"Duluan, Sya. Lo pulang sama Kak Genta, kan?” tanya Sheren.
“Iya. Hati-hati, Ren.”
Sheren hanya mengangguk, lantas berjalan setengah melompat-lompat girang keluar dari lorong kelas Bahasa. Rhesya melongok arloji di pergelangan tangan. Seharusnya kelas 11 IPS sudah selesai, tetapi mengapa Genta belum juga datang ke kelasnya seperti biasa. Sepuluh menit menunggu, Rhesya akhirnya memutuskan untuk menunggu di tempat parkir motor Genta.
Langkah wanita itu ringan keluar dari lorong kelas, menuju gerbang dalam sekolah. Ketika Rhesya sampai di paving parkiran anak-anak IPS, ia melihat sosok yang tidak asing di dalam sebuah mobil putih yang pintunya terbuka. Degup jantung Rhesya berdetak tidak tenang. Tapak sepatunya gusar sampai bimbang hendak melangkah.
Rhesya memutuskan untuk pergi, tetapi pria itu lebih dulu memergokinya. Canggung, Rhesya menurunkan kepala satu kali dengan senyum tipis. Rhesya juga sudah mendengar sekilas dari Genta, jika saat ini sedang ada sedikit permasalahan di antara Ethan dan Hito. Itu sebabnya tiga hari ini, tidak ada mobil Hito di parkiran mereka.
“Cari Genta?” tanya Ethan menutup pintu mobil, lantas mendekat pada Rhesya yang berdiri kaku. Dalam hati, wanita itu tidak berhenti merapal doa untuk jantungnya supaya tetap aman terkendali ketika Ethan jauh lebih dekat, bahkan berbicara padanya.
“Em iya, Kak Ethan. Kak Genta belum ke sini?”
“Nggak tahu. Coba tunggu aja bentaran. Tadi pintu kelasnya sih masih ketutup.” Ethan menyandarkan tubuhnya pada mobil Lana.
“Oh gitu. Gue bisa tunggu di sini aja, Kak.”
Ethan hanya mengangguk. Rhesya sendiri begitu salah tingkah. Terjebak berduaan dengan Ethan di tempat parkir bukan sesuatu yang ia pikirkan sama sekali. Tidak pernah ada di bayangannya akan seperti ini. Rhesya memberanikan diri mendongak menatap wajah Ethan yang masih tercetak beberapa memar.
“Masih sakit, Kak?” tanya Rhesya mencoba santai, meskipun ia ingin sekali melompat girang.
Ethan beralih dari layar ponsel menatap Rhesya. Ia menggelengkan kepala dengan senyum tipis yang mencetak rona merah di pipi wanita di hadapannya. Ini yang membuat Ethan sungguh merasa penasaran.
“Syukur deh kalau gitu.”
“Em, siapa nama lo?”
“Gue?” Rhesya begitu gugup, “Rhesya, Kak.”
“Anak kelas?”
“Sepuluh, Bahasa Kak.”
“Lo pacar Genta beneran?” Ethan mengantongi ponsel hitamnya dalam saku celana, lantas melipat tangan di depan dada, lebih fokus memperhatikan Rhesya.
Ditanya seperti itu oleh Ethan, Rhesya jadi bingung akan perasaannya sendiri. Mereka tidak berpacaran. Jika pun Rhesya menjawab mereka terlibat perjodohan, otomatis kesempatannya menjalin hubungan dengan Ethan sudah berakhir.
“Em, bukan, Kak. Orang tua kita sahabatan.”
“Gitu? Lo anaknya Om Ferdinan?”
“Kak Ethan kenal sama papa?” Rhesya lebih terkejut, fokus menatap wajah Ethan yang tersenyum ringan. Begitu manis di mata Rhesya. Ia sampai tidak bisa berhenti mengagumi pria di hadapannya.
