Beberapa hari setelah malam itu, mereka datang bersama ke rumah ibunya Nara—untuk menjemput anak laki-laki mereka yang tengah tertidur di atas kasur kecil, dikelilingi mainan dinosaurus dan buku cerita.
Nara berdiri di ambang pintu, memperhatikan Radit yang tengah membungkuk hati-hati, menyampirkan jaket kecil ke tubuh sang anak. Ia melakukannya pelan, seperti sedang menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga.
Tak ada kata-kata besar di antara mereka malam itu. Tidak ada kesepakatan tertulis, tidak pula janji muluk soal masa depan. Tapi langkah kecil itu terasa cukup. Setidaknya untuk hari ini.
Mereka memang belum tinggal serumah lagi. Terlalu banyak luka yang masih dibenahi. Nara pun masih rutin menjalani konseling, mencoba menyelami ulang luka-luka lama yang selama ini dipendam sendiri. Sementara Radit—ia mulai belajar hadir, meski belum sempurna, meski kadang masih kaku dan ragu.
Sidang perceraian yang sebelumnya sudah berjalan sampai setengah jalan, kini tak lagi dibicarakan. Nara telah mencabut gugatannya. Bukan karena rasa sakit itu hilang begitu saja, melainkan karena ia ingin mencoba—meskipun takut, meskipun belum utuh.
Dan Radit… tidak memaksanya untuk lebih cepat dari yang ia mampu.
“Dia makin banyak ngomong, ya?” Radit berkata pelan di dalam mobil, sambil melirik anak mereka yang kini tertidur di kursi belakang.
Nara mengangguk, tersenyum tipis. “Iya. Tadi sempat cerita panjang lebar soal dinosaurus yang bisa terbang tapi nggak punya sayap. Aku nggak ngerti juga, tapi dia kelihatan serius banget.”
Radit tertawa kecil, nadanya ringan, seperti sedang mencicipi rasa lama yang pernah ia rindukan.
“Makanya aku senang kamu datang,” ucap Nara, pelan. “Biar dia tahu, walau kita belum satu rumah… dia nggak pernah sendiri.”
Radit menoleh. Sorot matanya lembut, tapi penuh keraguan yang jujur. “Aku juga masih belajar, Na. Jadi ayah. Jadi... teman buat kamu. Kadang aku masih ngerasa nggak pantas.”
“Kita sama-sama belajar,” balas Nara. “Dan… mungkin itu cukup, untuk sekarang.”
Mobil melaju pelan di bawah cahaya lampu jalan. Di kursi belakang, anak mereka terlelap sambil memeluk boneka kecil.
Malam itu, tak ada akhir yang pasti. Tapi setidaknya, ada satu awal yang baru—meski pelan, meski masih ragu-ragu. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Tidak ada yang benar-benar mudah dari memulai ulang—terutama ketika cinta sudah pernah patah, dan kepercayaan pernah digulung gelombang kecewa. Tapi kadang, justru dari puing yang berserak itulah, dua orang bisa belajar menata ulang bukan hanya hubungan, tapi juga diri sendiri.
Nara tahu, selama ini ia terlalu sering berharap dimengerti tanpa bicara. Ia menunggu Radit membaca pikirannya, menebak lukanya, mengerti isyaratnya yang samar. Dan ketika itu tak terjadi, ia merasa dikhianati oleh harapannya sendiri.
Kini ia belajar—bahwa menjadi pasangan dewasa bukan tentang siapa yang paling kuat menahan, tapi siapa yang berani membuka luka. Ia belajar bahwa berbicara tak berarti lemah. Ia belajar untuk jujur, bahkan ketika itu berarti membiarkan seseorang melihat sisi dirinya yang rapuh.
"Aku pernah terlalu sering diam, berharap kamu tahu aku sedang butuh kamu. Tapi sekarang, aku belajar untuk bilang—'Aku capek, aku butuh bahu'—tanpa merasa bersalah," batin Nara sambil menatap cermin ruang tamu ibunya. "Aku belajar bahwa mencintai juga berarti meminta."
Sementara Radit—di kamarnya yang masih terasa sunyi, ia menatap foto anak mereka yang tertempel di pintu kulkas. Ia menyesal. Bukan hanya karena pergi, tapi karena merasa itu satu-satunya pilihan yang bisa ia ambil saat pikirannya gelap.
"Waktu itu, aku pikir diam itu tanggung jawab. Nggak ngeluh, nggak ngomel, nyari solusi sendiri. Tapi ternyata, yang kamu butuh bukan itu. Kamu cuma pengin aku duduk di sebelahmu, bilang 'kita cari jalan bareng'."
Radit belajar bahwa menjadi dewasa bukan berarti tak pernah takut, tapi tetap tinggal meski ketakutan itu hadir. Ia belajar bahwa hadir itu bukan soal frekuensi, tapi tentang kualitas.
Dan malam-malam itu, saat mereka masing-masing kembali ke rumah berbeda, mereka tahu: kali ini mereka sedang berjalan di arah yang sama—meski belum berdampingan sepenuhnya.
Cinta mereka tak lagi dibangun di atas harapan yang muluk. Tidak ada janji selamanya, tidak ada kalimat manis yang dibumbui bintang jatuh. Tapi ada ruang—untuk belajar, untuk gagal, untuk bangkit, dan untuk mencoba.
Dan kadang, itu cukup.
Karena cinta dewasa tahu bahwa ‘cukup’—jika dijaga bersama—bisa jadi awal dari ‘utuh’.