"I-itu…”
Rhesya mendongak ketika Sheren mengayun-ayunkan lengannya. Genta? Rhesya bahkan belum mengatakan apapun pada Sheren, jika ia terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas yang kini berdiri di koridor kelasnya bersama Alvian.
“Temennya Kak Hito?” Sheren hampir tidak percaya.
“Sya.”
Sheren semakin melongo ketika pria itu mendekat dan memanggil nama Rhesya di sampingnya. Ia bahkan tidak bisa berhenti berkedip memandangi sosok Genta dalam jarak begitu dekat. Sheren sama seperti Rhesya yang hanya bisa memandangi komplotan teman Hito itu dari jarak jauh. Jika Rhesya terpaku pada Ethan, justru dirinya tidak lepas pada Hito meskipun ia tahu jika Hito telah memiliki kekasih. Sheren tidak peduli sama sekali.
“Kak Genta. Em, mau pulang sekarang?”
“Sebenernya mau nongkrong di gedung olahraga sama anak-anak, soalnya ada tanding basket.”
“Tanding basket, Kak?” Sheren yang menimpali, “ada Kak Hito?”
Rhesya mencubit lengan Sheren untuk menahan diri. Ia merasa tidak enak dengan Genta, meskipun ia melihat Genta hanya mengangguk pada Sheren, lantas kembali menatapnya. Bola mata Genta begitu lembut ketika bertemu dengan manik Rhesya. Mau tidak mau Rhesya harus mengakui jika terkadang ia salah tingkah diperhatikan oleh Genta.
“Mau ikut nonton dulu nggak?”
“Apa?” Rhesya hampir tidak percaya. Menonton pertandingan basket? Menonton Ethan? Siapa yang tidak mau? Namun bersama Genta?
“Mau, Kak!” seru Sheren, “ayo, Sya. Bukannya lo pengen lihat…”
Rhesya buru-buru menginjak sepatu Sheren sampai membuat empunya merintih dan membungkam mulut. Hampir saja sahabatnya itu asal bicara di depan Genta. Rhesya tersenyum canggung pada Genta, sebelum mengangguk. Ia melihat senyum pria itu yang begitu manis, bahkan dalam hati, Sheren pun mengakuinya.
“Ya udah, gue tunggu di gedung olahraga. Cari gue aja.”
“Iya, Kak.”
Genta berbalik, lantas pergi bersama Alvian yang berjalan mundur-mundur sambil memerhatikan Rhesya dan Sheren yang mematung bingung. Pria itu tiba-tiba melipat jari manis dan kelingking di kedua tangan, lantas mengarahkannya menyerupai bentuk pistol pada mereka berdua. Rhesya dan Sheren hampir tertawa dengan tingkah Alvian. Apalagi ketika melihat Genta menyimpan wajah Alvian pada ketiak hoodie abu-nya.
“Busuk, woy! Nggak pernah lo cuci, ya!” ronta Alvian sambil berteriak memekak isi lorong.
Rhesya dan Sheren tertawa pada akhirnya. Apalagi Sheren yang selera humornya lebih tinggi dari Rhesya. Tawanya sampai terpingkal memegangi perut. Rhesya terpaksa menepuk pundak sahabatnya untuk diam dan berhenti menertawakan tingkah Alvian.
“Mau beli minum dulu nggak sebelum ke gedung?” tanya Sheren.
“Boleh.”
“Tunggu. Gimana ceritanya lo bisa kenal Kak Genta?” Sheren menggandeng lengan Rhesya yang berbalut cardigan warna cream.
“Em, sebenernya gue dijodohin sama Kak Genta.”
“Hah?!!” suara Sheren di depan lorong kantor guru cukup membuat beberapa anak yang hendak menuju gedung olahraga sekolah menoleh pada mereka. Rhesya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, malu menanggapi reaksi Sheren yang begitu heboh.
“Maksudnya dijodohin?!”
