Genta melempar tubuhnya ke atas kasur seusai mandi. Mata hitam milik pria itu kosong menatap langit-langit sepi kamarnya. Jawaban Aureen di pusat café malam itu selalu membuatnya terngiang. Jawaban yang membuat dirinya harus terkesan canggung ketika berbicara dengan Rhesya. Sisi masa bodoh dalam tubuhnya seolah menghilang begitu saja.
Genta lebih banyak diam. Hanya datang menjemput Rhesya ke sekolah, tanpa percakapan di sepanjang jalan. Mengantar gadis itu pulang tetap menjadi rutinitasnya. Namun, lagi dan lagi tanpa percakapan yang mampu Genta lontarkan. Anehnya, Rhesya juga tidak berniat bertanya apapun padanya jika ia tidak membuka pembicaraan.
“Karena hati wanita akan mati dengan cinta pertamanya. Sejauh apapun dia menjalani kehidupan barunya dengan orang yang Tuhan berikan di kemudian hari. Tapi tetep aja, cinta pertama, pemenang di atas segalanya, Genta.”
Genta mengacak rambutnya frustasi. Ia berguling-guling di atas bed cover-nya hanya untuk memikirkan bagaimana cara Rhesya memandang Ethan di parkiran ketika itu. Benarkah apa yang ia takutkan sekarang? Genta takut jatuh cinta pada Rhesya. Takut memberikan hatinya pada orang yang salah. Dari awal perjodohan di antara mereka juga Genta sudah dapat menduga, jika Rhesya pasti tidak setuju dengan semua yang kini mengikat mereka.
“Genta! Di kamar?”
Genta membuka mata, sebelum menarik tubuhnya beringsut duduk di pinggir ranjang, “iya, Bun?”
Erlie membuka pintu kamar putranya. Senyum manis keibuan selalu menenangkan perasaan gusar Genta. Wanita itu melangkah mendekat.
“Boleh minta tolong ke rumah Rhesya? Antarkan kue. Sekalian ajak dia main ke sini. Soalnya Abil mau datang. Elok sama Rion mau kondangan ke Bogor. Biar bisa bantu jagain Abil sama kamu. Bunda pergi kondangan juga sama ayah. Tolong ya, Genta.”
Genta menghela napas kasar. Padahal ia sangat ingin menghindari Rhesya terlebih dahulu untuk saat ini. Namun, mengapa? Melihat bundanya begitu menyayangi Rhesya, juga berharap lebih akan hubungannya dengan Rhesya, membuat Genta jatuh dalam kebingungan. Mana mungkin ia melukai perasaan Erlie jika mengatakan ia tidak ingin dijodohkan dengan siapapun.
“Kok bengong? Lagi ada masalah?” Erlie mengerutkan kening cemas, sambil tanganya meraih dagu Genta lembut.
“Nggak kok, Bun. Mana kuenya?”
“Di meja makan, ya. Ambil aja.”
Genta mengangguk setuju. Pria itu terpaksa berdiri, lantas meraih jaket putih di gantungan balik pintu. Pikiran Genta tidak setenang langkahnya menuruni anak tangga dan mengambil bungkusan di atas meja makan. Ia melihat Cakra yang sedang memanaskan mobil di garasi, lengkap dengan pakaian batik cokelat yang senada dengan kebaya cantik bundanya tadi.
“Hati-hati bawa motornya.” Cakra mengingatkan, ketika melihat Genta memundurkan motor di samping mobil miliknya
“Mana Kak Elok?” tanya Genta mengenakan helm di atas motor.
“Bentar lagi juga dateng. Buru ya, jangan lama-lama. Nanti Abil sendirian, kita juga telat.”
“Tadi suruh hati-hati, sekarang buru-buru. Nggak konsisten nih, Ayah.”
“Pikiran Ayah yang paling konsisten tuh punya menantu seperti Rhesya, Ta.”
“Apa sih, Ayah. Nggak nyambung banget. Genta pergi deh.” Pria itu sampai di luar gerbang, sekaligus membuka pintunya lebar-lebar karena mendengar suara klakson mobil Rion yang tiba-tiba saja datang mengejutkan.
“Buru, Dek. Udah telat ini. Jagain Dek Abil.” Elok berseru dari balik mobil hitam Rion.
“Eh, Dek. Kakak nitip dong.” Itu suara Rion yang ikut menyembulkan kepala.
“Apaan?”
“Nitip bawa pulang calon adik ipar Kakak,” cengir Rion dengan pakaian batik yang begitu sesuai dengan tubuhnya yang atletis.
“Aduh, Pah.” Elok tidak kuasa menahan tawa sambil menepuk pundak suaminya pelan, “malu itu lho anaknya.”
Genta membuang napas lelah menghadapi kedua kakak gilanya. Tidak lagi-lagi menanggapi ledekan mereka, Genta menancap gas motornya kemudian menjauh dari kawasan rumah itu. Melihat bagaimana keluarganya begitu menyetujui perjodohan ini, tidak. Belum dengan kakak keduanya yang masih sibuk berkuliah di Bandung. Ia bahkan belum menghubungi wanita itu di kota orang.
