Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Sementara itu, di tempat berbeda, ada seseorang yang juga tengah mencoba memahami kekacauan dalam dirinya sendiri: Radit.

Aku duduk di sudut ranjang, lampu kamar mati. Hanya cahaya dari layar ponsel yang menyala sebentar-sebentar, lalu padam lagi. Sejak beberapa minggu lalu, aku tak lagi punya rutinitas. Waktu hanya lewat. Hari-hari terasa seperti air yang menggenang, tidak bergerak, membusuk dalam diam.

Pikiranku riuh. Tapi tubuhku diam. Rasanya seperti aku hidup tapi tidak hidup.

Kos ini sepi. Dan sunyi di tempat ini bukan seperti sunyi di rumah saat Nara membaca buku. Sunyi di sini... seperti suara kematian pelan-pelan.

Dulu, aku pikir aku butuh jarak. Butuh ruang. Butuh diam.

Ternyata... yang kudapat bukan ketenangan, tapi kekosongan.

Aku rindu suara Nara marah-marah karena aku lupa beli sabun. Aku rindu anakku merengek minta digendong padahal badanku udah lelah setengah mati. Aku rindu… diriku yang waktu itu. Yang walaupun berantakan, masih punya tempat pulang.

Aku buka galeri ponsel, scroll asal. Sampai kutemukan foto kecil... Nara duduk di lantai ruang tengah, rambutnya acak-acakan, pakai daster, dan anak kami tidur di pangkuannya. Aku yang ambil foto itu. Hari itu biasa saja. Tapi wajah Nara—ada damai yang tak kulihat di wajah siapa pun.

Tiba-tiba napasku berat. Dadaku nyeri. Bukan, bukan rindu yang manis. Tapi sesal yang pahit dan tajam.

Kenapa aku pergi?

Kenapa aku tidak melawan egoku lebih dulu?

Kenapa aku hanya mengingat Nara sebagai lawan debatku... bukan sebagai perempuan yang dulu kupeluk saat aku sedih, yang selalu menenangkan saat aku gagal, yang tak pernah meninggalkan, bahkan ketika aku mulai berubah?

Aku kira kalau kami pisah rumah, aku bisa bebas. Tapi yang kurasa justru aku semakin terkurung... oleh semua kemungkinan yang sudah aku bakar sendiri.

Ada banyak malam aku terbangun, bukan karena mimpi buruk, tapi karena tidak ada siapa-siapa. Bahkan suara anak kecil yang minta susu pun tak ada. Dan anehnya, aku kangen suara itu. Aku kangen kebisingan yang berarti. Bukan kesunyian yang membunuh perlahan.

Aku sadar sekarang... mungkin aku tak butuh rumah yang tenang.

Yang kubutuhkan... adalah rumah yang bersamaku berantakan, tapi tetap saling perbaiki.

Dan itu Nara.

Kalau waktu bisa diulang, aku ingin kembali ke hari pertama kami saling memilih. Tapi waktu tidak bisa diulang. Yang bisa kulakukan hanya menapak lagi, satu-satu... dengan semua luka yang sudah kubuat sendiri.

Jika nanti Nara sudah terlalu jauh, aku tak bisa marah. Tapi kalau masih ada sedikit celah... aku ingin pulang. Bukan untuk menyelamatkan diriku. Tapi untuk memperjuangkan lagi... cinta yang pernah begitu kami imani, meski sekarang tinggal puing-puingnya.

***

Beberapa hari kemudian, kami bertemu di sebuah kafe kecil dekat kantor pengadilan agama. Tempat itu netral, tak terlalu ramai, tapi juga tak terlalu sepi. Aku datang lebih dulu. Menunggu sambil memainkan sendok di gelas es kopi yang mulai mencair.

Ketika Nara datang, aku refleks berdiri. Dia tampak lelah, tapi tenang. Langkahnya masih sama—tegas tapi tidak tergesa.

"Hai," sapanya singkat.

"Hai," jawabku, pelan.

Kami duduk berhadapan. Meja kecil dan dua gelas kopi memisahkan kami seperti dua dunia yang sudah terlalu lama tak saling sapa. Sesaat tak ada yang bicara. Hanya suara sendok dan gelas dari meja lain yang menemani.

"Aku udah print dokumen buat sidang lanjutan minggu depan," kata Nara sambil membuka map berisi kertas-kertas yang terlalu formal untuk obrolan sesakit ini.

