Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Aku duduk termenung di meja kerja. Ingatan tentang kegagalan demi kegagalan terus berputar di kepalaku. Setiap kali, harapan sempat membara—lalu padam begitu saja.

Orang tuaku selalu berharap aku, anak sulung mereka, bisa menjadi PNS. Katanya, itu lambang kestabilan dan kebanggaan keluarga. Jalan hidup yang aman dan terhormat. Ibu sering bilang, “Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin. Kami semua bangga.”

Tapi kenyataan berkata lain.

Perjalananku tidak mudah. Setelah lulus sarjana, aku bertekad melanjutkan kuliah S2. Tapi, harapan akan beasiswa itu gugur—seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar. Keuangan keluarga kami yang pas-pasan membuatku harus berhenti di tengah jalan.

Setiap kali gagal, hatiku hancur. “Apa aku memang kurang mampu?” bisikku dalam diam.

Terlalu sering aku merasa seperti sedang berlari dalam lorong gelap tanpa ujung. Aku masih terjebak dalam lingkaran yang sama. Bahkan sekarang aku merasa hampa.

“Kenapa aku gagal terus? Apa yang salah dengan aku?” pikirku, menatap langit-langit ruangan yang mulai memburam.

Sedikit demi sedikit, rasa percaya diriku terkikis. Aku mulai meragukan kemampuanku sendiri, bahkan identitasku. 

Aku merasa terjebak dalam peran: istri yang seharusnya kuat dan ibu yang seharusnya tegar.

Dalam diam, aku rapuh dan tersesat.

Aku memejamkan mata, berusaha mencari secercah harapan. Tapi kegagalan demi kegagalan membuat hatiku nyaris beku.

“Aku ingin bangkit, tapi aku takut jatuh lagi,” gumamku lirih.

Di tengah keheningan rumah, aku tahu satu hal: aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menemukan jalan baru. Atau setidaknya… mulai dari titik yang baru.

Langkahku pelan menyusuri lorong rumah menuju kamar. Anak dan suamiku sudah terlelap. Rumah sunyi. Tapi pikiranku justru semakin bising. Aku membuka laci meja rias, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Pensil alis, hand cream, charger—semuanya terasa biasa saja. Sampai mataku menangkap sebuah buku lusuh dengan sampul biru muda, ujung-ujungnya menguning.

Jurnal lamaku.

Aku memegangnya perlahan, seperti sedang menyentuh bagian dari diriku yang sudah lama hilang. Jemariku membuka halaman pertama. Tulisan tangan remaja dengan tinta hitam memenuhi lembar demi lembar—penuh emosi, keluhan, mimpi, bahkan puisi-puisi pendek yang dulu tak pernah berani kutunjukkan pada siapa pun.

"Kalau aku gede nanti, aku pengin jadi penulis. Nulis cerita yang bisa bikin orang ketawa, senyum-senyum sendiri, atau ngerasa kayak lagi ngobrol sama temen. Seru aja kali ya, kalau tulisan kita bisa nemenin orang pas lagi capek atau sedih."

Aku membacanya pelan. Ada sesuatu yang hangat merambat di dadaku. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca.

Kapan terakhir kali aku merasa sepenuh itu saat menulis?

Kapan terakhir kali aku jujur pada diri sendiri tentang apa yang benar-benar aku cintai?

Hidup telah membawaku jauh dari semua itu. Aku terlalu sibuk mengejar validasi, memenuhi ekspektasi, dan membuktikan bahwa aku tidak sia-sia. Tapi justru di tengah semua itu, aku kehilangan diriku sendiri.

“Menulis,” bisikku lirih. Seolah sedang menyapa bagian dalam diriku yang lama tertidur. “Dulu kamu pernah jadi alasanku bangun pagi. Sekarang aku bahkan lupa rasanya punya mimpi.”

Beberapa tahun terakhir, hidupku hanya soal satu hal: bertahan.

Bertahan secara mental, bertahan secara finansial, bertahan biar tetap waras.

Dan itu… tidak pernah mudah.

Dulu aku punya banyak rencana.

Kupikir aku akan lanjut sekolah, jadi dosen, kerja sesuai passion, memberi manfaat buat banyak orang.

Semua mimpi itu pernah begitu hidup dalam jurnal dan rencana-rencana yang kususun rapih.

Tapi hidup mengambil arah yang berbeda.

Folder di laptop yang dulu menyimpan semua berkas pentingku—jurnal, rencana studi, pengajuan beasiswa S2—sekarang bahkan sudah tak ada.

Waktu berlalu begitu saja.

Dan aku sempat merasa... mungkin aku sudah terlalu jauh jatuh. Terlalu lama diam.

Tapi ternyata, meski aku sering lupa arah, Allah tidak pernah pergi.

Dia tetap menjagaku dalam diam—dalam bentuk keluarga, dalam waktu yang menyembuhkan, dan dalam hati akhirnya berani bilang:

"Aku mau mulai lagi. Pelan-pelan saja, tapi jangan lepas tanganku, ya Allah."

Aku mengusap halaman-halaman jurnal itu perlahan, seperti menyentuh kenangan masa kecil. Hangat—tapi juga menyakitkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku duduk dengan pena dan kertas kosong di hadapanku.

Bukan untuk laporan kerja, bukan untuk daftar belanja, bukan juga untuk catatan sekolah anak.

Tapi untuk diriku sendiri.

Karena mungkin, satu-satunya orang yang bisa benar-benar mengerti luka dan harapan ini… adalah aku yang masih bertahan sampai hari ini.

Di sela-sela halaman kosong, aku akhirnya menulis lagi.

"Halo, aku yang berusia tiga puluh tahun. Aku tahu kamu lelah. Tapi aku juga tahu kamu belum selesai. Mari kita mulai lagi—pelan-pelan, tapi sungguh-sungguh."

Kalimat itu kutulis pelan, dengan hati yang penuh perasaan yang belum selesai.

Bukan karena ingin mengulang masa lalu,

tapi karena aku percaya: mimpi yang tertunda, bukan berarti mati.

Aku masih di sini. Masih bernapas. Masih bersyukur.

Dan kalau boleh bermimpi lagi, aku ingin bukan hanya hidup... tapi menghidupkan.

Bismillah. Untuk langkah yang lebih berarti, untuk mimpi yang tak pernah benar-benar mati. Karena bersama Allah, tak ada kata 'terlambat'. Yang ada hanyalah: waktunya baru sekarang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Unframed
527      367     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Segitiga Sama Kaki
588      415     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
GEANDRA
401      316     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Surat yang Tak Kunjung Usai
657      443     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
63      55     1     
True Story
Fidelia
2071      892     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Finding the Star
1149      866     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Bisikan yang Hilang
63      57     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...