Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Beberapa hari setelah nasi goreng itu, Sakura datang lagi.

Lalu datang lagi.

Dan lagi.

Setiap kali dia masuk, rasanya seperti ada udara segar yang tiba-tiba menyelinap ke dalam restoran kecil itu.

Dia tidak pernah membawa terlalu banyak barang, hanya buku sketsa lusuh yang sudah terlihat akrab dengan tangannya.

Kadang dia duduk di meja yang sama, membaca dengan serius, bibirnya sesekali bergerak seperti sedang mengucapkan mantra kecil yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri.

Aku perhatikan bagaimana ujung pensilnya bergerak di atas kertas, cepat dan pasti, seolah menggambar bukan hanya gambar tapi juga cerita yang belum aku mengerti.

Di saat lain, dia tiba-tiba berdiri dan mengelap meja, tanpa diminta, dengan gerakan yang lambat dan rapi.

Yamamoto-san tidak pernah memintanya, tapi dia melakukannya dengan tenang, tanpa suara, seperti menepikan debu di sudut ingatan.

Dan kadang, yang paling membuatku gelisah, Sakura datang membawa bekal.
Aku ingat saat itu, dia menyerahkan sebuah kotak makan siang kecil, tanpa ekspresi yang biasa.
Di dalamnya ada onigiri, nasi kepal berbentuk segitiga, tapi tidak sempurna, dan telur gulung yang warnanya terlalu kecokelatan, seperti lupa dimasak dengan sabar.

"Bukan karena kasihan," katanya sekali, dengan suara yang datar tapi mata yang tajam.

"Aku latihan."

Aku tidak tahu harus senang atau khawatir saat melihat bekal itu.

Tapi ketika aku memakannya, dia menatapku dengan serius, seperti juri MasterChef yang sedang menguji martabat keluargaku.

Mata itu menilai setiap gigitan, seolah mengukur apakah aku pantas mendapatkan kepercayaan yang ia berikan.

Ketika aku bilang, “Enak,” aku berharap itu cukup membuat suasana menjadi ringan.

Tapi dia hanya mengangkat bahu dan berkata, “Lain kali aku bawa yang bener.”

Seketika, aku tahu ini bukan soal makanan.

Ini soal dia yang ingin aku tahu, bahwa di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang ingin dia bagikan, perlahan, tanpa kata-kata berlebihan.

Hari-hari itu terasa seperti kabut yang lembut.

Kadang aku merasa bingung, kadang nyaman, tapi selalu ada sesuatu yang baru aku pelajari dari kehadirannya yang diam namun kuat.

***

Hari-hari itu terasa seperti kabut manis yang perlahan menyelimuti hidupku.

Kami mulai terbiasa satu sama lain, tanpa perlu banyak kata.

Di dapur yang sempit, aku sibuk dengan wajan dan pisau, sementara dia duduk di meja kayu kecil, sesekali menatapku dari balik jendela dapur, atau mengomentari aroma yang muncul dari masakanku.

Kalau aku gagal membalik tamagoyaki, dan bentuknya jadi lipatan kacau yang tidak karuan, dia akan tertawa kecil, suaranya pelan tapi jelas.

“Looks like… hat?” katanya, menahan tawa yang hampir pecah.

Aku hanya mengangguk, sambil menirukan ekspresi kecewa.

“Topi patah semangat,” jawabku, dan kami tertawa bersama, meskipun aku tahu aku masih jauh dari bisa membuat tamagoyaki yang sempurna.

Sakura tidak pernah menghakimi.

Dia hanya hadir, dengan caranya yang sederhana tapi nyata.

Kadang dia membawa buku sketsanya, dan menggambar sesuatu yang aku tak mengerti, tapi senyumnya muncul setiap kali tangannya menyentuh kertas.

Aku ingin bertanya tentang gambarnya, tapi aku takut itu terlalu dekat.

Terlalu pribadi.

Kami punya momen kami, kecil tapi berarti.

Seperti saat aku mencoba membuat sup miso dan dia memberitahuku bahwa aku terlalu banyak menambahkan garam.

Atau saat aku secara tidak sengaja menumpahkan sedikit kecap, dan dia dengan sigap membersihkannya sebelum Yamamoto-san mengetahuinya.

Semua itu membuat aku merasa… aman.

Dan itu menakutkan.

Karena aku, Arya Satya, orang asing yang tiba-tiba menemukan tempat di dunia yang asing, mulai merasa terlalu nyaman.

Seperti dapur ini bukan sekadar tempat kerja.

Seperti Sakura bukan hanya teman sekerja.

Tapi sesuatu yang lebih.

Sesuatu yang membuat jantungku berdebar lebih cepat, tapi juga membuat aku takut jatuh terlalu dalam.

