Hari itu Ray demam.
Aku mengambil cuti dari kantor, menunda jadwal kelas menulis, dan memeluk tubuh mungil yang hangat itu seharian. Sambil menyuapi bubur, menyeka keringat di pelipisnya, dan membisikkan lagu pengantar tidur, aku menyadari satu hal yang selama ini mungkin terlewat:
Aku tidak pernah benar-benar berhenti menjadi versi terbaik diriku.
Meski sering merasa gagal. Meski lelah. Meski langkahku tak selalu cepat atau terarah. Tapi aku tetap berjalan. Tetap mencintai, merawat, dan tumbuh—pelan-pelan, dalam diam.
Sore harinya, saat Ray tertidur dengan napas yang mulai tenang, aku duduk sendiri di ruang tengah. Tak ada suara, hanya detak jam dinding dan secangkir teh yang mulai mendingin. Laptopku terbuka. Di sana, halaman kosong menunggu.
Biasanya, aku akan memaksakan ide, memancing kata-kata. Tapi hari itu aku hanya menulis satu kalimat:
“Hello, Me. (30).”
Kalimat itu menggema dalam dada. Mengendap, lalu perlahan membuka pintu-pintu yang sempat tertutup.
Usia 30 tahun ini dulu terasa asing.
Angka yang dulu kupikir akan penuh tekanan dan tuntutan. Tapi ternyata, justru di usia ini, aku merasa dilahirkan kembali—bukan sebagai versi yang sempurna, tapi sebagai perempuan yang utuh. Yang tak lagi mengukur hidup dengan patokan orang lain. Yang tak selalu punya semua jawaban, tapi kini berani bertanya tanpa merasa rendah diri.
Aku mulai membaca kembali naskah-naskahku yang belum selesai. Beberapa kubiarkan tetap setengah jalan—biarlah, mereka akan tumbuh bersamaku. Beberapa lainnya mulai kupoles ulang, kubagikan ke dunia, tak lagi ragu.
Lalu aku buka folder “Ray”.
Di sana ada cerpen-cerpen kecil yang dulu kutulis hanya untuk dibacakan sebelum tidur. Dongeng tentang gumuru, si dinosaurus pemalu, tentang cahaya kecil di ujung langit, tentang jam pasir di pelukan ibu.
Aku ingin menerbitkannya suatu hari nanti.
Untuk Ray.
Untuk semua anak yang ingin mendengar suara lembut dari ibunya sebelum tidur.
Untuk semua ibu yang diam-diam menyimpan mimpi dalam laci, menunggu waktu untuk membukanya kembali.
***
Beberapa hari lalu, aku menerima email lagi dari penerbit.
Naskahku akhirnya lolos.
Aku membacanya berulang-ulang. Deg-degan, senang, gugup, hampir tak percaya. Tapi juga… tenang. Karena ini bukan lagi tentang pencapaian. Ini tentang keberanian. Tentang satu langkah kecil yang terus kulanjutkan, bahkan saat tak ada yang melihat.
Dulu, aku pikir setelah menikah dan punya anak, hidup akan berjalan seperti peta: jelas, teratur, dan tinggal dijalani. Tapi ternyata hidup setelah pernikahan jauh dari kata rapi. Bukan hanya soal membesarkan anak, bayar tagihan, atau berbagi tugas rumah tangga.
Ada momen-momen di mana aku merasa hilang. Bukan karena aku tidak bahagia. Tapi karena aku lupa—siapa aku, apa yang kuinginkan, dan ke mana aku ingin pergi sebagai individu. Bukan hanya sebagai ibu. Bukan hanya sebagai istri.
Dari situlah aku mulai bertanya ulang:
Apa kabar mimpi-mimpi kami yang dulu?
Apa kabar aku yang pernah punya hasrat besar sebelum semua ini?
Hidup bersama bukan cuma tentang membentuk tim pengasuhan yang solid. Bukan sekadar kerja sama tukeran tugas dan jagain anak bergiliran. Tapi tentang saling melihat dan menjaga masing-masing mimpi yang pernah kami bisikkan saat jatuh cinta dulu.
Aku dan Radit pun memulainya dari dua individu yang punya mimpi.
