"Basket, ya? Tinggi badan gue nggak ngedukung buat masuk basket, atau apapun. Gue cuma ikut futsal beberapa kali aja,” jawab Genta tanpa menatap Rhesya.
“Kak Genta udah lama temenan sama mereka?”
Genta menelan sisa smoothies alpukat favoritnya ke dalam tenggorokan. Tatapan mata Genta pertama kali terarah pada Ethan. Pria yang masih ramai menjadi sorak-sorakan penonton, si gandrungan wanita. Apalagi ketika sudah berlari membawa bola basketnya di tengah lapangan. Entah mengapa pesona pria itu bisa saja membius semua mata. Teringat itu, tiba-tiba Genta mengerutkan kening, lantas menoleh pada Rhesya yang sedang menatapnya.
Mendadak sekali jantung keduanya berdegup begitu cepat. Jarak mereka begitu dekat dan Rhesya merasa hiruk-pikuk dalam gedung olahraga melenyap ketika Genta menatapnya begitu dalam seperti ini. Perlahan di pipi putih Rhesya timbul rona kemerahan. Ia menelan saliva kasar. Begitupula dengan Genta yang entah mengapa merasa sengatan aneh di dadanya. Ia hendak memeriksa apakah wanita di sampingnya juga sedang memerhatikan Ethan atau tidak. Namun, di luar dugaan, justru Rhesya sedang menatapnya sefokus itu.
“Kak?” Suara Rhesya terdengar gemetar ketika memanggil Genta.
“Ah iya.” Genta menelan ludahnya, sebelum kembali menatap lapangan, “gue kenal Ethan, Lana, Saka dari kelas satu karena sekelas. Jadi dulu gue duduk sebangku sama Lana. Lana, Ethan, sama Saka anak basket. Gue pernah disuruh gabung tapi gue udah minder duluan. Terus Hito itu, gue kenal karena dia temen basket mereka, jadi kebiasa nongkrong barengan. Terus Izal sama Alvian dulu mereka satu organisasi OSIS sama Hito di periode pertama, jadi kebawa ke tempat tongkrongan. Alvian sama Izal macet OSIS, sedangkan Hito nerusin periode terakhir, sampai sekarang.”
“Oh, oke. Kak Saka sama Kak Ethan itu deket banget, ya?” Rhesya mengamati Ethan di tengah lapangan yang membuang keringat di pelipis menggunakan kaos jerseynya. Begitu saja, semua anak sudah berteriak heboh dibuatnya.
“Mereka temenan dari kecil. Rumah mereka juga satu kompleks. Jadi, ke mana-mana seringnya barengan. Cuma Saka orangnya agak tertutup jadi nggak terlalu banyak yang kenal. Mereka kebanyakan tahu Saka karena dia barengan sama Ethan. Haha. Kebanyakan dari kita juga gitu. Mungkin, kecuali Hito.”
“Kenapa Kak Genta ngomong gitu?” Rhesya mengerutkan keningnya menatap Genta kembali.
Genta melempar cup smoothies-nya ke tempat sampah. Yup, masuk dengan sempurna di depan Alvian dan Izal duduk. Rhesya menatap tong sampah yang masih bergerak-gerak, sampai melamban, lantas mendengar perkataan Genta, tanpa menatap pria itu.
“Bukannya emang gitu? Sederhana aja nggak, sih? Siapa yang nggak tahu Ethan sama Hito? Kebanyakan dari mereka juga bilang kita-kita numpang famous dari mereka.”
“Numpang famous? Kesannya kasar banget, Kak.”
“Lo tahu Ethan, kan? Jujur aja.” Genta menoleh menatap Rhesya.
Ditanya seperti itu, Rhesya menjadi kelu. Seperti ada cerita lain dibalik persahabatan panas dingin mereka. Apalagi mendengar nada bicara Genta yang terdengar kurang nyaman akan keberadaan Ethan. Rhesya menelan saliva sambil memikirkan jawaban apa yang tepat untuk Genta. Sejujurnya, Rhesya pun terkejut akan semua tanggapan Genta tentang Ethan. Setahu Rhesya mereka bersahabat seperti pada umumnya tanpa memikirkan siapa yang paling populer atau siapa yang hanya menumpang tenar.
“Lo tahu istilah benalu, Sya? Mungkin itu gue…” sorakan penonton ketika Ethan memasukkan bola ke dalam ring membuat obrolan keduanya terpotong.