“Udah ayo sama jalan ke koperasi beli minum.” Rhesya melangkah terlebih dahulu. Masih merasakan malu ketika berdiri di samping Sheren yang sukses menarik perhatian orang-orang.
“Itu seriusan? Tapi kan lo sukanya sama Kak Ethan.”
“Iya makanya itu, gue jadi bingung. Ternyata Kak Genta anak sahabat papa. Gue nggak mungkin nolak dong di depan mereka. Lo tahu sendiri bokap gue kayak gimana. Sekali dia udah bertekad, bakalan susah buat dibujuk lagi.”
Keduanya memasuki koperasi, lantas mengambil dua botol minum mineral di kulkas. Namun, netra Rhesya tidak sengaja menangkap satu cup smoothies alpukat di etalase paling bawah. Ia jadi teringat bagaimana Genta dengan handuk biru malam itu. Rhesya buru-buru menghilangkan ingatan memalukannya, tetapi ia juga berniat mengambil cup itu.
“Smoothies?” tanya Sheren.
“Heem.”
“Tumben beli smoothies.” Sheren menutup pintu kulkas, kemudian mengekor langkah Rhesya menuju tempat pembayaran.
Setelah selesai dengan transaksinya, kedua wanita itu keluar dari koperasi dengan panas matahari yang mulai condong ke arah barat. Seketika mereka melihat anak-anak basket tim lawan memasuki kantin sekolah. Sampai, maniknya tidak sengaja menemukan Ethan yang berlari menyusul salah seorang dari mereka memasuki teras kantin.
“Kak Ethan?” Sheren memastikan.
Senyum Rhesya tidak lepas memandang Ethan yang mulai duduk di meja bersama tim basket lawan. Pria itu selalu terlihat begitu keren ketika mengenakan jersey basket hitam bercorak kemerahan sekolahnya.
“Gila emang nggak ada obat gantengnya.” Sheren ikut termangu di balik pundak Rhesya.
Apa yang paling Rhesya sukai dari Ethan? Tinggi dan proporsi badannya yang terkesan ideal untuk takaran seorang pria? Atau keren dirinya ketika berdiri tegak memimpin upacara peringatan hari-hari besar di tengah lapangan? Atau karena tegas suaranya ketika pelatihan paskibra? Bahkan Ethan memiliki catatan baik di pasukan pengibar bendera SMA, sampai saat ini, ketika paskibra sekolah yang biasa mereka sebut dengan nama Ardyaksa merekrut anggota pelatihan baru.
Meskipun setiap hari Rabu, pria itu terpapar sinar matahari sehabis kelas berlangsung karena jadwal pelatihan anak-anak Ardyaksa, tetapi kulitnya tetap terlihat bersih dan sehat, seolah Ethan merupakan pria yang begitu pandai merawat diri. Semua kegiatan Ethan tergolong berat dan menggunakan fisik. Bahkan Rhesya pernah sesekali mencuri-curi melihat bagaimana Ardyaksa SMA-nya sedang melakukan pelatihan. Mereka tidak segan bermain dengan debu, tetapi Ethan tidak takut dengan hal-hal yang berhubungan dengan pelatihan militer. Ia bukan pria berharta yang manja. Jika tidak salah, Rhesya juga melihat Saka di anggota Ardyaksa dan basket sekolah.
“Masih mau nunggu Kak Ethan selesai minum?” tanya Sheren mengejutkan Rhesya yang masih termangu memandang wajah Ethan.
“Em, ke dalem aja.”
“Oke.” Sheren berlalu terlebih dahulu, disusul Rhesya di belakangnya. Meskipun sesekali dirinya masih mencuri pandang pada Ethan, yang bodohnya juga sedang menangkap basah dirinya. Rhesya buru-buru menunduk dan berjalan menjauh.
“Than? Liatin apa lo? Kayak orang kesambet, bangke.”
“Cewek.” Ethan tertawa ringan, kemudian menyeruput minumnya yang lagi-lagi menarik perhatian beberapa anak yang berjalan melintasi kantin. Mereka adalah adik kelas atau bahkan kakak kelas yang akan menonton pertandingan mereka sore ini.
