Loading...
Logo TinLit
Read Story - Halo Benalu
MENU
About Us  

Genta memarkirkan motornya di sebuah tempat makan sejenis café minimalis dengan nuansa klasik cantik di pinggir kota. Rhesya turun dari motor Genta, sambil melepas helm di kepala. Ia membaca papan nama café berhuruf timbul yang nyentrik itu, ‘Gleen’.

 “Ayo,” ajak Genta.

 Rhesya hanya mengangguk dengan senyuman manisnya seperti biasa pada Genta.

 “Eh, tunggu…” Genta mendadak menghentikan langkah yang membuat Rhesya menabrak tubuh pria itu sampai jatuh di dadanya. Ia merasa jemari Genta menyentuh puncuk kepalanya lembut, mengusap sedikit rambutnya, lantas mengambil hewan kecil yang hinggap di sana.

 Jangan tanyakan bagaimana perasaan Rhesya ketika memilih diam tidak berkutik tanpa jarak di dekat Genta. Bahkan habis setelah Genta menyingkirkan hewan itu dan membalikkan badan. Saat itulah, Rhesya dapat membuang napas lega yang sempat tertahan beberapa detik lalu, sambil mengekor langkah Genta membuka pintu kaca café.

 Aroma yang tidak asing entah berasal dari mana menembus masuk hidung Rhesya. Sangat wangi semacam kue-kue atau bolu lembut manis. Ia masih terus mengekor langkah pria di depannya, sampai menaiki anak tangga tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya.

 “Kak Genta!”

 Rhesya menghentikan langkah, juga Genta di depannya ketika melihat seseorang setengah berlari mendekati mereka. Mengapa perasaan Rhesya selalu menolak kehadiran wanita dengan pakaian ketat itu? Mengapa ia baru mengingat jika Gleen adalah café milik teman Acha yang pernah dibahas di pertandingan basket sekolah?

 “Nah kan lo akhirnya dateng juga.”

 “Lo bilang ada kue baru?” tanya Genta.

 “Iya, dong. Spesial buat lo.” Acha tersenyum manja sambil menggigit bibir, sebelum melirik wanita lain di balik tubuh Genta. Senyum genitnya seketika memudar. Wanita sama yang bertemu dengannya di pertandingan basket sekolah beberapa hari lalu.

 “Kalian nggak ngobrol?” tanya Genta menggeser sedikit tubuhnya yang menghalangi Rhesya.

 “Em…” Acha seolah sedang menelisik, lantas mengulurkan tangan sambil mengangkat wajah. “Acha.”

 “Rhesya.”

 “Cha, gue pesen sekotak kue baru lo itu.”

 “Ada tamu di rumah, Kak?” tanya Acha sambil mengantarkan Genta dan Rhesya menuju meja favorit Genta. Sudut ruangan yang langsung menangkap pemandangan di hutan bukit belakang café.

 “Iya.”

 “Pasti Bunda yang nyuruh.” Acha masih terus mengulas senyum paling manis yang ia punya pada Genta, tetapi malah di mata Rhesya justru terlihat begitu menyeramkan. Mungkin karena efek make up penuhnya.

 “Sekalian Ta, sama pulang, di tempat temenmu itu.” Genta menirukan nada bicara bundanya yang membuat Acha terbahak, “padahal nggak kenal.”

 “Ih jahat banget mulutnya, Kak Genta. Lagunya dong, Kak.” Acha mengelap meja untuk mereka, atau hanya untuk Genta. Sebenarnya Rhesya sangat merasa muak. Ia memohon dalam hatinya supaya wanita itu cepat-cepat pergi dari hadapannya. Rhesya memutar bola mata malas melempar pandang pada perbukitan hijau di bawah sana.

 “Minumnya dulu, bangke.”

 “Hahaha, dih Kak Genta. Mau apa? Biasa?”

 “Rhesya.” Genta melempar pandang pada Rhesya yang diam saja, membuat Acha menyurutkan senyum di bibir untuk ikut menatap Rhesya.

 “Mau minum apa?” tanya Genta lagi.

 “Em, apa aja deh, Kak.”