Rhesya mengalihkan pandangan pada Ethan yang ber-high five dengan timnya. Senyum Ethan begitu manis kala itu. Namun, getir Genta masih menolak untuk memberi selamat pada Ethan dalam hati. Alvian dan Izal di depan tempat duduknya pula berjingkrak-jingkrak sambil berteriak memberi kata semangat yang lebih untuk Ethan dan kawanannya. Namun, sulit bagi Genta untuk mengatakannya dengan tulus.
“Kak Genta bukan benalu…”
Genta mengalihkan perhatian dari Ethan. Ia melihat Rhesya yang masih fokus menatap lapangan. Hati Rhesya berkata ia jatuh cinta pada Ethan. Melihat bagaimana Ethan berlari dengan bola basket di tangan, bagaimana ia melompat, dan kadang tertawa karena menjahili celana Saka atau menepuk kepala Lana, bahkan menendang pantat Hito, belum lagi tingkah tidak masuk akalnya yang lain. Rhesya menganggap dia pria aneh berwajah tampan yang akan membuat wanita memandang semua tingkahnya adalah hal lucu dan menggemaskan.
“Tempat Kak Genta yang bisa jadi salah di tengah-tengah mereka.” Rhesya kembali mengunci bola mata Genta, “tapi nggak papa kok. Kak Genta pasti punya tempat tersendiri di antara persahabatan kalian.”
“Kayaknya cuma lo yang mikir gitu.” Genta menyunggingkan senyumnya.
“Cie Kak Genta, ngobrol sama cewek.”
Rhesya dan Genta menoleh bersamaan pada wanita ber-make up tebal dan rambut bergelombang cantik yang bersiap duduk di samping Genta. Alvian dan Izal menoleh ke belakang bersamaan, seolah memeriksa siapa wanita yang duduk di belakang mereka.
“Halo Kak Izal, Kak Vian.”
“Halo, Tante. Bagi minum dong.” Alvian langsung memalak.
“Dih, ganteng doang, nggak modal.” Ia menyerahkan satu cup jus mangganya pada Alvian.
Rhesya dan Sheren masih menelisik wanita di samping Genta bersamaan. Rhesya tahu siapa wanita itu. Satu angkatan dengannya di kelas MIPA 5. Namanya Acha. Wanita cantik karena pintar make up dengan tubuh yang diagungkan pria dan menjadi tolak ukur wanita. Rhesya tidak menyangka jika Acha juga mendekati teman-teman Ethan? Untuk apa? Mengejar popularitasnya? Apa ia kurang mendapatkan segalanya itu? Apa dia masih butuh validasi lagi? Rhesya hampir memaki wanita itu dalam hati.
“Menang, nih, Kak Ethan,” ujarnya mulai berbasa-basi sambil menyilangkan kakinya yang berbalut rok seragam ketat. Hanya dia yang berani dengan gila membuat rok seragam sekolah menjadi seketat itu sampai membentuk pinggulnya. Kaki jenjang putihnya membuat siapapun akan menatapnya tanpa kedip.
“Cie nggak punya temen,” ledek Genta.
“Dih, lo kali. Tapi by the way Kak Genta, kemarin gue chat kenapa nggak dibales, deh? Sok ngartis, ah.”
“Chat apaan?”
“Temen gue di Gleen semalem butuh penyanyi café lagi. Gue bilang kan sama mereka, kalau lo bisa main gitar sambil nyanyi. Malah lo gue chat nggak dibales.”
“Semalem ada tamu di rumah. Gue nggak sempet buka chat. Ada ponakan juga.”
“Dek Abil lagi di rumah Kak Genta semalem?” Acha mencodongkan tubuhnya pada Genta.
“Iya, makanya gue nggak bisa keluar.”
“Masih di rumah sekarang?”
“Udah balik semalem dijemput Kak Rion.”
“Yah, pengen gue cubit pipi Dek Abil padahal.”
“Gue tampol lo.”
“Haha, canda Kak Genta…” Acha menepuk-nepuk paha Genta.
Rhesya yang melihatnya mulai merasa aneh dengan sikap Acha. Belum lagi bagaimana cara Acha duduk dengan mencodongkan tubuhnya pada Genta. Kedua orang itu terlibat sedikit pembicaraan seputar mengomentari pertandingan basket di bawah sana. Rhesya terpaksa banyak memilih diam dan duduk bergeser dari Genta. Ia berusaha menutupi perasaan risihnya akan kedatangan Acha dengan mengobrol bersama Sheren, meski Sheren terlalu fokus pada Hito.