Aku mengangguk. “Iya... makasih udah urus.”

Hening lagi. Lalu aku menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari matanya, tapi dia hanya fokus ke berkas.

Aku gelagapan. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, ingin melompat tapi takut ditolak tanah. “Nara…”

Dia menoleh. Tatapannya lurus, bukan marah, tapi dingin. Seperti sudah terlalu sering kecewa sampai tidak tahu harus berharap atau tidak.

“Aku… boleh nggak, hari ini jangan bahas itu dulu?”

Keningnya berkerut. “Terus?”

“Aku cuma… pengin ngobrol. Bentar aja. Tentang kita. Atau tentang apa pun, asal bukan berkas sidang.”

Dia diam. Lama.

“Aku cuma… pengin ngobrol. Nggak lama. Tentang kita... atau apa aja. Asal jangan soal sidang.”

Kalimat itu menggantung. Suara di sekitarku hilang begitu saja. Nara tidak langsung menanggapi. Matanya menatapku, ragu. Penuh tanya.

Lalu, aku memberanikan diri menambahkan, lebih pelan, “Kamu masih suka roti bakar keju dari warung dekat taman?”

Keningnya berkerut. “Itu... yang dekat taman hiburan?”

Aku mengangguk. “Iya. Tempat yang pernah kamu bilang pengin dikunjungi malam-malam, tapi nggak pernah jadi.”

Aku tersenyum, kecut. “Aku tahu ini nggak penting. Tapi entah kenapa, hari ini aku keinget tempat itu.”

Dia terdiam. Masih menatapku. Seperti berusaha menebak maksud di balik ajakanku.

“Aku nggak maksa. Nggak ada niat aneh-aneh,” ucapku buru-buru. “Aku cuma pengin duduk sebentar. Makan roti bakar.”

Lama ia diam. Tapi akhirnya ia mengangguk. Pelan. Ragu. Tapi tetap mengangguk.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, harapan kecil itu muncul. Tipis, tapi nyata.

***

Kami duduk di bangku panjang kayu yang sedikit miring. Roti bakar keju datang di piring seng kecil yang berisik kalau sendok menyentuh permukaannya. Tempat itu belum banyak berubah. Masih dengan lampu kuning temaram dan suara pengamen dari kejauhan. Rasanya seperti potongan masa lalu yang terselip di malam ini.

Nara menggigit roti bakarnya perlahan. Tangannya meremas tisu, mungkin karena canggung. Tapi ia tidak pergi. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku sekarang.

“Masih enak?” tanyaku, pura-pura santai.

Dia mengangguk. “Kayak dulu.”

Aku mengangguk juga, padahal dadaku penuh rasa. Kayak dulu. Kalimat itu membuat sesuatu di dalamku bergeser. Seolah ada bagian yang selama ini terkunci, mulai membuka sedikit.

Kami tidak banyak bicara. Tapi diamnya tidak lagi membunuh. Diamnya... seperti jeda antara satu nada dan nada berikutnya.

Setelah selesai, aku berdiri, ragu sejenak, lalu menunjuk ke arah taman hiburan di seberang jalan. “Kamu masih kuat jalan sebentar?”

Nara menyipitkan mata, curiga. “Mau ke mana lagi?”

Aku mengangkat bahu. “Iseng aja. Nggak ada rencana. Aku cuma ingat kamu dulu pernah bilang, pengin naik bianglala malam-malam, tapi selalu batal.”

Dia terkekeh kecil. “Itu waktu dulu, Dit.”

“Dan sekarang... kita udah terlalu tua buat itu?”

Dia menatapku. Lalu menggeleng pelan. “Nggak. Mungkin justru kita terlalu tua untuk nggak melakukannya.”

Tanpa banyak kata, kami menyeberang.

Taman hiburan itu kecil, lebih banyak lampu warna-warni daripada pengunjung. Tapi tetap terasa hidup. Ada anak-anak berlarian, musik dari komidi putar, dan aroma jagung bakar bercampur tanah malam yang lembap.

Kami tidak langsung naik apa pun. Hanya berjalan, melihat-lihat. Tangan kami tidak bersentuhan, tapi jaraknya tak jauh.

Awalnya canggung. Tapi perlahan... semua mengalir.