“Em, tahu aja. Pernah ada proyek sama papa. Berapa kali itu, terus gue juga tahu dari Genta yang katanya Om Ferdinan sering banget main ke rumah dia. Bantuin tugas-tugas si cupu itu juga.”
“Si cupu?” Rhesya mengerutkan kening.
“Haha… bercanda.”
Rhesya ikut tertawa mendengar kekehan ringan Ethan ketika meledek Genta. Mereka terlibat diam lagi. Rhesya banyak menunduk, tidak berani menatap Ethan yang justru banyak memerhatikan dirinya.
“Kak…”
“Rhesya…”
Bola mata dua insan itu beradu cepat. Rhesya kembali merasakan jatuh cinta. Semakin besar ketika mendengar Ethan memanggil namanya. Seolah terbang ke alam mimpi mendengar suara Ethan yang begitu rendah ketika menyebut dirinya.
“Lo duluan,” ujar Ethan.
“Kak Ethan dulu aja.”
“Haha, gue cuma mau nanya. Karena gue penasaran aja sebenarnya.”
“Apa, Kak?”
“Lo kenapa sering diem-diem lihatin gue? Ada yang salah dari gue?”
Boom!
Tepat seperti dugaan Rhesya. Ethan sering memergoki dirinya tengah menatapnya diam-diam. Kini Rhesya seolah kehilangan wajah untuk menatap Ethan. Ia memutuskan untuk langsung menundukkan kepala menekuri sepatu, atau justru meruntuki kebodohannya sendiri karena begitu ceroboh.
“Sorry. Gue cuma…”
“Maaf Kak kalau buat nggak nyaman. Gue bener-bener minta maaf…” Rhesya sungguh-sungguh mengatakannya, sambil membungkuk-bungkukan badannya di hadapan Ethan berkali-kali.
“Hey, hey nggak, astaga.” Ethan langsung menegakkan badan dari mobil hitam Lana, menepuk pundak Rhesya supaya berhenti meminta maaf dan membungkukkan badan seperti itu di hadapannya.
“Maaf, Kak. Gue…”
“Bukan gitu. Gue cuma takut aja.”
Rhesya semakin terjebak akan perasaannya sendiri. Ia mendongak menatap Ethan yang memiliki tinggi badan jauh daripada dirinya. Berbeda ketika ia berdiri di samping Genta yang hanya berjarak 10 senti dengannya. Menatap Ethan, ia harus lebih mendongakkan kepala. Namun, entah seberapa jauh atau dekatnya jarak pandang mereka, tetap saja suara gesekan rel kereta api ketika menabrak roda-roda besi itu semakin membuat Rhesya gelisah.
“Nggak kebayang aja.”
“Kak Ethan… baik-baik aja?” tanya Rhesya setengah khawatir.
“Si Genta emang aneh geli gitu orangnya. Tapi, gue nggak akan capek-capeknya ngomongin ini ke siapapun. Jangan kecewain dia. Gue minta sama lo, misalpun di kemudian hari Genta ada perasaan sama lo atau sebaliknya. Lo bisa?”
“Apa?” Rhesya tidak percaya mendengarnya. Penuturan Ethan yang begitu aneh. Rhesya semakin yakin jika pria di hadapannya ini sedang tidak baik-baik saja setelah Hito memutuskan meninggalkan mereka.
“Lo nggak langsung bilang iya. Berarti ada sesuatu. Lo bisa bilang sekarang. Biar semuanya cepet selesai.”
“Kak Ethan, gue nggak paham.”
Ethan diam sebentar sebelum berkata, “nggak deh. Anggep aja cuma perasaan gue. Lupain.”
“Kak Ethan…” Rhesya menahan lengan Ethan ketika hendak berlalu.
Ethan terpaksa membalikkan badan untuk menatap wanita itu lagi. Rhesya tidak mengerti, ia juga bukan dukun yang bisa menebak perasaan Ethan. Tetapi melihat Ethan bersikap seperti ini, rasanya ia mengerti jika sedang terjadi sesuatu dengan pria itu.
