Pagi itu aku datang lebih awal dari biasanya.
Bukan karena semangat kerja yang tiba-tiba meledak, tapi karena satu alasan sederhana: ingin tahu apakah dia benar-benar akan ada di sana lagi.
Langkah kakiku pelan tapi penuh maksud saat memasuki taman yang mulai diselimuti sinar matahari pagi.
Daun merah-oranye berguguran dengan anggun, menari perlahan tertiup angin yang sejuk.
Pohon maple tua itu berdiri kokoh di tengah jalur setapak, seolah menjadi saksi diam dari setiap cerita yang terukir di sini.
Di bawah naungannya, aku melihat sosok yang sudah kukenal, namanya dalam pikiranku sudah tertulis: Sakura.
Dia duduk dengan postur sempurna, seperti patung hidup yang dibuat untuk melukis keindahan dunia.
Buku sketsa terbuka di pangkuannya, pensil di tangan kanan yang bergerak halus, menorehkan garis demi garis dengan penuh fokus.
Wajahnya tenang, ekspresinya dalam dan seolah melayang jauh, tapi sekali-sekali matanya menatap halaman yang dibuatnya dengan penuh cinta.
Ketika aku muncul di dekat jalur, dia menoleh sekilas.
Senyum tipis itu muncul lagi, seperti rahasia kecil yang hanya aku yang tahu.
Aku berdiri agak jauh, pura-pura menyapu dengan santai, tapi jantungku berdetak kencang.
Tangan yang memegang sapu bergetar sedikit, langkahku jadi canggung, seperti anak kelas dua yang baru saja dipuji oleh kakak kelasnya karena meminjam penghapus.
Matahari pagi menyinari daun-daun basah embun, dan dunia terasa sepi tapi penuh harapan.
Aku tahu hari ini akan berbeda.
Aku berdiri di sana, di samping jalur setapak, mencoba tampak seperti bagian dari taman.
Tapi jujur saja, aku merasa seperti penyamun yang ketahuan, padahal tidak melakukan apa-apa selain membawa sapu bambu yang terlalu besar untuk tubuhku.
Tanganku yang menggenggam gagang sapu mulai bergetar.
Tidak karena dingin, tapi karena gugup yang tiba-tiba menyeruak tanpa diundang.
Aku ingin melangkah, tapi kakiku terasa berat seperti tertambat di tanah oleh ribuan daun kering yang menunggu untuk disapu.
Pikiran berputar liar di kepalaku.
Apakah aku harus menyapanya?
Apa yang akan aku katakan?
Atau cukup diam dan berharap dia mengajak bicara lebih dulu?
Suara daun bergesekan di bawah sapu yang kuayunkan kecil-kecil terasa terlalu keras di telingaku.
Seperti aku mengganggu simfoni alam yang selama ini ia ciptakan dengan pensilnya.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Hei, Arya,” kataku dalam hati, “berani sedikit, tidak apa-apa.”
Tapi saat aku mulai melangkah mendekat, sapu di tanganku kembali bergetar.
Seperti ada magnet yang menolak untuk melewati jarak yang terasa begitu rapuh di antara kami.
Aku menatapnya lagi.
Dia sedang menatap halaman sketsanya, tampak begitu tenang dan rapi.
Sedangkan aku, hanya bisa berdiri kaku dengan sapu yang bergetar,bagaimana aku bisa dianggap lebih dari sekadar pengganggu kecil?
Tapi setidaknya hari ini, aku di sini.
Di sampingnya.
Di taman yang sama.
Dan itu sudah jadi kemenangan kecilku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berusaha membuka mulut.
“Beautiful,” kataku pelan, menunjuk ke arah sketsa bunga yang sedang digambar Sakura.
Kata itu keluar seadanya, tanpa yakin apakah benar atau tidak.
Dia menoleh padaku, matanya yang tenang menyambut dengan senyum kecil.
Aku merasa gugup, tapi berusaha mengulang kata-kata yang kutahu.
“Flower. Han... hana? Bunga,” aku menunjuk ke mataku lalu ke sketsa, mencoba menjelaskan maksudku dengan bahasa isyarat ala kadarnya.
