Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Aku tidak tahu kapan tepatnya itu dimulai.

Mungkin malam ketika dia menyerahkan struk belanja dengan gambar bunga kecil di baliknya.

Atau mungkin malam sebelumnya, saat aku memberanikan diri mengucap, “Sampai jumpa,” dan dia, dengan wajah bingung tapi tulus, membalas, “Jum… paa?”

Aku sempat tertawa kecil waktu itu. Bukan karena mengejek, tapi karena rasanya seperti menyaksikan anak kecil belajar kata pertama. Canggung, tapi hangat.

Sejak saat itu, interaksi kami berubah.

Tidak besar. Tidak dramatis.

Tapi terasa.

Ada sesuatu dalam diamnya yang kini tak lagi sekadar sunyi.
Ada ruang yang dibuka sedikit demi sedikit, cukup untuk menyelipkan satu kata.

Pada malam-malam berikutnya, aku mulai merasa kami sedang merancang sesuatu, meski tanpa rencana.

Semacam jembatan kecil dari kertas dan senyum.

Koneksi yang tidak dibuat dari percakapan panjang, tapi dari celah-celah tenang antara satu senyum dan satu tulisan tangan.

Dan jujur saja, aku tidak keberatan kalau begini terus.

Bahasa kami absurd. Tapi terasa jujur.

Suatu malam, setelah membayar dan duduk seperti biasa di pojok jendela, dia melambaikan tangan kecilnya.

Aku berpura-pura mengecek tempat sampah.

Alasan yang tidak perlu dijelaskan, aku tahu dia tahu, dan dia tahu aku tahu.

Saat aku mendekat, dia menyodorkan potongan kertas kecil.

Guntingannya rapi, tapi aku bisa mengenali bekas kemasan sandwich.

Di atas kertas itu tertulis:

おはよう (Ohayou)
*Morning ☀️

Tulisan tangannya bulat dan bersih. Ada matahari kecil di pojok kanan, seperti stiker imajiner yang tidak bisa ditempelkan di layar, jadi digambar saja.

Aku membacanya pelan, lidahku terbata:

“O-ha-yo.”

Ejaannya seperti anak TK membaca buku cerita untuk pertama kali, lambat, tapi serius.

Dia menahan tawa. Matanya menyipit, tapi tidak mengejek.

Lalu menunjuk tulisan itu, dan menggambar lingkaran kedua, matahari lain, lebih besar dari yang pertama.

Aku mengeluarkan kertas bon dari saku celemek.

Lalu menulis balik dengan pulpen kasir yang tintanya kadang mogok:

Selamat pagi
sama artinya, tapi versi... tropis.

Dia membaca pelan, seperti aku tadi.

“Se… la… ma… pagi?”

Aku mengangguk.

Dia menyebutnya lagi, kali ini lebih cepat, lalu berkata:

“Bagus.”

Aku tidak yakin apakah dia benar-benar paham. Tapi senyum itu cukup.

Dan senyum itu... lebih hangat dari dua matahari kecil di kertas tadi.

Malam itu, kami tidak berbicara lebih banyak.

Tapi kata-kata di antara kami tidak berhenti di kasir.

Itu hanya awal.

Sejak malam itu, pertukaran “kertas bahasa” jadi kebiasaan kecil kami.

Satu kata setiap malam.

Kadang ditulis di belakang struk belanja.

Kadang di sobekan tisu yang dilipat dua.

Kadang di kertas pembungkus onigiri, bekas noda saus masih membekas samar di sudutnya.

Tidak ada sistem. Tidak ada aturan.

Tapi entah bagaimana, itu bekerja.

Aku menulis satu kata Indonesia. Dia membalas dengan satu kata Jepang.

Dua bahasa yang berbeda akar, tapi tumbuh bersama di meja kasir dan bangku konbini.

Disiram senyum, diterangi neon.

***

Suatu malam:

Sakura:
「いただきます」 (Itadakimasu)
✍️ (gambar sumpit dan mangkuk nasi)

Aku:
“Makan dulu, ya.”

Sakura:
Miringkan kepala. “Makan dulu ya... polite?”

Aku:
Tertawa. “Yah... tergantung nada suara dan siapa yang ngajak.”