“Bu, jadi berapa?” Ethan bangkit dari kursinya.
“Berapa gelas, Den Ethan?” tanya ibu kantin sedikit mengeraskan suara.
“Lima. Oh ya, kemarin si Saka ngambil apaan, Bu?” Ethan mengambil satu gorengan yang tersisa di keranjang plastik, lantas langsung dilahapnya masih dengan posisi berdiri. Tentu saja beberapa anak dalam kantin memandanginya dengan mata yang seolah-olah akan melompat keluar dari tempat.
“Den Saka…” ibu kantin itu keluar dari dapur sambil mengelap tangannya yang basah pada celemek, “kemarin ambil dua gorengan, satu mangkuk mie instan, sama es jeruk.”
Ethan mengeluarkan dompetnya, masih dengan mulut penuh gorengan, “sekalian ya, Bu. Gorengan satu ini kemakan. Sisanya buat ibu aja, bagi tuh sama Mpok Leha di belakang.”
“Wah, makasih banyak Den Ethan,” seperti biasa ibu kantin itu mengucapkan terima kasih pada Ethan jika memberikan uang berlebih.
“Den! Makasih, Den! Ganteng pisan ieu, Aden Ethan, dah!” seru Mpok Leha dari dapur.
Ethan hanya tersenyum membalas ucapan ibu kantin, lantas berlalu bersama kawanannya. Aturan pertama dalam mengenali sosok Ethan adalah pria itu sungguh tidak dapat ditebak bagaimana cara bersikap. Orang-orang akan mengenalnya sebagai anak manja, sok berkuasa, sombong, dan populer karena keluarganya yang terbilang kaya raya. Namun, di tongkrongan, nyatanya ia merupakan pria supel yang tidak perhitungan terhadap sesuatu, apalagi perihal keuangan. Ia begitu dekat dengan Saka, sahabat kecilnya. Ibaratkan di manapun ada Saka pasti di situ ada Ethan, begitupula sebaliknya.
Kemudian, peraturan kedua, Rhesya yang harus pandai-pandai ketika mencuri pandang dalam jarak dekat dengan Ethan. Pria itu bisa saja memergokinya seperti tadi. Degup jantung Rhesya kembali bertalu ketika melihat Ethan dan tim lawan memasuki lapangan. Kini semua mata tertuju pada Ethan dan Hito. Juga Lana yang tiba-tiba masuk melakukan pemanasan bersama Saka di sisi kiri lapangan. Saat itulah, tiba-tiba Ethan mendongak dan menangkap basah lagi dirinya yang tengah memperhatikan pria itu. Buru-buru Rhesya membuang wajah dan menoleh pada Genta.
“Kemanisan, Kak?” tanya Rhesya.
“Lumayan manis, tapi masih bisa gue telen.”
Rhesya tertawa pelan, meskipun tidak dapat dibohongi jika hatinya berdebar untuk Ethan. Mengapa? Rhesya begitu bodoh jika terus-menerus seperti ini.
“Kedip!” Rhesya menyapu wajah Sheren menggunakan telapak tangan yang membuat empunya menggerutu tidak terima.
“Dih, apaan sih.” Sheren kembali memperhatikan Hito yang membuat Rhesya menggelengkan kepala.
Ketika peluit pertama berbunyi, pertanda pertandingan dimulai. Kapten basket SMA Merah Putih dipegang oleh Saka. Pria itu memang begitu jago dengan taktik-taktik tipuannya. Apalagi didukung dengan tubuhnya yang kecil namun tinggi, membuatnya ikut tercatat dalam keanggotaan Ardyaksa Merah Putih. Namun tetap saja, pusat perhatian sebagian besar anak-anak terarah pada Ethan dan Hito. Dua pria yang hampir tidak dapat dibedakan mana yang lebih unggul populeritasnya.
“Kak Genta nggak ikut basket juga sama temen-temen?” tanya Rhesya.