Hari itu, aku berdiri di depan restoran yang nyaris tidak tampak seperti restoran.
Bangunannya kecil, tua, dan bagian depannya dipenuhi tanaman dalam pot yang tumbuh tak beraturan seperti rambut bangun tidur. Beberapa daun sudah menguning, dan salah satu pot tampaknya dulunya tempat cat, bukan untuk menanam.
Ada tirai noren kusam tergantung di depan pintu, warnanya pernah biru, sekarang jadi sesuatu antara debu dan nostalgia.
Papan namanya dari kayu, tulisannya sudah mulai pudar:
「こもれび食堂」- Komorebi Shokudou.
Aku menatap huruf-huruf kanji itu lama, mencoba menerka artinya. Cahaya yang menyaring lewat dedaunan, begitu kira-kira artinya kalau tidak salah ingat dari kelas bahasa. Cahaya yang menembus celah-celah... seperti harapan, mungkin?
Sedikit terlalu puitis untuk sebuah tempat makan yang tampak seperti rumah pensiunan pohon bonsai.
Sakura berdiri di sampingku, wajahnya netral seperti biasa, hanya kali ini tangannya tidak berhenti memainkan ujung tali tasnya.
Dia gugup. Itu baru.
“Kamu yakin ini bukan rumah nenek kamu?” bisikku, setengah bercanda, setengah serius.
Dia melirik sekilas, lalu menjawab, “Not my grandmother. He just… old.”
Kalimat itu menggantung di udara, seperti daun kering yang tidak jadi jatuh.
Aku tidak tahu harus tertawa atau bersiap kabur.
Tapi satu hal yang pasti: ini bukan restoran yang kulihat di brosur-brosur pelatihan magang. Ini bukan tempat dengan sistem kasir otomatis, dapur berkilau, atau pelayan berseragam.
Tapi justru karena itulah, aku merasa… ingin tahu.
Kami berdiri di sana beberapa detik, diam, seperti menunggu restu dari tempat itu.
Angin sore membawa aroma samar: sesuatu antara rumput basah dan kaldu ikan. Perutku mengeluarkan bunyi kecil, pengingat bahwa sejak pagi aku hanya makan roti isi tuna dari konbini.
Sakura menarik tirai noren pelan-pelan, seperti membuka pintu ke dunia lain.
“Let’s go.”
Kami masuk.
Bunyi lonceng kecil menyambut kami, klasik, nyaring, dan sedikit terlalu keras untuk ukuran pintu sekecil itu.
Aroma kaldu dashi dan minyak wijen langsung menyerbu hidungku seperti pelukan dari makanan hangat.
Aku sempat berhenti di ambang pintu, seolah bau itu bisa membuatku lupa bahwa aku sedang berada ribuan kilometer dari rumah.
Di dalam, tempatnya lebih luas dari luar. Entah bagaimana caranya, restoran ini seperti kantong Doraemon, luar kecil, dalam lapang.
Ada lima meja kayu pendek, warnanya tidak seragam. Beberapa permukaannya lecet, satu bahkan memiliki coretan pena bertuliskan "Kenji ♥ Mika" yang belum sempat diamplas.
Dua kursi menghadap ke konter dapur terbuka, tempat panci-panci logam tergantung seperti alat musik dalam orkestra yang kacau. Dindingnya penuh foto makanan, catatan tangan pelanggan dalam berbagai bahasa, dan satu poster anime tahun 90-an yang warnanya sudah luntur tapi masih dijaga seperti lukisan mahal.
Dan lalu, muncullah pria itu.
Rambut acak-acakan seperti mie goreng tersisa semalam, kaus putih yang pernah putih, apron yang penuh noda seperti peta minyak dari pertempuran dapur, dan ekspresi seperti orang yang selalu bangun terlalu pagi dan tidak pernah cukup kopi.
Kakinya memakai sandal rumah. Kaus kakinya... tidak sama. Aku tidak menanyakan kenapa.
“Oyaa…, Sakura-chan,” katanya, suaranya berat dan serak, seperti batu yang diseret di jalan berpasir.
Nada bicaranya tidak kasar, tapi juga tidak bisa dibilang ramah. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering kecewa sama oven yang tidak pernah panas merata.