Setengah jam berlalu, pertandingan usai di pukul lima. Senja hangat menerobos masuk ke dalam gedung olahraga dengan sorak-sorakan kemenangan tim basket di bawah kepemimpinan Saka. Mereka terlihat berdiskusi kecil dengan pelatih ekstrakurikuler basket sekolah, sebelum kembali menuju kursi pinggir lapangan atau loker milik mereka masing-masing.
“Ayo, Sya.” Genta bangkit dari duduknya.
Ketika Rhesya ikut berdiri, wanita bernama Acha itu menatapnya. Adu pandang yang begitu aneh. Acha seolah bertanya-tanya benarkah dirinya mengenal Genta?
“Duluan, Cha.” Genta melewati kaki Acha.
“Hati-hati Kak Genta. Buka chat, sih. Sombong amat.” Acha tersenyum genit.
“Haha, jelek lo, nggak usah senyum.”
“Sial, cuma lo doang yang ngatain gue jelek ratusan kali, Kak Genta! Awas lo suka sama gue!”
Genta tertawa meledek sambil melangkah ke depan. Rhesya hampir tidak percaya jika Acha memiliki sifat semenyebalkan itu. Risih bagaimana dirinya mencoba mencari perhatian Genta. Rhesya memutar bola mata malas di belakang langkah pria itu.
Sampai di teras gedung olahraga, Genta menghentikan langkah disusul Rhesya dan Sheren. Tidak bisa dipungkiri, kini Rhesya yang mendapat cubitan gemas bertubi-tubi di lengannya dari Sheren karena berdiri tepat di hadapan Hito. Rhesya berusaha senormal mungkin menanggapi sahabatnya yang gila. Namun, ia pun lebih ingin melompat kaget ketika menangkap basah Ethan yang sedang menatapnya. Kenapa?
“Langsung pada balik?” tanya Alvian dengan rokok pada apitan jemari panjangnya.
“Gue iya, mau jemput Nabila,” ujar Izal, “duluan.”
“Bucin amat.” Alvian mencubit perut berlemak Izal, yang ditanggapi pria gendut itu dengan cengiran.
Padahal Rhesya sudah berusaha mengalihkan perhatian pada Izal yang pergi, tetapi ketika ia beralih lagi menatap Ethan, pria itu masih saja sedang menatapnya. Rhesya sungguh salah tingkah. Angin berdesir menerbangkan rambutnya. Tatapan macam apa yang sedang Ethan lakukan padanya.
“Gue balik.” Lana bersiap, sambil menepuk bahu Hito dan Ethan.
“Lan, bokap lo diundang ke rumah nanti malem.” Akhirnya Ethan memalingkan tatapannya dari Rhesya.
“Oke.”
“Tunggu, Lan.” Alvian ikut pergi sambil menepuk pantat Genta.
“Em, Kak Hito.”
Rhesya hampir terlonjak ketika mendengar suara Sheren di sampingnya.
“Boleh minta foto bareng?”
“Oh, iya boleh.”
“Tolong, ya.” Sheren menyodorkan ponsel dengan senyum memaksa pada Rhesya.
Ia hampir tidak percaya dengan keberanian Sheren mengajak kekasih orang berfoto bersama. Herannya, Hito juga menanggapinya. Di sisi kiri, Rhesya sibuk memotret Sheren dan Hito. Sedangkan, di sisi lainnya, Genta dan Ethan terlibat saling diam. Sampai Ethan berjalan mendekat pada Genta, lantas menepuk pundak pria itu.
“Gue duluan, Ta,” ujar Ethan.
“Than…”
“Apa?”
Rhesya memutar kepala pada kedua pria itu setelah selesai mengambil jepretan untuk Sheren dan Hito.
“Nggak jadi,” ragu Genta.
“Gila lo, cupu!” tawa Ethan memukul kepala Genta pelan. Lagi dan lagi pandangan Ethan terarah pada Rhesya, sebelum berlalu meninggalkan Genta.
“Makasih banyak Kak Hito.” Suara Sheren memecah tatapan Rhesya pada punggung Ethan yang menjauh dari mereka bersama Saka.
“Sama-sama.” Hito bersiap pergi, “duluan, Ta.”
“Oke,” jawab Genta.
Sheren masih memandang ponselnya dengan senyum bahagia menahan rona merah di pipi. Meninggalkan sahabat gilanya, Rhesya memilih mendekat pada Genta.
“Pulang?” tanya Genta yang dibalas anggukan dan senyum manis oleh Rhesya.