Hari ini aku datang lima belas menit lebih awal.
Secara teori, alasannya: profesionalisme. Disiplin. Jiwa kerja keras ala Jepang yang katanya harus ditiru oleh semua pendatang.
Secara praktik… mungkin karena aku ingin tahu apakah gadis itu akan datang lagi.
Aku tidak mengakuinya secara langsung, tentu. Tapi fakta bahwa aku bahkan menyetel alarm dua kali, dan tidur dengan sepatu kerja sudah di sebelah kasur, bisa dianggap sebagai bentuk kepanikan terselubung.
Seragamku masih yang sama. Bau? Masih.
Tapi hari ini aku melakukan sesuatu yang rada nekat: menyemprotkan parfum sachet dari minimarket Asia yang kubawa dari Indonesia. Wanginya… unik. Seperti permen mint yang jatuh ke dalam kantong beras dan dibiarkan fermentasi selama seminggu. Aku tak yakin lebih baik dari bau pupuk, tapi setidaknya kini aku membingungkan.
Aku sempat bercermin sebelum keluar. Topiku sedikit miring. Celana tetap kebesaran. Tapi entah kenapa, di dalam cermin, aku tidak terlihat sekacau biasanya.
Mungkin karena ada harapan.
Atau mungkin karena aku menaruh bedak bayi di bagian dalam topi, dan itu memberi efek ilusi stabilitas hidup.
Sesampainya di taman, udara pagi terasa lebih segar dari kemarin. Mungkin karena aku datang lebih pagi. Atau mungkin karena pikiranku sibuk.
Yamada-san muncul dari balik pohon seperti biasa, dengan langkah datar dan nada suara yang bisa bikin hujan tertidur.
“Jalur tengah dan bangku,” katanya.
Lalu menghilang. Benar-benar. Seperti karakter latar yang muncul lima detik hanya untuk memberikan quest dan kemudian kembali ke dimensi naratifnya sendiri.
Aku berdiri di tengah taman, menatap jalan setapak yang belum dibersihkan.
Langkah kakiku langsung tahu ke mana harus pergi. Bukan karena daun-daunnya paling kotor, tapi karena... ya, di sanalah tempatnya.
Tempat pohon maple berdiri dengan angkuhnya.
Tempat bangku kayu yang sedikit miring.
Tempat kemarin... aku merasa seperti bukan hanya pembersih latar, tapi seseorang yang sempat berbagi satu momen kecil dengan seseorang yang tidak tahu namaku.
Aku melangkah dengan hati-hati. Tapi juga dengan kecepatan yang tidak bisa disangkal sebagai... bersemangat.
Dan jauh di ujung sana, sebelum aku sempat berpikir terlalu keras soal niatku sendiri, aku melihatnya.
Dia ada.
Duduk di bangku yang sama, di bawah naungan pohon maple yang seolah memang sengaja menyimpan warna terbaiknya hanya untuk latar belakang gadis ini.
Seragam sekolahnya rapi, seperti baru disetrika langsung oleh awan. Rambutnya dikuncir setengah, jatuh ke punggung seperti pita gelap yang enggan terikat penuh.
Ia duduk tenang, membungkuk sedikit ke depan. Buku sketsanya terbuka. Pensil mekanik di tangan kanannya menari pelan. Seperti angin yang hanya menyentuh satu daun di pohon, dan bukan yang lain.
Hari ini ia menggambar bunga putih kecil yang tumbuh dari sela-sela batu.
Aku tidak tahu nama bunga itu. Tapi bentuknya tampak rapuh.
Seolah hanya bisa hidup kalau tidak dilihat langsung.
Dan di tangannya, bunga itu berubah jadi garis-garis halus, lembut, nyaris tak terlihat, tapi penuh maksud.
Ada yang sangat kontras antara dirinya dan taman ini.
Taman ini ramai, meski dalam bentuk sunyi. Ada suara anak kecil di kejauhan. Ada ranting jatuh. Ada burung lewat, ada daun gugur. Tapi dia... seperti satu halaman yang lupa dibalik oleh angin. Tetap terbuka, diam, tapi hidup.
Aku berdiri agak jauh. Tidak berani terlalu dekat.
Sapu bambu ada di tanganku, tapi jujur saja, aku tidak tahu apakah aku akan menyapu atau malah berdiri seperti penunggu bangku.
