Dentuman terakhir pecah di langit seperti suara pintu besar yang ditutup pelan-pelan.
Cahaya perak menyebar, berkilau sebentar, lalu meredup, seperti perasaan yang terlalu indah untuk bertahan lama.
Setelah itu, hanya ada langit malam. Gelap. Biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Orang-orang mulai beranjak.
Kain-kain piknik dilipat, seperti kenangan yang harus segera dibereskan sebelum menjadi terlalu berat.
Anak-anak digendong, sebagian tertidur dengan pipi menempel di bahu ayah mereka, sisa tawa masih menggantung di ujung bibir.
Suara langkah mulai menggantikan suara kagum.
Festival usai.
Tapi kami tetap duduk.
Sakura masih bersandar di pundakku.
Tangannya masih menggenggam lenganku.
Angin malam menyusup perlahan, membawa wangi rumput basah dan sisa asap kembang api.
Di kejauhan, lampu-lampu mulai dipadamkan. Satu per satu.
Langit kembali jadi panggung yang kosong.
Aku melirik ke arah samping. Melihat garis wajahnya yang tenang.
Ada bayangan cahaya di pipinya, samar, tapi cukup untuk membuatnya terlihat seperti mimpi yang terlalu nyata untuk dijelaskan.
Ia tidak bergerak, tapi aku tahu ia terjaga.
Aku ingin bicara, tapi kata-kata terasa seperti tersangkut di tenggorokan.
Hati ini berdebar, tapi takut. Takut mengubah sesuatu yang selama ini terasa nyaman, meski penuh keraguan.
“Kenapa kita tidak pulang saja?” suaraku akhirnya pecah, pelan dan sedikit canggung.
Sakura mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata yang setengah tertutup.
“Kau ingin pulang?” tanyanya, suaranya halus seperti bisikan angin malam.
Aku menggeleng pelan.
“Bukan. Aku... aku cuma takut nanti, kalau aku bicara, kita jadi berbeda.”
Dia tertawa kecil, suara itu lembut dan membuat hatiku sedikit lega.
“Kalau kita tidak bicara, kita akan tetap begini, kan? Duduk di sini, diam, pura-pura semuanya baik-baik saja.”
Aku menatapnya lama.
“Kalau aku bilang aku ingin tetap di sini, kamu mau?”
Sakura menatapku, matanya berkaca-kaca, seperti sedang melawan sesuatu di dalam dirinya sendiri.
“Aku... aku juga ingin. Tapi aku takut. Takut kalau semuanya nanti tidak seperti yang kita bayangkan.”
Aku meremas tangan yang menggenggam lenganku.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku ingin mencoba. Bareng kamu.”
Keheningan kembali menyelimuti kami, tapi kali ini terasa berbeda.
Ada sesuatu yang mengalir di antara kami.
Sesuatu yang belum terucap, tapi sudah cukup jelas.
“Sakura,” kataku pelan.
Ia tidak menjawab. Tapi aku tahu ia mendengar.
Tubuhnya sedikit menegang, tapi tidak menjauh.
Suara malam merayap masuk di sela-sela keheningan kami.
Suara daun. Serangga. Detak yang terlalu cepat di dadaku sendiri.
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering.
Tapi kalimat itu keluar juga.
“Aku pengen tetap di sini.”
Kepalanya pelan-pelan bergerak. Menoleh. Matanya menatapku.
Aku melanjutkan, pelan, hati-hati, seperti menyusun jembatan dari ranting.
“Aku pengen… bareng kamu. Nggak tahu caranya. Nggak tahu gimana jadinya. Tapi aku... mau.”
Sakura masih menatap.
Tatapannya dalam, seolah membaca setiap kata yang belum terucap, setiap keraguan yang terselip di antara kalimatku.
Ada sesuatu yang berubah di matanya, bukan kaget, bukan bahagia berlebihan, tapi rapuh.
Seperti sesuatu yang disimpan terlalu lama akhirnya retak.
Tangannya yang tadi menggenggam lenganku, perlahan berpindah ke tanganku.
Menggenggam lebih erat, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi, bukan ilusi yang akan hilang saat pagi tiba.
Aku menahan napas.
Suaranya nyaris berbisik ketika aku mendengar napasnya yang tersendat.
Lalu ia menunduk sebentar. Menggigit bibirnya.
Dalam bahasa Inggris yang terbata dan lembut, ia berkata,
“Me too. I… want… you stay. With me.”
Aku mengangguk.
Jantungku rasanya seperti digenggam terlalu kencang dari dalam
Seperti ada ribuan sayap yang berdegup liar di dada.
Kami tidak saling bilang “aku cinta kamu.”
Tidak bilang “selamanya.”
Tidak berpelukan sambil bersumpah
Tapi kami ada.
Di situ.
Bersama.
Keheningan kami kali ini penuh dengan makna.
Aku bisa merasakan detak jantungnya yang selaras dengan detakku.
Tangan kami yang saling menggenggam terasa hangat, seolah memberi keberanian untuk menghadapi ketidakpastian.
“Kalau nanti semuanya sulit, kamu mau tetap di sini?” tanyaku dengan suara pelan.
Sakura mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Ya. Aku mau. Kita bisa jalani pelan-pelan, asal bareng.”
Aku tersenyum kecil.
Itu cukup.
Lebih dari cukup.
Dan dalam kalimat patah-patah, air mata, dan tangan yang tidak dilepas, kami tahu:
Perasaan ini nyata.
Tidak sempurna.
Tidak praktis.
Tapi tulus.