Hari itu aku menulis lagi, masih dengan kepala yang berat dan hati yang belum sepenuhnya utuh. Tapi ada satu hal yang berbeda: aku ingin mencoba bangkit. Bukan dengan gegap gempita. Tapi pelan-pelan. Dengan caraku sendiri.
Aku mulai dari hal yang kecil: sepeda tua peninggalan ayah.
Rangkanya sudah berkarat, tapi rodanya masih kokoh. Seperti aku, mungkin. Karatan, tapi masih bisa berjalan. Aku coba kayuh lagi, dan ternyata... aku bisa. Rasanya seperti menemukan versi lamaku yang dulu suka menyusuri jalan kecil hanya untuk melihat matahari terbenam. Aku berkeliling ke taman dekat kantor, ke lapangan kecil tempat anak-anak bermain, bahkan ke warung kopi yang dulu sering aku kunjungi. Sendiri, tapi tidak kesepian.
Di perjalanan pulang dari bersepeda, aku berhenti di sebuah danau kecil. Duduk di bangku kayu, aku membuka ponsel, membuka Instagram—dan tanpa sengaja menemukan akun seorang psikolog. Dia sering berbagi soal luka batin dan cara merawat diri. Kata-katanya tidak menggurui. Justru terasa seperti pelukan hangat di hari dingin.
Salah satu unggahannya seperti mengetuk ruang terdalam yang selama ini kututup rapat:
“Kalau kamu masih bisa merasa sedih, itu artinya kamu belum mati rasa. Dan itu bagus. Karena yang bisa merasa, masih bisa sembuh.”
Aku menatap layar lama sekali. Lalu menekan tombol DM dan menulis: “Halo, saya ingin konseling. Saya butuh bantuan.”
Tak butuh waktu lama, adminnya menjawab. Kami buat jadwal, dan aku menandainya di kalender dengan pulpen warna biru.
Di sesi pertama, aku lebih banyak menangis daripada bicara. Tapi kata psikologku, itu awal yang bagus. Aku tidak perlu buru-buru menjelaskan semuanya. Cukup duduk, bernapas, dan merasa. Itu saja sudah cukup untuk sekarang.
Aku juga mulai belajar manajemen waktu lagi. Kubuat jadwal sederhana: bangun, makan, kerja, istirahat, olahraga ringan, tidur cukup. Bahkan pola makanku mulai kubenahi. Aku mulai masak lagi—bukan untuk siapa-siapa, tapi untukku sendiri. Sayur bening dan nasi hangat terasa seperti pelukan kecil untuk tubuhku yang sudah terlalu lama kupaksa kuat.
Suatu malam, sambil melipat baju di ruang tengah, aku menyalakan lagu favorit masa kuliah. Aku menari kecil. Tidak bagus, tapi cukup untuk membuatku tersenyum. Ternyata, aku masih bisa tersenyum. Itu mengejutkanku.
Aku mulai menulis lagi, kali ini di notes HP.
Hari ini aku nggak apa-apa. Mungkin nggak bahagia banget. Tapi aku nggak sesedih kemarin. Dan itu cukup.
Lalu suatu sore, aku mengobrol dengan seorang teman lama lewat pesan suara. Kami tertawa kecil, bercerita soal anak, soal kerjaan, soal hidup yang terus berubah. Dan dari sana, aku merasa: mungkin aku nggak sendirian seperti yang kukira.
***
Beberapa hari kemudian…
Aku duduk di kursi tunggu ruang terapi, menunggu giliran. Psikologku tersenyum menyambutku.
“Bagaimana seminggu ini?” tanyanya.
Aku menarik napas.
“Capek, tapi lebih tenang. Aku... mulai bisa bilang 'tidak' ke hal-hal yang menguras. Mulai berani minta bantuan juga. Rasanya aneh, tapi lega.”
Dia mengangguk. “Itu kemajuan besar, Nara.”
Aku tersenyum kecil. “Dulu aku pikir pulih itu kayak lari. Ternyata lebih kayak jalan kaki pas matahari terik. Nggak cepat, tapi sampai juga.”
***
Malam itu hujan turun pelan. Aku duduk di pojok kamar, lampu temaram menyala kuning samar, menyisakan bayangan lembut di dinding. Layar ponselku menyala redup—memutar lagu instrumental yang menenangkan, tapi tetap saja ada suara lain di dalam kepalaku yang lebih nyaring: suara kenangan.
Radit.
Dan anak kami.
Aku menggenggam selimut lebih erat. Sudah berbulan-bulan kami pisah rumah. Sudah banyak langkah yang kutempuh sendiri. Tapi malam-malam begini, saat suara hujan menyentuh jendela, hati terasa kosong seperti lorong panjang yang hanya memantulkan gema. Kadang aku membayangkan Radit sedang menidurkan anak kami. Membacakan dongeng yang dulu sering kubaca. Aku mencoba bahagia untuk mereka. Tapi tetap saja ada celah yang terbuka—yang tidak bisa kutambal dengan rutinitas, atau tawa palsu, atau nasihat dari siapa pun.
Ada sepi yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena sendiri. Tapi karena ada bagian dalam diriku yang hilang—dan belum tahu harus mencarinya di mana.
Aku menatap langit-langit. Lalu menengadah pelan. Berdoa. Mungkin lebih tepatnya, mengadu.
“Tuhan... ini bukan yang aku harapkan, bukan yang aku bayangkan saat dulu mengucap janji. Kenapa harus sejauh ini retaknya? Kenapa setelah aku merasa sebentar lagi akan bahagia... semua harus runtuh?”
Tangisku jatuh diam-diam. Tak ada isak. Hanya air mata yang merembes begitu saja, seperti kebocoran dari sesuatu yang sudah terlalu lama kutahan rapat.
“Aku tahu aku nggak selalu benar. Tapi aku juga tahu aku mencintai keluarga kecil kami dengan sepenuh hati, dengan cara terbaik yang aku bisa. Lalu kenapa... semuanya tetap runtuh?”
Tanganku meraba bantal, memeluknya, seolah itu bisa menggantikan pelukan anakku yang sudah berminggu-minggu tak kudapatkan.
“Kalau memang harus sendiri, ajari aku ikhlas. Tapi kalau masih ada ruang, Tuhan... tolong beri satu tanda bahwa aku boleh berharap. Sekecil apa pun. Karena aku lelah berjalan sendiri di jalan yang gelap tanpa tahu arah.”
Aku terdiam lama. Mataku menatap langit-langit yang kelabu dalam cahaya temaram. Detik demi detik berlalu. Dada masih sesak. Tapi ada sesuatu yang pelan-pelan mengisi ruang kosong dalam diriku malam itu—bukan harapan besar, bukan keajaiban. Hanya pengakuan: bahwa aku lelah, dan aku butuh sandaran, meski hanya sejenak.
Aku meraih ponsel. Menulis pelan di notes:
Malam ini aku tidak kuat. Tapi aku masih mencoba. Masih berdoa. Masih ingin percaya bahwa semua ini bukan akhir.
Lalu aku menaruh ponsel, memejamkan mata. Tanganku menggenggam ujung selimut. Tubuhku mungkin sendiri, tapi jiwaku sedang menggenggam satu-satunya yang tersisa: harapan, sekecil debu yang masih melayang di udara gelap.