Aku tahu, saat sesuatu yang indah mulai terasa biasa, itu tandanya kamu sudah terlalu dekat.

Terlalu dalam.

Dan aku belum siap menghadapi rasa itu.

***

Malam itu, saat istirahat, kami duduk di tangga belakang restoran, tempat sempit yang hanya cukup untuk dua orang dan satu teh kaleng.

Udara malam terasa dingin, tapi tidak sampai menusuk.

Lampu jalan di kejauhan memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergoyang pelan-pelan.

Aku menatap kaleng teh di tanganku, sambil membiarkan keheningan mengisi ruang antara kami.

Sakura duduk di sebelahku, diam.

Matanya menatap langit yang tak berhiaskan bintang, mungkin tertutup awan tebal malam itu.

Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu, tapi aku tidak berani bertanya.

Kemudian, dia memecah sunyi dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Kamu suka kerja di sini? tanyanya.

Aku terdiam sejenak.

Susah menjawab pertanyaan itu, karena jawabanku tidak pernah hitam-putih.

Aku mengangguk pelan, lalu berkata,

Tempatnya kecil, tapi... hangat.

Sakura menoleh kepadaku, matanya menatap dalam seolah ingin menggali sesuatu dari balik kata-kataku.

Seperti... kamu, katanya.

Aku menoleh cepat, terkejut dan sedikit malu.

Wajahnya tenang, tanpa candaan atau godaan.

Hanya ada ketulusan yang membuatku hampir lupa cara bernapas.

Aku tertawa pelan, mencoba meredakan kegugupanku.

Aku bukan tempat, kataku, suara bergetar sedikit.

Dia menggeleng pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

Bukan. Tapi kamu... buat tempat jadi lebih hangat.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.

Jadi aku pura-pura sibuk dengan tutup kaleng teh di tanganku, mencoba mengalihkan perhatian dari detak jantung yang makin cepat.

Tapi dalam hati, kalimat itu membekas.

Seperti noda minyak di baju kerja yang sulit hilang, dan lama-kelamaan terasa milik.

Kami duduk diam, menikmati kehangatan teh yang mulai dingin, sambil membiarkan kata-kata itu mengisi ruang kosong dalam hati kami.

Malam itu, aku merasa sesuatu bergeser.

Sesuatu yang sulit diungkapkan, tapi nyata adanya.

***

Malam itu, setelah beranjak dari tangga belakang yang sempit itu, aku kembali ke futon kecil di lantai atas.

Ruanganku yang sederhana, tiga kali tiga meter, dengan jendela bundar yang menghadap ke tembok, tiba-tiba terasa lebih hidup dari biasanya.

Aku tidak langsung memejamkan mata.

Sebaliknya, aku berbaring lama, menatap langit-langit kayu yang kusam dan berderit pelan saat angin berhembus di luar.

Setiap goresan pada kayu itu seperti menyimpan cerita, sama seperti aku yang menyimpan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab di dalam hati.

Satu kalimat terus berputar dalam pikiranku.

Terlalu nyaman bisa jadi bahaya, tapi... kenapa ini terasa seperti rumah?

Aku tahu, aku tidak lagi sekadar tamu yang singgah sementara.

Rasa nyaman yang aku rasakan, meskipun penuh ketakutan dan keraguan, telah menjadi sesuatu yang aku rindukan tanpa kusadari.

Di sini, di restoran kecil dengan pintu kayu dan aroma kaldu yang menenangkan, aku menemukan sudut dunia yang mau menerimaku apa adanya.

Dan Sakura… dengan cara diamnya, perlahan-lahan membuka ruang bagi kehadiran yang selama ini asing bagiku.

Aku berbaring, membiarkan pikiran itu mengalir, antara rindu dan takut.

Aku tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Tapi malam itu, aku merasa, mungkin aku sudah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar tempat untuk tidur atau bekerja.

Aku menemukan arti ‘rumah’ yang sebenarnya, bukan bangunan atau alamat, tapi rasa yang membuatmu merasa tak perlu lagi bersembunyi.

Dan di futon kecil itu, dengan udara malam yang sejuk masuk lewat jendela, aku menutup mata.

Membiarkan semua perasaan itu mengendap dan menjadi bagian dari diriku yang baru.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simfoni Rindu Zindy
789      562     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Langit-Langit Patah
28      24     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Can You Be My D?
97      87     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Merayakan Apa Adanya
485      349     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Paint of Pain
1082      734     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Rumah Tanpa Dede
162      107     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
A Missing Piece of Harmony
291      231     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Behind The Spotlight
3412      1680     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Mimpi & Co.
1185      766     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?