Aku keluar dari konbini setelah hampir dua jam pura-pura sibuk bertahan hidup tanpa bayar sewa. Udara malam tetap menusuk, tapi bento dari Kenji sedikit menghangatkan tubuh dan harga diri.
Langkahku pelan menyusuri trotoar. Di halte bus kecil, aku melihat sepasang anak muda, gadis bersandar di pundak pasangannya, mereka tertawa sambil makan onigiri dari kantong kertas. Momen kecil itu membuatku terlempar ke masa lalu.
Aku delapan belas tahun, duduk di meja makan rumah kami di Jakarta. Aroma nasi goreng memenuhi ruangan. Ibu menyiramkan susu kental manis, ayah membaca koran.
Aku mengeluh, “Kenapa kita sering makan nasi goreng?” Ibu tertawa, “Karena nasi goreng itu masakan andalan keluarga kita, Nak. Dari dulu sampai sekarang, resepnya turun-temurun.” Ayah hanya bergumam, “Kalau cuma nasi putih, gak enak dong.”
Kami tidak sempurna, makanan yang sering dimakan hanya demi mengganjal, tapi pagi itu kami bersama. Kini aku di seberang dunia, menatap orang asing makan onigiri yang mengingatkanku pada rumah, yang entah masih ada atau tidak.
Di halte, aku duduk sendiri, membuka aplikasi catatan di ponsel. Kupencet tombol + dan mulai mengetik:
Aku manusia dewasa yang kabur dari negara sendiri dengan alasan yang sulit dijelaskan tanpa terdengar bodoh. Kupikir Jepang akan menyembuhkan. Tapi aku malah terjebak, tak bisa kerja, tak bisa tidur, dan bersalah pada lalat yang melihatku tiap pagi. Kalau ini fase “pembentukan karakter,” tolong singkatkan.
Aku berhenti, menarik napas, lalu menulis kalimat terakhir: Tapi kalau besok aku masih bisa ketawa, berarti aku belum selesai.
Aku simpan catatan itu, lalu menatap langit malam Tokyo yang sibuk tapi kosong. Dari kejauhan, sirine melewati. Aku tertawa pelan. “Hebat juga, Arya. Sudah sejauh ini, dan kamu masih belum kabur balik ke bandara.”
Senyum itu bukan lega. Tapi sarkastik, tanda aku sadar hidup buruk, tapi aku masih bisa menertawainya.