“Lihat, itu lempar bola buat dapetin boneka,” ucapku, menunjuk.

“Kayak yang dulu kamu coba dan gagal tiga kali?”

Aku tertawa kecil. “Nanti aku coba lagi.”

“Kamu pasti tetap gagal.”

“Kalau aku berhasil, kamu harus kasih aku... satu senyum tulus.”

Dia pura-pura mendesah. Tapi senyumnya muncul juga, walau cuma sebentar. Dan aku merasa, malam ini... aku sedang merangkai kembali puing yang dulu aku hancurkan.

Di titik tertentu, kami saling pandang dan sama-sama menyadari: kita bisa jadi dua orang yang bahagia... ketika tidak sedang saling menyakiti.

Kami naik bianglala. Kabin goyang sedikit saat pintu ditutup. Nara menarik napas, menatap ke luar. Dari atas, lampu kota terlihat kecil-kecil, seperti kerlap-kerlip kenangan yang belum sepenuhnya padam.

“Harusnya kita dulu lebih sering begini, ya,” gumamnya.

Aku menoleh. “Ya. Harusnya. Kita terlalu sibuk jadi orangtua, sampai lupa... kita dulu cuma dua orang yang saling jatuh cinta.”

Dia tak menjawab. Tapi matanya berkaca.

Putaran bianglala melambat, seperti memberi waktu lebih lama untuk diam yang tak ingin cepat selesai.

***

Malam semakin larut. Lampu-lampu makin temaram. Wahana mulai ditutup satu per satu. Kami duduk di bangku paling pinggir taman, menghadap danau buatan dengan air mancur warna-warni yang masih menyala.

Angin pelan lewat. Sunyi mulai turun, seperti menggantikan riuh yang tadi sempat membuat kami tertawa.

“Aku lupa kapan terakhir kali kita begini,” suara Nara pelan, hampir terseret angin.

Aku menunduk. “Aku juga.”

Kami diam cukup lama. Lama banget, sampai aku mulai merasa sesak. Lalu Nara bicara lagi. Kali ini, tak ada tawa.

“Radit... kalau kita bisa ketawa bareng kayak tadi... kenapa harus kayak sekarang?”

Aku nggak langsung jawab. Tapi tubuhku menegang. Kata-katanya terlalu tepat, terlalu dalam.

“Aku nggak nyari alasan buat kembali,” lanjutnya. “Aku cuma pengin ngerti... kenapa harus sejauh ini?”

Aku menatapnya. Matanya lurus ke danau, tapi suaranya mengarah langsung ke tempat yang paling rawan di hatiku. Rasanya seperti ditelanjangi oleh seseorang yang masih tahu titik-titik lemahnya aku.

Aku nggak bisa duduk lagi. Kaki ini bergerak sendiri. Tahu-tahu aku udah berlutut di depannya. Bersimpuh, kayak orang yang kehabisan seluruh harga diri. Ego dan logika runtuh begitu saja.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suaraku pelan, nyaris seperti bisikan. “Tapi yang aku tahu... aku nyesel.”

Ia masih diam. Masih nggak lihat aku. Tapi aku terus bicara, sebelum keberanianku keburu habis.

“Aku pengecut, Na. Aku pikir ninggalin kamu... ninggalin rumah... bisa bikin semuanya lebih gampang. Tapi ternyata yang aku tinggalin itu bukan cuma kamu. Tapi diriku sendiri juga.”

Aku menarik napas dalam, berat, seperti menarik semua sesak yang selama ini aku pura-pura nggak ada.

“Aku kehilangan kamu. Tapi lebih dari itu... aku kehilangan ‘kita’. Dan aku takut. Takut banget kalau ternyata semuanya bener-bener udah terlambat.”

Aku menatapnya. Kali ini, tanpa tameng, tanpa pura-pura kuat. Cuma ada ketakutan yang jujur. Dan rasa sesal yang nggak bisa lagi disembunyikan.

“Aku tahu kamu berhak marah, berhak nyerah. Tapi kalau di sisa-sisa hatimu masih ada sedikit aja ruang buat aku... aku minta kesempatan, Na. Bukan buat ngulang dari nol. Tapi buat belajar bareng lagi... dari luka yang udah kita punya.”

Aku menggigit bibir. Mataku mulai panas. Tapi aku tahan. Aku harus nyelesain ini.