Sakura memiringkan kepala, lalu tertawa pelan, suara itu lembut dan jernih, seperti aliran air di sungai kecil.
“Ajisai,” katanya, suaranya seperti bisikan angin musim semi.
“Ajisai?” aku mengulang, lidahku terasa kaku dan canggung mencoba mengucapkannya.
“Ah... jisai?”
Dia mengangguk sambil tersenyum, seolah memberiku izin untuk belajar pelan-pelan.
Lalu dia menunjuk bunga di semak di dekat bangku, bunga yang sama dengan yang dia gambar.
Aku menatap bunga itu, yang memang cantik dengan kelopak-kelopak kecil berwarna lembut.
“Indonesia... bunga... eh, mungkin... tidak ada ini?” aku coba menjelaskan, merasa sedikit malu.
Dia mengangguk lagi, kemudian berbisik, “Rain... flower.”
“Rain flower?” aku mengulang, lalu menunjuk ke langit, membuat gerakan hujan turun dengan jari-jari.
Dia tertawa kecil, ikut membuat gerakan yang sama, dan tiba-tiba kami tertawa bersama.
Tawa kami bukan karena lelucon lucu.
Tapi karena kami sedang mencoba.
Berusaha memahami dunia yang satu sama lain jalani dengan cara yang berbeda.
Di antara tawa dan kata-kata yang canggung, ada kehangatan yang tumbuh perlahan, seperti bunga yang mulai mekar di pagi hari.
Setelah tawa kami mereda, suasana menjadi lebih tenang.
Kami tidak perlu kata-kata lagi.
Hanya bahasa tubuh yang berbicara.
Aku menunjuk seekor burung kecil yang meloncat-loncat di antara dedaunan yang berguguran.
Sakura menoleh, mengikuti arah jari yang menunjuk. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Kami diam sejenak, menyaksikan burung itu bermain di udara yang sejuk.
Seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk kami berdua.
Lalu kami saling melirik, dan dengan ekspresi yang sama-sama mengerti, kami mengangguk perlahan.
“Ya. Burung,” pikirku.
Dia membalas dengan senyum tipis.
Tidak ada percakapan panjang, tidak ada kata-kata berlebihan.
Hanya perasaan sederhana yang mengalir, menyambungkan dua jiwa yang berbeda bahasa namun sama-sama ingin dimengerti.
Taman pagi itu terasa hidup, namun sunyi dengan cara yang nyaman.
Sakura kembali menunduk pada sketsanya, aku kembali dengan sapuku, tapi kali ini langkahku lebih ringan.
Ada sesuatu yang tumbuh di antara kami, seperti bibit kecil yang siap mekar pada waktu yang tepat.
Saat matahari mulai menurun, mengubah langit menjadi kanvas jingga lembut, Sakura perlahan menutup bukunya.
Dia berdiri dengan anggun, mengangkat kepala, dan menatapku.
Senyumnya kali ini lebih hangat, seolah menyimpan janji tak terucap.
“Bye-bye,” katanya pelan, suaranya ringan namun jelas.
Aku mengangkat tangan, membalas dengan sederhana, “See you.”
Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi cahaya senja.
Langkahnya tenang, hampir seperti tarian alam yang menyatu dengan bisikan angin.
Ketika dia menghilang dari pandanganku, aku melihat sesuatu di bangku tempat dia duduk.
Satu lembar kertas tersisa, sketsa bunga yang belum selesai.
Garis-garisnya tegas dan rapi, namun masih menyimpan ruang kosong, seperti cerita yang belum selesai.
Aku menatap kertas itu lama.
Perasaan hangat menyelimuti dada, campuran antara kagum, penasaran, dan sedikit kerinduan yang baru tumbuh.
Tanpa sadar, aku meraih dan melipatnya dengan perlahan.
Kertas itu kugenggam erat, lalu kusimpan di saku dalam seragam yang masih bau pupuk, sebuah harta kecil dari hari yang sederhana tapi berarti.
Di taman yang luas dan dunia yang terasa asing, aku menemukan sesuatu yang membuatku merasa tidak sendirian.
Sesuatu yang kecil, tapi sangat berharga.