Kami pernah bercanda soal ingin jadi orang tua Suneo—mapan, punya banyak waktu, anak tercukupi, dan tetap punya senyum yang tenang karena nggak terus-terusan dihantui tagihan. Tapi seiring waktu, kami sadar...
Yang paling kami butuhkan bukan hidup mewah, tapi hati yang tumbuh.
Kami ingin menjadi pasangan yang saling dukung untuk berkembang, bukan hanya bertahan hidup bersama.
Dan itu tidak mudah.
Tiap hari kami belajar ulang cara mencintai, memahami ulang makna membangun rumah tangga.
Di tengah semua itu, aku mulai menyadari satu hal:
Menjadi istri dan ibu bukan garis akhir.
Itu bagian dari hidupku, iya. Tapi bukan satu-satunya.
Aku juga ingin tumbuh. Butuh ruang untuk berkembang. Untuk merasa bangga atas diriku sendiri, bukan hanya karena berhasil membuat anak tertawa atau menyelesaikan urusan rumah.
Dan Radit mengerti itu.
Malam itu, aku duduk di sampingnya. Kami tidak banyak bicara. Tapi dalam diam, ada yang mengalir pelan—pengertian, penerimaan, dan rasa saling punya yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Aku menyandarkan kepala di pundaknya dan berbisik pelan, “Terima kasih.”
Radit menggenggam tanganku. Seperti biasa. Tak banyak kata. Tapi aku tahu, dia ada.
Hubungan ini pernah berada di titik rawan. Ada hari-hari penuh lelah dan salah paham. Ada malam-malam ketika kami saling menjauh, bukan karena tak cinta, tapi karena terlalu lelah menjadi kuat sendirian.
Tapi aku belajar…
Nggak semua yang jatuh harus selesai.
Kadang, jatuh itu cuma cara Allah mengajarkan cara bangun yang baru. Cara yang lebih pelan, lebih lembut, lebih sadar akan siapa yang berdiri di samping kita.
Dan hari ini?
Kami mulai lagi.
Lagi, dan lagi.
Bareng-bareng.
***
Ketika semua sudah tenang, aku shalat dengan air mata yang jatuh tanpa suara.
Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya mengerti.
Aku bilang pada Allah, lirih dalam sujud:
"Terima kasih karena Kau tidak meninggalkanku, bahkan saat aku kadang lupa mencari-Mu."
Aku tahu, semua kekuatan ini bukan datang dari diriku sendiri. Ada campur tangan-Nya di setiap langkah yang kugenggam erat, bahkan saat aku merasa tak mampu lagi berjalan.
***
Dan kalau kamu membaca ini, siapa pun kamu, di usia berapa pun kamu sekarang berada…
Aku ingin bilang:
Hello, You.
Mungkin hidupmu tidak selalu teratur.
Mungkin kamu pernah bingung, gagal, kecewa. Pernah berusaha sekuat tenaga tapi hasilnya nihil. Pernah merasa dunia terus berjalan sementara kamu tertinggal di tempat.
Mungkin kamu pernah bertanya dalam hati:
"Sampai kapan aku begini?"
"Apa aku akan selalu merasa tidak cukup?"
Tapi dengar ini baik-baik:
Selama kamu masih berani jujur pada dirimu sendiri,
Selama kamu masih mau mencoba—meski pelan, meski gemetar, meski sesekali ingin menyerah—Kamu sedang tumbuh.
Dan tumbuh itu nggak selalu indah.
Kadang sakit. Kadang bikin nangis di kamar mandi, sembunyi, atau pura-pura kuat di depan orang lain.
Tapi itu bukan tanda kegagalan.
Itu justru tanda bahwa kamu sedang bergerak.
Kamu sedang menjadi.
Menjadi versi dirimu yang lebih tangguh, lebih sadar, lebih utuh.
Dan mungkin, seperti aku…
Kamu sedang menuju versi terbaikmu.
Versi yang lebih lembut pada diri sendiri.
Versi yang lebih berani untuk bilang "nggak apa-apa belum sampai"
Versi yang tahu: bahagia bukan tujuan akhir—tapi rasa yang kita temukan, di tengah jalan, saat kita tetap memilih berjalan.
Jadi pelan-pelan saja.
Jangan buru-buru.
Tarik napas. Tatap dirimu di cermin. Dan bilang pelan-pelan:
"Hello, Me."
"Aku bangga padamu."