Sakura:
Mengerutkan dahi, lalu menulis:
“Indonesian... complicated.”

Aku:
Mengangguk sambil terkekeh. “You have no idea.”

Di malam lain, dia menulis “mendung”. Aku menggambarkan awan dengan hujan gerimis dan menulis di sampingnya:

Kalau mendung, bawa hati-hati.
Dia membaca pelan, lalu menambahkan:
“Kalau hujan, payung hati?”
Lalu menggambar payung kecil dengan setetes hati di atasnya.

Kami tertawa.

Kadang dia menggambar ayam di sebelah tulisan “nasi goreng”.

Kadang aku menambahkan wajah tersenyum di atas kata “senyum”.

Kadang, aku cuma menulis:

Kata hari ini: capek.

Dan dia akan membalas dengan:

「がんばって」 (Ganbatte)
(gambar boneka dengan tangan patah tapi senyum lebar)

***

Suatu malam yang dingin, dia menulis:

「さむい」 (Samui) , dingin

Aku membalas dengan:

Hangatkanlah dirimu dengan nasi goreng.

Dia membaca perlahan, tersenyum, dan menulis di bawahnya:

“Nasi goreng wa mahou?”

Aku menulis:

“Ya. Magic rice.”

Kami tidak pernah membahas masa lalu. Tidak pernah menyinggung soal keluarga, kuliah, atau masa depan.

Tidak ada pertanyaan tentang mengapa kami berdua selalu ada di konbini jam satu dini hari.

Kami hanya hadir. Dan berbicara dalam bahasa yang kami bentuk sendiri.

Lucu, ya?

Terkadang, dua orang bisa merasa dekat hanya karena saling mengajarkan kata-kata yang tak pernah diajarkan di kelas.

Dan di sela-sela ejaan salah, tawa pelan, dan gambar ayam...
 

ku mulai merasa seperti bukan orang asing lagi.

***

Kami tidak pernah bicara hal besar.

Tidak pernah saling bertanya soal keluarga.

Tidak pernah menyentuh kata “kenapa kamu di sini?”

Tidak pernah mengarah ke “nanti mau jadi apa?” atau “kenapa kamu terlihat sedih malam itu?”

Tapi setiap kata yang kuterima darinya, ditulis dengan pena hitam murah atau pulpen kasir yang tintanya bocor, selalu terasa penuh niat.

Bukan sekadar belajar bahasa.

Tapi saling menyelamatkan diam-diam.

Kadang kupikir: kenapa kami repot-repot?

Kenapa tidak langsung bicara saja, seperti orang biasa?

Tapi mungkin justru di situlah letaknya:

Kami bukan “orang biasa” bagi satu sama lain.

Kami adalah tempat yang aman untuk berbicara dengan cara yang tidak biasa.

Satu kata.

Satu gambar.

Satu senyum.

Itu saja sudah cukup untuk bilang,

Aku di sini.

Aku mendengarkan.

Aku senang kamu datang.

Dan untuk pertama kalinya sejak aku pindah ke kota ini, sejak aku hidup di antara gedung tinggi dan jam kerja panjang dan hujan yang datang tanpa aba-aba, aku bangun setiap pagi dengan satu tujuan yang tidak kusangka:

Bukan uang. Bukan kelulusan. Bukan rencana jangka panjang.

Tapi…

Belajar satu kata.

Bertemu dia.

Mungkin... membuatnya tertawa.

Kadang cinta tak tumbuh dari pengakuan besar, tapi dari kertas sobek yang ditulisi satu kata sederhana, dan gambar matahari bundar kecil di sudut kanan atasnya.

Bahasa kami mungkin terdengar aneh bagi orang lain.

Tapi bagi kami, itu cukup.

Itu… bahasa kami sendiri.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GEANDRA
378      299     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
No Life, No Love
895      734     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Lantunan Ayat Cinta Azra
786      521     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Sweet Like Bubble Gum
962      695     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Suara yang Tak Pernah Didengar
292      171     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Let Me be a Star for You During the Day
925      476     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
A Missing Piece of Harmony
219      173     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Warisan Tak Ternilai
322      97     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?