“Aku nggak siap kehilangan kamu. Kamu satu-satunya alasan aku pernah merasa cukup di dunia yang berisik ini. Kamu... rumahku, Na. Dan aku... nggak tahu gimana hidupku kalau kehilangan rumah itu selamanya.”

Tanganku gemetar. Pandanganku mulai kabur. Tapi aku tetap melihat ke arahnya.

“Aku nggak minta kamu lupa semua sakitnya. Aku cuma minta... kesempatan buat memperbaiki. Buat belajar jadi lebih baik. Buat milih kamu lagi. Setiap hari.”

Ia akhirnya menatapku. Aku nggak tahu apa yang ada di balik matanya. Tapi aku tahu, itu bukan benci.

Air matanya jatuh. Pelan. Nggak dramatis. Tapi cukup buat meruntuhkan sisa-sisa pertahananku.

Dia menunduk, menarik napas panjang.

“Aku... nggak tahu harus bilang apa, Dit.”

Aku mengangguk pelan. Suaraku lirih, “Nggak apa-apa. Aku cuma... pengin kamu tahu.”

“Nara…” suaranya pelan. “Aku juga nggak ngerti kenapa semua ini jadi serumit ini. Tapi satu hal yang aku tahu… aku salah. Salah karena pergi, karena diam, karena nggak bilang kalau aku lagi berantakan.”

Ia tak langsung merespons. Angin pelan menggerakkan helaian rambutnya. Wajahnya tenang, tapi matanya memerah.

“Aku nggak butuh kamu sempurna, Dit,” katanya akhirnya. “Dulu, yang aku mau cuma kamu cerita. Bukan selalu kuat. Aku juga capek. Tapi aku selalu nunggu kamu bicara. Sampai aku capek nunggu.”

Kalimat itu seperti pisau yang perlahan mengiris dalam.

“Aku takut jadi bebanmu,” bisikku.

Nara menoleh. Kali ini matanya menatapku penuh. “Kamu bukan bebanku. Kamu bagian dari aku. Atau... dulu kamu adalah bagian itu.”

Dulu.

Kata itu menggema lama di dadaku. Bukan karena ia menyakitkan, tapi karena ia mengingatkanku bahwa masa lalu hanya bisa diingat, bukan diulang.

Aku menghela napas. “Aku nggak minta kita kembali ke yang dulu. Karena mungkin itu udah nggak ada. Tapi... kalau kamu masih mau, aku pengin kita coba bikin ‘yang baru’. Nggak sempurna. Nggak langsung utuh. Tapi cukup... untuk dua orang yang masih mau saling menengok satu sama lain.”

Lagi-lagi ia diam. Tapi tidak memalingkan wajah. Tangannya bergerak, menggenggam ujung jaketnya sendiri. Seperti sedang berpikir keras untuk menahan sesuatu yang ingin tumpah.

“Aku takut, Dit. Kalau kita mulai lagi, dan jatuh di tempat yang sama.”

Aku mengangguk pelan. “Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kalau kita nggak pernah nyoba. Karena itu berarti aku kehilangan kamu... beneran.”

Ia menutup mata sejenak. Menarik napas panjang.

Dan malam itu, saat segala suara sudah berhenti, hanya suara air mancur dan detak jantung yang terdengar, Nara bergumam pelan.

“Kita coba pelan-pelan, ya. Tanpa janji. Tapi juga tanpa mundur.”

Aku menunduk, menahan haru. Lalu menjawab, “Pelan-pelan. Tapi tetap jalan.”

Dan di antara suara anak-anak yang tertinggal dan lampu yang mulai dimatikan, kami tetap duduk diam. Tanpa janji manis, tanpa pelukan dramatis. Hanya kejujuran. Hanya luka yang akhirnya ditunjukkan, tanpa ditutupi.

Kadang, cinta memang nggak tumbuh dari hal-hal besar. Tapi dari keberanian mengaku salah... dan keinginan untuk belajar mencintai, sekali lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Epic Battle
484      377     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Kacamata Monita
834      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Tic Tac Toe
386      312     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
A Missing Piece of Harmony
228      181     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1042      693     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Trust Me
58      51     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Di Bawah Langit Bumi
2384      920     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Metafora Dunia Djemima
86      71     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Fidelia
2071      892     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Atraksi Manusia
463      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...