Sakura membungkuk sopan. “Yamamoto-san, konnichiwa.”
Dia melihat ke arahku. Matanya menyipit, bukan karena curiga, lebih seperti sedang mencoba mengingat apakah pernah melihat wajahku di daftar utang.
Aku membungkuk cepat, agak terlalu dalam. “Hajimemashite. Arya desu.”
Dia tidak langsung menjawab. Hanya melirikku dari ujung kepala sampai ujung sepatu, yang sudah agak belel karena terlalu sering dipakai sejak aku tiba di Tokyo. Lalu mengangguk pelan, seperti sedang menilai ayam potong yang “mungkin masih bisa diselamatkan kalau dibumbuin cukup lama.”
“Orang Indonesia?” tanyanya, aksen Jepangnya tebal tapi jelas.
“Iya, betul.”
“Bisa masak?”
“Sedikit.”
Dia mendengus. “Semua orang bilang sedikit. Tapi waktu disuruh ngiris bawang, malah nangis duluan.”
Aku tidak tahu harus tertawa atau merasa terancam. Jadi aku memilih jalan tengah: senyum kaku seperti orang yang tersesat di acara kuis dan tidak yakin jawabannya A atau C.
Yamamoto-san berbalik menuju dapur. “Mulai malam ini bantu bersih-bersih. Cuci. Besok baru belajar masak.”
Aku mengangguk cepat. “Hai!”
Sakura terlihat lega. Bahunya turun setengah senti, dan tangannya berhenti memainkan tali tas. Ia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya ke tangga kecil di pojok dapur.
Sebelum aku sempat memproses semuanya, bau kaldu, pria grumpy, dan kenyataan bahwa aku baru saja ‘diterima kerja’, kaki Sakura sudah menginjak anak tangga pertama.
Aku menoleh sebentar ke arah dapur. Yamamoto-san sudah sibuk mengaduk sesuatu di panci besar, wajahnya fokus seperti samurai yang sedang mengasah pedang, hanya dengan sendok kayu.
***
Kami naik. Tangga kayunya mengeluh di tiap pijakan, seperti tidak terbiasa dilalui manusia yang membawa harapan terlalu berat.
Langit-langitnya rendah. Dindingnya sempit. Aroma kayu tua dan kecap asin yang sudah menyatu selama bertahun-tahun memenuhi udara, seperti rahasia yang enggan pergi.
Aku sempat berpikir: kalau aku batuk terlalu keras, mungkin seluruh bangunan akan ikut bersin.
Sakura mendahuluiku, langkahnya ringan meski sempit. Dia tidak berkata apa-apa. Tapi tiap langkahnya terasa seperti sedang membimbing, bukan hanya menuntun.
Satu... dua... sepuluh anak tangga, dan kami tiba di lantai dua.
Ruangannya kecil. Sungguh kecil.
Mungkin tiga kali tiga meter. Tidak ada tempat menyembunyikan mimpi buruk, atau koper besar yang tadi kubawa.
Tapi justru karena kecil, ruang ini terasa jujur.
Ada futon tergelar di atas lantai tatami yang sudah mulai usang tapi bersih. Di sudut ada kipas angin meja model lama dengan tombol yang harus ditekan seperti mesin ketik. Rak kayu kecil menyimpan beberapa buku, semuanya dalam huruf Jepang, dan satu berjudul 料理は愛だ (Masak Adalah Cinta).
Jendela bundar di sisi ruangan langsung menghadap ke dinding bangunan tetangga, tapi sinar sore berhasil menyelinap melalui celah sempit, menimpa futon dengan hangat yang tidak bisa dibeli di toko.
Sakura berdiri di pintu, melihat reaksiku. Tapi dia tidak banyak bicara.
“Ini… buat aku?” tanyaku, nyaris berbisik.
Dia mengangguk. “You sleep here. No rent. Just… help. Work hard.”
Aku mengangguk pelan. Tenggorokanku terasa kering, tapi bukan karena haus.
Bukan hanya tempat ini yang sempit. Dunia ini juga terasa asing, rumit, dan terlalu cepat. Tapi satu hal yang sederhana ada di hadapanku: ruang ini milikku.
