar dari sana. Melihat Dodo membuat amarahku kembali memuncak. Aku pun segera mendorong bekupon itu, tetapi ternyata bekupon itu terlalu berat. Tenagaku tidak cukup kuat untuk mendorong bekupon besar ini karena terus menangis dari tadi.
Sudah aku keluarkan semua tenagaku hingga urat-urat di tanganku terlihat, tetapi bekupon ini begitu besar dan berat. Aku masih ingat waktu itu butuh sekitar empat orang dewasa untuk menaikkan bekupon ini ke atas. Mendorongnya sendirian merupakan hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan.
Saat aku kesusahan mendorong bekupon besar ini, Mas Yanto membantuku. Kami berdua mendorong bekupon besar ini dengan sekuat tenaga hingga akhirnya berhasil jatuh dan hancur berantakan.
Ketiga bekupon yang dahulu aku buat bersama Bapak telah ambruk. Aku masih ingat, akulah yang mewarnai bekupon itu dengan warna merah, warna kesukaan Bapak juga sebagai tanda bahwa itu adalah milik Dara, milikku. Membuat satu bekupon bisa menghabiskan waktu satu minggu, bahkan bekupon yang paling besar itu butuh waktu satu bulan. Tapi dengan mudahnya aku menghancurkan ketiga bekupon tersebut tidak memakan waktu satu jam.
Setelah berhasil menjatuhkan ketiga bekupon itu, aku langsung terduduk lemas di atas pondasi bekupon sambil menangis sekencang-kencangnya. Mas segera memelukku dengan penuh kasih sayang. Dia mengusap-usap lenganku untuk menenangkan tangisku yang tidak sama pecah dengan tangisnya. Sementara Ibu yang berada di bawah terus meminta maaf karena telah membohongi kami yang dahulu masih bocah SD, tapi permintaan maaf beliau tetap tidak bisa menyembuhkan rasa sakit di hatiku.
Dengan sesenggukan aku memohon kepada Mas, “Buang Dodo jauh-jauh, Mas! Buang semua doro itu! Dara benci mereka, Dara benci Dodo!”
Tidak ada jawaban dari Mas Yanto, dia malah memelukku lebih dalam. Diusap-usapnya punggungku dengan lembut. Aku tangkupkan wajahku di pundaknya. Tangisku semakin kencang di sana sementara tangis Mas mulai tidak aku dengar, berganti dengan ucapannya, “Gapapa nangis aja, Ra. Bapak enggak akan marah ke kamu. Habis ini kita beli es krim.”
* * *