 Genta menyembunyikan senyum kecil menatap Rhesya yang seolah enggan menanggapinya. Ia tahu jika perempuan itu mulai tidak nyaman dengan keberadaan Acha. Beberapa hari bahkan hampir mendekati dua minggu lebih mengenal Rhesya, rasanya Genta sudah sedikit mulai memahami sikapnya di beberapa situasi. Apalagi Rhesya yang memilih mengalihkan pandangan darinya dan menatap hijau perbukitan.

 “Biasa aja, dua.”

 “Makanya, Kak Genta?”

 “Suka Chinese Food, Sya?”

 Rhesya hanya mengangguk, “mau nyoba mapo tofu di sini nggak, Sya?”

 “Mau, Kak.”

 “Dua, Cha.”

 “Tunggu bentar ya, Kak Genta.”

 Acha berlalu setelah mendapatkan anggukan ringan dari Genta. Pria itu menatap Rhesya sekilas, sebelum mengikuti arah pandangnya pada hamparan bukit hijau dikelilingi pepohonan rimbun.

 “Mau ke sana, Sya?”

 “Hah? Ke bukit itu?” Rhesya menatap Genta kali ini.

 “Iya. Mau?”

 “Jauh nggak, Kak?”

 “Enggak, terlalu. Jalannya lewat belakang café ini. Kalau mau.”

 “Ada orang nggak Kak di sana?”

 Genta mengamati tempat lapang hijau itu, lantas mengedikkan bahunya yang membuat Rhesya semakin penasaran. Ini untuk pertama kalinya Rhesya berkunjung di Gleen Café. Atau justru karena Rhesya yang jarang bermain ke tempat yang jauh, selain di kawasan rumahnya.

 “Kak Genta deket banget sama Acha.” Entahlah, rasanya mulut Rhesya sangat gatal untuk mengatakannya.

 “Kok bisa sih ada yang mikir buat nanya gituan? Nggak cuma lo lagi. Kita nggak ada apa-apa. Deket juga nggak.”

 “Tapi kayaknya dia godain lo mulu.”

 “Lo cemburu?”

 Rhesya tahu jika Genta sedang menggodanya. Namun, mengapa Rhesya tetap saja salah tingkah? Genta terkekeh ringan setelah berhasil mengerjai Rhesya, sebelum menggelengkan kepala dan memutar kepala mengamati keadaan sekitar.

 “Mau gue nyanyiin sesuatu nggak, Sya?”

 “Kak Genta bisa nyanyi?”

 “Dikit. Mau denger?”

 Rhesya menganggukkan kepala penuh semangat dengan senyum manis yang membuat Genta ikut tertawa kecil. Pria itu bangkit dari kursinya. Tidak ingin kehilangan langkah kecil Genta, Rhesya ikut mencondongkan tubuh mengekor tubuh pria berseragam putih abu dengan hoodie cream yang menutupinya.

 Genta menuju panggung kecil lantai dua, seolah ini adalah tempat bermain untuknya. Atau justru karena ia terbiasa akan musik-musik café? Ia mengambil gitar, lantas menyetel senarnya sampai menemukan nada-nada yang sesuai. Beberapa pelanggan juga secara kebetulan datang memenuhi meja-meja kecil minimalis lantai ini.

 “Minumnya, Kakak.”

 Rhesya mengedipkan bola matanya, ketika seorang pelayan café datang membawa dua jus alpukat untuk dirinya dan Genta di atas meja.

 “Makasih banyak, Kak.” Rhesya ikut membantu menata gelas-gelasnya, seusai pelayan itu pergi. Ia kembali fokus pada Genta yang sudah duduk di atas kursi kecil sambil mengecek microphone. Rhesya dapat menebak dari gelagat Genta. Pasti pria itu sudah terbiasa menyanyi atau memainkan musik di panggung kecil café-café.

 “Halo, halo, sore…” suara Genta terdengar aneh dari sound speaker, tetapi entah mengapa selalu berhasil mencetak senyum ringan di bibir kecil Rhesya.

 “Sore, Kak Genta!” suara Acha yang bersorak paling heboh terdengar di meja kasir lantai dua. Rhesya lagi-lagi muak mendengarnya. Mengapa Acha selalu bersikap seolah paling dekat dengan Genta?