Ada detak halus dalam dadaku. Seperti bunyi jam yang tidak memaksa, tapi selalu terdengar.
Bukan karena aku jatuh cinta atau semacamnya, aku bahkan belum tahu nama lengkapnya. Tapi ada sesuatu yang berubah.
Sesuatu di cara ia memegang pensil.
Sesuatu di cara matanya tidak pernah melihat langsung ke bunga, tapi selalu kembali padanya. Berkali-kali. Seperti ia menggambar bukan bentuk, tapi ingatan.
Dan aku, yang di sini hanya sebagai penyapu magang dengan parfum gagal dan sepatu diskon, merasa seperti sedang berdiri di batas antara “orang biasa” dan “seseorang yang sedang mencoba mengerti dunia yang sangat sunyi.”
Aku mulai menyapu. Pelan.
Bukan karena ingin, tapi karena diam terlalu lama akan membuatku terlihat seperti stalker pasif-agresif.
Aku menyapu dengan irama teratur, mencoba menciptakan bunyi seret yang netral. Tidak mengganggu. Tidak terlalu sunyi. Tapi cukup jelas untuk bilang: “Aku ada di sini. Tapi aku tidak akan mengganggu.”
Tapi taman, seperti biasa, punya rencana sendiri.
Aku pikir aku sudah belajar dari kemarin.
Aku sudah bertekad, hari ini tidak akan ada kekacauan. Tidak ada daun yang beterbangan ke sketsa yang rapuh itu. Tidak ada sapu yang terlalu agresif. Tidak ada alasan untuk panik.
Tapi taman ini... punya rencana lain.
Sapu bambu yang kupakai seolah punya nyawa sendiri. Ketika aku menggerakkannya, angin kecil ikut terbangun, menari di antara dedaunan yang sudah menunggu untuk terbang bebas.
Aku menyapu pelan, mencoba meredam sapu itu. Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan saat tiga helai daun kering itu, entah bagaimana terangkat, berputar lembut seperti penari balet yang malas, dan kemudian mendarat dengan sempurna tepat di tengah-tengah halaman sketsa Sakura.
Detik itu terasa melambat.
Aku melihat daun-daun itu berputar perlahan, jatuh, dan menodai karya yang sangat rapuh itu. Dalam kepala, aku sudah mulai merangkai permintaan maaf yang tak berujung.
Sakura mengangkat kepala, menoleh ke arahku.
Matanya tetap tenang, tapi kini ada sedikit ketidaksabaran yang sulit disembunyikan. Tatapan itu bukan marah, tapi jelas berkata: “Kenapa kamu?”
Aku panik.
Kalimat permintaan maafku berputar tidak karuan: “A-ano! Gomenasai! I’m so sorry! Again! I didn’t mean to… uh, I just…”
Tanganku mulai bergerak liar, menunjuk sapu, daun, dan angin. Lalu membuat gerakan spiral ke atas, seolah aku sedang mencoba menjelaskan rumus alam semesta yang tiba-tiba melibatkan dedaunan dan pensil.
Satu jari kuangkat ke langit, tidak tahu kenapa.
Aku membuka tas pinggangku dengan tangan gemetar, mengaduk isi di dalamnya, dan akhirnya mengeluarkan sebuah tisu plastik yang sudah agak kusut.
Dengan hati-hati, aku mengulurkan tisu itu ke arahnya seperti menawarkan perdamaian kepada dewi kesabaran.
Sakura menatapku, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, dia mengangkat tangan pelan dan menerima tisu itu dengan dua jari. Gerakannya lembut dan presisi, seperti tarian rahasia yang hanya dia dan dunia tahu.
Ia menunduk dan mengusap halaman yang ternoda dengan tisu, perlahan, hati-hati, menjaga setiap goresan sketsa tetap utuh.
Aku berdiri membeku, merasa seperti figuran yang salah tempat dalam sebuah drama yang lebih besar dari yang ku mengerti.
Ketika ia menoleh ke arahku dan tersenyum tipis, hatiku seperti disambar petir kecil.
Senyumnya bukan senyum maaf.
Bukan senyum sopan.
Tapi senyum yang tulus dan diam-diam, seperti rahasia yang baru saja aku dipercaya untuk jaga.
Tubuhku tiba-tiba kaku, dan pikiranku melesat ke ribuan tempat sekaligus, kecuali satu hal yang sangat kuinginkan: tetap tenang.