Mungkin suatu saat nanti jika ada waktu senggang untuk kakaknya, ia akan banyak mengoceh dan membahas perasaan yang selama ini mengusik hari-hari Genta. Kakaknya selalu sibuk dengan studinya di semester akhir. Gilanya, bahkan hanya sesekali saja terdengar menghubungi ayah dan bunda. Genta tidak heran dengan sikap kakak keduanya itu.
Jalanan di hari Sabtu tidak sepadat hari-hari kerja biasanya. Genta dengan lincah menyusuri jalanan kecil di antara mobil-mobil, sehingga ia tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kompleks rumah Rhesya. Perasaan canggung mendadak terasa oleh Genta, ketika mematikan mesin motor dan melepas helm. Mengapa ia jadi banyak mementingkan perasaan?
Genta baru saja menaiki anak tangga menuju teras, namun seseorang lebih dulu membuka pintu rumah. Tatap mereka sama-sama menyiratkan bingung. Apalagi Rhesya yang begitu tidak menduga akan mendapati seorang Genta di depan rumahnya di hari Sabtu pagi.
“Kak?”
“Iya. Ini ada kue dari Bunda buat kamu sama Om Ferdinan.” Genta menyodorkan bungkusan itu pada Rhesya, yang langsung diterimanya dengan senyum tipis.
“Makasih banyak, Kak Genta. Buat Bunda juga.”
“Bilang makasihnya langsung aja, yuk.”
“Langsung?”
“Bunda minta lo ke rumah. Main sama Abil bareng gue, soalnya orang rumah mau kondangan ke Bogor.”
“Sekarang, Kak? Gue belum mandi.”
“Belum mandi, mau keluar. Ke mana?” tanya Genta.
“Mau ambil yang buat siram taneman itu, Kak. Tadi ketinggalan di taman depan.”
“Mandi dulu aja, gue tunggu.”
“Serius, Kak?”
“Iya.”
“Ya udah masuk dulu, Kak Genta. Tunggu bentar ya, Kak.”
Genta menahan lengan Rhesya cepat. Angin pagi pukul 10 itu menerbangkan rambut keduanya. Tatap mata Genta yang selalu menyiratkan sesuatu di benak Rhesya. Membuat Rhesya terjebak.
“Gue aja yang ambil gembornya. Lo mandi aja.”
“Em, oke Kak. Tolong taruh di halaman belakang ya, Kak. Gue mandi dulu.”
Genta menganggukkan kepala yang diakhiri dengan senyum tipis dari Rhesya, seolah meminta izin. Ia melepas cekalannya dari lengan wanita itu, membiarkannya masuk ke dalam rumah. Genta merasa benang di antara dirinya dan Rhesya semakin bimbang ia tarik ulur. Genta juga bingung menghadapi situasi ini. Ia terlalu terpengaruh oleh kata-kata Aureen, atau justru ia yang cepat memahami segala keadaan di sini. Bahkan dari saat ia menatap mata Rhesya di meja makan malam itu.
Rhesya sendiri berlari menaiki anak tangga dengan jantung yang terus bergemuruh. Untung saja bukan hari Minggu Genta datang ke rumahnya. Entahlah Rhesya seolah sedang bermain petak umpet dengan Genta. Ia begitu canggung akhir-akhir ini di saat bersama lelaki itu. Tidak seperti ketika terakhir ia mendengar suara petikan gitar sore hari dari Genta di Gleen Café. Bukan Rhesya tidak merasa ada sikap yang sedikit berubah dari Genta. Senyum pria itu tidak seperti kali-kali pertama mereka berbicara.
Sembari menunggu Rhesya mandi, Genta duduk-duduk di kursi halaman belakang rumah Rhesya. Hijau rumput dan tanaman hias milik Ferdinan begitu memanjakan matanya. Genta sudah sangat mengenal pribadi Ferdinan dan hobinya terhadap tanaman hias. Pria itu memang sangat telaten merawat berbagai macam tanaman di depan, maupun di belakang rumah. Terlihat begitu asri.
Genta menyandarkan tubuhnya pada kursi anyaman dari pohon rotan menghadap rerumputan hijau di bawah teras. Sedikit memejamkan mata menghirup udara segar dengan burung-burung kecil yang berterbangan di atas dahan-dahan pohon hias. Jika benar, Genta sedang jatuh cinta, cepatlah datangkan petunjuk itu. Biar Genta bisa dengan lapang melepasnya jika memang benar hati wanita itu telah jatuh pada lelaki lain di awal keduanya berjumpa. Genta hanya benalu. Seperti tanaman yang merambat pada tanaman lain, dan menjalar di tembok yang kokoh. Benalu milik Ferdinan di halaman belakang.
Rhesya menuruni anak tangga dengan tas kecil berwarna biru pastelnya menuju teras belakang rumah. Ketika mendapati Genta yang sedang memejamkan mata dengan hangat matahari pagi menyinari wajahnya, Rhesya hanya bisa diam di tempat. Ia menelan ludah dan meyakinkan hatinya sendiri untuk mencoba jujur. Ia belum dapat menerima pria itu di hatinya, tetapi di sisi lain, ia begitu penasaran dengan Genta. Melebihi rasa penasaranya akan sosok Ethan. Seperti ada rahasia dibalik sosok Genta yang dilahirkan. Ia terlalu tertutup, di tengah banyak keterbukaanya pada dunia.