 “Sambil nikmatin makanan kalian ya. Gue mau kasih satu lagu nih buat cewek di sebelah sana itu…”

Katakan pada Rhesya jika saat ini ia tengah bermimpi. Semua tatap mata kini mengikuti telunjuk Genta, tentu saja padanya yang mematung dan tersipu. Siapapun tolong tepuk pundak Rhesya supaya bergegas bangun jika memang ini adalah sebuah mimpi. Wajah Rhesya merona yang membuat Genta tersenyum lebar. Manis sekali di mata Rhesya.

“Yang mungkin masih bingung sama gue…” lirih Genta melanjutkan, “Kita ulang dari awal. Kenalin, Rhesya. Gue Genta. Gentala Mahda. Gue anak kelas 11 IPS 2, SMA Merah Putih. Gue si cupu kata Ethan, si jorok kata Vian, si pendek kata Lana, si kurus kata Izal, si muka pasaran kata Saka, dan si tengil kata Hito. Kata Acha, gue cowok nolep yang nggak punya tujuan hidup…”

Acha tertawa terbahak mendengar penuturuan jujur yang pernah ia katakan pada Genta di awal mereka saling melempar komentar buruk di postingan Instagram milik cowok itu beberapa bulan lalu. Acha sendiri tidak menyangka jika kata buruk itu masih terus terngiang dan menempel di otak Genta. Mungkin itu balasan dari Genta yang selalu mengatakan dirinya jelek. Acha hanya menggelengkan kepala.

“Tapi gue bukan benalu, kata Rhesya...”

 Kini degup jantung Rhesya kembali mengulang debuman ketika pertama kali ia berdiri di depan Genta di dapur dengan handuk biru itu. Wajah Rhesya merona menahan malu. Belum lagi gerah suasana karena hangat senja yang menerobos masuk lewat jendela di sampingnya. Apa yang membuat Genta seterbuka ini akan hidupnya?

 Satu petikan nada-nada gitar terdengar begitu menenggelamkan Rhesya dalam teduh sosok Genta. Pria yang sama sekali tidak pernah ia tahu-menahu sosoknya. Pria yang hanya menjadi kameo dalam alur kisah cintanya pada Ethan. Satu petikan yang berhasil membuat Rhesya lupa seketika akan dunianya yang sedikit rapuh. Tanpa sosok mama, tanpa hangat suasana obrolan meja makan bersama papa.

 “Dan… Dan bila esok…”

 Lagu Sheila On Seven mengalun di antara hangat senja sore yang membawa Rhesya kembali terlelap dalam alam mimpi. Lagu berjudul ‘Dan’ itu pernah sesekali ia dengar ketika sekelumit bayangan Ethan terlintas di pikiranya. Namun kini, seolah liriknya menjadi milik Genta. Seolah Genta lebih dapat mengerti suasana dalam lagunya.

 “Perlahan kau pun… lupakan aku… mimpi burukku, di mana tlah ku tancapkan duri tajam…”

 “Kau pun menangis, menangis sedih… Maafkan aku…” sontak beberapa pengunjung yang ikut bernyanyi bersama Genta.

 Harus Rhesya akui. Suara Genta lumayan bagus ketika menyanyikan sebuah lagu. Ia begitu pandai memetik senar gitar dan memainkan nada-nada sulit. Senyum Genta ketika mendengar pengunjung café yang ikut menyanyikan dengan riang, rupanya mampu membius Rhesya lebih dalam.

 “Lupakanlah saja diriku, bila itu membuatmu, kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala…” Genta menutup lagu dengan nada indah tanpa celah.

 “Caci maki saja diriku, bila itu bisa membuatmu, kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala…”

 “Hoo-oo,” sorak semua orang mengikuti nada lagu terakhir dari Sheila On Seven di bawah petikan nada gitar Genta. Semua orang bertepuk tangan, juga Rhesya yang tersenyum senang ketika Genta mendapat banyak pujian. Perasaan apa yang membuat Rhesya berpikir, jika akan terlampau jahat jika ia melukai manusia seperti Genta suatu saat nanti. Bagaimana jika cintanya pada Ethan terus memenangkan apapun. Tidak mungkin Rhesya menghadirkan dua pria dalam hatinya, bukan? Sangat konyol dan pasti akan membuat Rhesya membenci dirinya sendiri di kemudian hari.

 “Satu lagi, Kak Genta!” teriak Acha.