Aku menoleh padanya. “Sakura... thank you.”
Dia tidak langsung menjawab. Tapi matanya menatapku sebentar, dan untuk pertama kalinya hari itu, aku rasa dia melihatku bukan sebagai beban, atau proyek, tapi… seseorang yang bisa bertahan.
Dia menunduk pelan. Lalu berjalan ke pintu.
Tapi sebelum keluar, dia menoleh dan berkata, “He is grumpy. But kind.”
Aku tertawa kecil. “Kayak kamu.”
Dia tidak menjawab. Tapi senyum tipisnya muncul seperti matahari jam lima sore, pelan, malu-malu, dan tidak bertahan lama.
Lalu ia menutup pintu.
Aku berdiri beberapa detik, mematung di tengah ruangan, mencoba menyerap semuanya. Kemarin aku tidur di taman kota, memeluk koper yang terlalu berat dan harapan yang terlalu tipis. Hari ini, aku punya lantai, dinding, dan seseorang yang mengizinkanku masuk.
Aku duduk di futon itu, pelan.
Mengusap kainnya dengan telapak tangan. Masih hangat oleh sinar matahari sore yang masuk dari celah jendela.
Tempat ini tidak besar. Tidak megah.
Tapi untuk seseorang yang semalam tidur berdiri sambil memeluk koper... tempat ini terasa seperti kastil.
***
Aku masih duduk di futon itu.
Merasakan setiap lekuknya, setiap lipatan kainnya yang sedikit kasar tapi bersih. Tanganku menelusuri tepinya, seperti memastikan bahwa ini nyata, bahwa ini bukan mimpi dari perut lapar dan malam tanpa atap.
Udara sore mengalir pelan lewat jendela bundar. Dinding bangunan tetangga begitu dekat, tapi cahaya tetap berhasil menyelinap. Aku menatapnya lama. Entah kenapa, sinar kecil itu terasa seperti tanda bahwa aku belum benar-benar tertutup dari dunia.
Kupeluk lututku, menyandarkan dagu. Di bawah sana, terdengar suara panci digeser, sendok kayu dipukul pelan ke pinggir wajan. Suara hidup.
Bukan milikku, belum. Tapi mungkin, kalau aku cukup sabar, cukup bekerja, suara itu suatu hari akan terasa seperti milikku juga.
Aku berpikir tentang malam kemarin. Tentang bangku taman yang keras, udara yang menggigit, dan rasa malu yang tidak bisa kuusir walau sudah kupeluk erat koperku seperti bantal.
Tentang pesan singkat ke Mama yang hanya kubalas dengan, “Baik, Ma. Masih cari tempat tinggal.”
Aku tidak bilang betapa dinginnya angin, atau betapa sepinya jalan-jalan Tokyo setelah jam sembilan malam.
Dan sekarang... aku punya lantai. Atap. Tempat kecil untuk tidur, berpikir, bernapas.
Aku tidak tahu berapa lama aku akan tinggal di sini. Mungkin seminggu. Mungkin sebulan. Mungkin lebih. Tapi untuk pertama kalinya sejak aku tiba, aku merasa seperti bagian kecil dari sesuatu.
Sakura bilang Yamamoto-san pemarah tapi baik.
Lucu. Di awal aku kira dia hanya membantu karena kasihan. Tapi sekarang... aku mulai percaya dia melihat sesuatu. Atau setidaknya, memberiku kesempatan untuk menemukannya sendiri.
Aku berbaring di futon itu, membiarkan punggungku menyentuh lantai yang dingin tapi stabil.
Kipas angin di sudut berderit pelan. Udara sore membawa sisa aroma kaldu dari dapur, dan ada sesuatu tentang bau makanan yang bisa membuat dinding terasa kurang sempit.
Tempat ini tidak besar. Tidak megah.
Tidak seperti bayanganku tentang Jepang yang penuh neon dan gedung kaca.
Tapi tempat ini diam.
Dan diamnya bukan sunyi yang menakutkan, melainkan sunyi yang memberi ruang.
Aku menutup mata.
Untuk pertama kalinya sejak aku datang ke negara ini, aku merasa... tidak perlu lari.