“Semuanya cuma salah paham kan, Kak? Gue yakin Kak Hito nggak bener-bener benci sama lo. Misalpun iya, gue yakin Kak Ethan bisa memperbaikinya di hari lain. Kak Ethan orang baik, gue bisa ngerasain itu. Jangan putus asa, Kak.”
“Genta juga orang baik. Dia cupu, nggak guna, nggak ada faedahnya hidup, tapi dia baik, Rhesya. Jadi, gue minta lo jangan kecewain dia. Buat apapun.”
Namun, Genta memandang Ethan berbeda dari apa yang Ethan katakan. Genta seolah tidak nyaman dengan keberadaan Ethan, tetapi justru seperti ini Ethan yang sesungguhnya dalam pertemanan mereka. Rhesya semakin gugur akan perasaannya. Ia semakin jatuh cinta pada Ethan. Bagaimana ia bisa menjaga perasaan Genta jika suatu saat nanti benar apa yang dikatakan Ethan, bahwa kemungkinan buruknya adalah salah satu di antara ia ataupun Genta saling menyukai? Bagaimana?
“Gimana caranya?” lirih Rhesya melepas cekalan tangannya lemah dari Ethan.
“Gimana pun caranya.”
“Kenapa Kak Genta nggak bisa lihat lo di sisi ini? Kenapa?” Rhesya bergumam lirih sambil menunduk dan memejamkan mata.
“Sya?”
“Kak Ethan...” Rhesya cepat mendongak dan membuka mata. Bukan. Ethan menghilang dari netra. Lagi dan lagi, Rhesya menunda perasaannya. Untuk kesekian kali.
“Ethan?”
“Maaf Kak Genta.”
“Nyari Ethan?”
“Nggak, Kak. Em, iya. Tadi Kak Ethan di sini nemenin gue nunggu lo. Tapi tiba-tiba aja dia ngilang.”
Genta mengusap puncuk kepala Rhesya, sambil satu tangan yang lain memainkan kunci motor di jari-jari panjangnya. Ia melangkah menuju tempat motor miliknya diikuti Rhesya di balik punggung.
“Udah masuk tadi si Ethan. Pelatihan Ardyaksa di lapangan bawah. Lo ditemenin malah ngitung semut di pavingan katanya.”
Sekarang hari Rabu? Rhesya sampai lupa jika tadi Ethan mengambil seragam paskibra di dalam mobil. Seperti biasa, Genta membantu Rhesya mengenakan helm di kepala.
“Mau ikut gue dulu nggak, Sya?”
“Ke mana, Kak?” tanya Rhesya sembari menaiki motor Genta, lantas berpegangan pada hoodie pria itu.
“Makan dulu.”
“Mau, Kak. Gue laper.”
Genta tersenyum sekilas, sebelum melajukan motornya keluar dari kawasan Merah Putih. Untuk apapun yang Genta lihat tadi, entah ia akan merasa seperti apa ketika melihat Rhesya berdua dengan Ethan. Genta tidak baik-baik saja seperti apa yang wanita di belakang tubuhnya ini lihat.
Begitu pula dengan Rhesya yang semakin terbayang wajah Ethan. Bagaimana cara Ethan berbicara padanya atau malah setengah meminta untuk menjaga pria di hadapanya. Rhesya sempat mencuri-curi pandang pada pundak Genta, kemudian menatap helm yang menutupi wajah Genta juga dari spion.
“Kak Genta.” Rhesya sedikit mengeraskan suara.
“Iya?”
“Emang masalah Kak Hito sama Kak Ethan seserius itu, Kak?”
“Gue nggak terlalu tahu pastinya gimana. Si Saka yang tahu. Tapi kita lagi nyoba cari jalan keluar biar masalah ini cepet kelar.”