“Tisu! Tisu!” batinku panik.
Aku membuka tas pinggang dengan tangan yang gemetar seperti daun yang tadi beterbangan. Jari-jariku sibuk mengaduk-ngaduk isi tas yang berantakan, kunci, pulpen, permen karet setengah kunyah, dan akhirnya aku menemukan tisu plastik yang sudah agak kusut.
Dengan hati-hati, aku mengulurkan tisu itu ke arahnya, berharap dia akan menerimanya seperti penawar masalah besar yang aku ciptakan sendiri.
Tapi, karena otakku yang tak kunjung berhenti berpikir, aku tanpa sadar mulai menunjuk-nunjuk ke sapu, ke daun, lalu ke arah langit, seolah-olah aku sedang memberikan kuliah singkat tentang bagaimana angin dan hukum alam berkonspirasi melawan kami.
Jari telunjuk kanan kuangkat tinggi ke langit biru yang bersih, dan aku tiba-tiba merasa seperti ilmuwan gila yang baru saja menemukan teori gravitasi dedaunan.
Aku sadar dan tertawa kecil di dalam, tapi terlalu panik untuk berhenti.
Sakura menatapku. Matanya yang tenang seolah mengamati pemandangan aneh di depannya: seorang pria dengan tangan sibuk membuat spiral udara dan jari menunjuk langit.
Dia diam saja, dan aku merasa seolah-olah aku menjadi tontonan gratis yang sangat memalukan.
Lalu, secara perlahan, Sakura mengangkat tangan, dan dengan dua jari yang anggun, menerima tisu yang kusodorkan.
Senyum tipisnya kembali muncul, kali ini sedikit lebih hangat, seolah berkata, “Aku tahu kamu panik, dan itu lucu.”
Aku merasa dada ini mengembang, tapi juga sesak.
Aku membungkuk cepat, mengucapkan serangkaian kata maaf dalam bahasa Jepang dan Inggris yang berantakan: “Gomen, gomen, gomen… I’m so sorry, really…”
Dia mengangguk kecil, dan aku tahu, meski kata-kata kami tak banyak, ada komunikasi halus di antara kami yang lebih kuat dari ribuan kalimat.
Aku mundur perlahan, kembali ke sapu bambu, dan mulai menyapu jalur yang benar-benar berlawanan dengan arahnya.
Tapi saat aku melirik ke arah Sakura, dia masih fokus menggambar, masih menyimpan senyum kecil yang seakan jadi hadiah rahasia di pagi yang dingin ini.
Aku duduk di bangku yang berjarak beberapa meter, tetap mengamati Sakura dari kejauhan.
Tangan kanannya terus bergerak, menorehkan garis demi garis di atas halaman putih itu.
Senyumnya kali ini bukan sekadar tipis, ada sesuatu yang lebih dalam, seolah ia membuka sedikit tirai perasaannya yang selama ini tersembunyi.
Hatiku berdegup tidak beraturan.
Bukan karena aku jatuh cinta, setidaknya aku belum berani mengakuinya. Tapi karena senyum itu… senyum yang tidak dibuat-buat.
Senyum yang datang dari tempat yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat.
Rasanya seperti mendapat hadiah kecil dari dunia yang selama ini terasa dingin dan asing.
Seolah aku, dengan segala kekacauan dan kegugupanku, akhirnya dianggap ada.
Aku ingin mengucapkan sesuatu.
Tapi kata-kata terasa berat dan tidak cukup
Jadi aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil, pelan.
Seolah berkata, “Terima kasih… aku lihat kamu. Aku juga ada.”
Angin berhembus lembut, membawa aroma daun dan langit pagi.
Taman itu tetap seperti biasa, penuh dengan kehidupan yang berjalan tanpa henti.
Tapi untuk sesaat, di antara kami yang diam, dunia terasa lebih hangat.
Lebih manusiawi.
Lebih berarti.
Aku tahu, ini baru permulaan.
Tapi hari ini, aku belajar sesuatu yang berharga: kadang, perhatian sekecil senyum bisa mengubah cara kita melihat dunia.
Aku menarik napas dalam-dalam, bangkit dari bangku, dan melanjutkan pekerjaanku.
Tapi kali ini, langkahku terasa berbeda.
Lebih ringan.