 “Terakhir banget nih, soalnya makanan gue udah dateng. Nggak enak kalau dimakan dingin, tuh…”

 Semua orang terkekeh, juga Rhesya yang sedang menata dua mangkuk mapo tofu-nya di atas meja bersama seorang pelayan. Nada bicara Genta begitu lucu, apalagi ketika semua orang mengikuti arah jari telunjuk Genta yang memusatkan perhatian di meja Rhesya.

 Satu petikan nada gitar kembali mengalun. Mencuri banyak perhatian Rhesya dari mangkuk berkepul asap hangat dan wangi di atas meja itu, ke atas panggung lagi. Genta kembali bernyanyi. Lagu Sheila On Seven kedua yang semua orang pasti sangat mengetahuinya. Jadilah mereka bernyayi bersama-sama, melupakan hidangan di atas meja untuk memfokuskan perhatinnya pada Genta.

 “Hari telah berganti… tak bisa ku hindari…” Genta mengawali dengan suara tenangnya.

 “Tibalah saat ini bertemu denganya… jantungku berdegup cepat… kaki bergetar hebat…” disusul pengunjung yang sejenak meninggalkan hidangan kuah hangat di hadapan mereka.

 “Mohon Tuhan…” serentak mereka semua, membuat senyum Genta semakin tercetak jelas. Gigi rapih dan lesung pipi samar di sudut kananya, membuat Rhesya lagi-lagi harus mengakui jika Genta begitu manis ketika melakukan itu, “untuk kali ini saja… beri aku kekuatan untuk menatap matanya.”

 “Mohon Tuhan… untuk kali ini saja… lancarkanlah hariku… hariku bersamanya…”

 Ketika lirik terakhir dan petikan itu sampai pada ujungnya, Rhesya tidak dapat memungkiri jika tatapan Genta terarah padanya. Mungkin pria itu sedang menggodanya atau membuatnya terpaku di palung samudra berhias nirwana. Mungkin saja memang seperti itu sosok Genta.

Rhesya bertepuk tangan kecil ketika Genta berjalan ke arahnya. Genta yang gemas mengusap kepala Rhesya dengan senyum tipis, sebelum duduk di kursinya kembali.

 “Kok bagus Kak Genta?” Rhesya bersungguh-sungguh ketika mengucapkannya.

 “Iya? Lo suka?”

 “Hah?” cengo Rhesya.

 “Lo suka? Tadi buat lo.”

 “Suka, Kak. Kapan-kapan harus nyanyiin gue lagi sih.” Rhesya meniup-niup kuah mapo tofu-nya.

 “Kapan-kapan kalau nggak hujan.”

 “Berarti kalau hujan, nggak mau nyanyiin gue?”

 “Soalnya ntar lagunya jadi berakhir di Januari,”

 “Kak Genta, ih! Nggak nyambung.”

 Keduanya tertawa bersamaan. Selang beberapa menit, tidak ada yang terdengar di atas meja itu. Mereka hanyut dalam makanan masing-masing. Menurut Rhesya, hal yang paling cocok adalah menikmati kuah mapo tofu dengan senja cantik dari balik jendela lantai dua sebuah restoran kecil pinggir kota. Sesekali mendengar celotehan aneh Genta yang membuat Rhesya tertawa.

 Ada yang salah dari lagu ini, sekilas lirik Sheila On Seven di lagu Lapang Dada, membuat Rhesya sesekali mencuri pandang pada Genta. Benar, ada hal lain ketika ia mendengar nyanyian yang keluar dari bibir Genta. Perasaan hangat dan ingin terus mendengarnya.

 Tiba-tiba suara notifikasi ponsel Genta di atas meja membuyarkan pandangan Rhesya. Pria itu juga cepat mengambil benda pipihnya, sambil menelan makanan di dalam mulut. Rhesya memilih melanjutkan aktivitasnya pada semangkuk hangat mapo tofu, walaupun sesekali melirik pada Genta yang tiba-tiba menekuk raut wajahnya. Ada apa?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wabi Sabi
87      70     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
890      615     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Layar Surya
1128      679     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Me vs Skripsi
1748      707     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Kembali ke diri kakak yang dulu
748      565     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Melihat Tanpamu
135      109     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Kainga
1064      622     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Imajinasi si Anak Tengah
1663      961     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
To the Bone S2
348      244     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...