Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Nara duduk termenung di meja kerjanya, ingatan tentang kegagalan demi kegagalan terus berputar di kepalanya. Sudah tiga kali ia mengikuti tes seleksi PNS. Tiga kali pula pintu itu tertutup rapat di hadapannya. Setiap kali, harapan itu sempat membara, lalu pupus begitu saja.

Orang tuanya selalu berharap anak sulungnya bisa menjadi PNS. Baginya, itu adalah lambang kestabilan dan kebanggaan keluarga—jalan hidup yang aman dan terhormat. Ibu sering bilang, “Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin. Kami semua bangga.”

Namun, kenyataan berkata lain.

Perjalanan Nara tidak mudah. Setelah sarjana, ia bertekad melanjutkan kuliah S2 demi memperbesar peluang karier. Namun, Satu per satu, harapan akan beasiswa itu gugur—seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar. Keuangan keluarga yang pas-pasan membuatnya harus berhenti di tengah jalan.

Setiap kali gagal, hatinya hancur. “Apakah aku memang kurang mampu?” bisik hatinya dalam diam.

Terlalu sering ia merasa seperti sedang berlari dalam lorong gelap tanpa ujung.  Nara masih terjebak dalam lingkaran yang sama. Ia merasa menjadi beban, terus bergantung pada Ibu yang sudah lelah berjuang.

“Kenapa aku gagal terus? Apa yang salah dengan aku?” pikirnya, sambil menatap langit-langit ruangan yang mulai memburam.

Rasa percaya dirinya terkikis perlahan. Ia meragukan kemampuan, bahkan identitasnya sendiri. “Apakah aku hanya akan menjadi seseorang yang selalu gagal? Siapa aku tanpa gelar PNS itu? Tanpa gelar S2? Tanpa pekerjaan yang membanggakan?”

Ia merasa terjebak dalam peran yang tidak lagi bisa ia kenali: istri yang seharusnya kuat, ibu yang seharusnya tegar, tapi dalam diam, dirinya merasa rapuh dan tersesat.

“Nara, kamu harus lebih kuat,” suara kecil di dalam dirinya mencoba memberi semangat. Tapi rasa lelah sudah terlalu dalam mengakar.

Ia memejamkan mata, berusaha mencari secercah harapan. Namun kegagalan demi kegagalan membuat hatinya nyaris beku.

“Aku ingin bangkit, tapi aku takut jatuh lagi,” gumamnya.

Malam itu, di tengah keheningan rumah, Nara tahu satu hal: ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus menemukan jalan baru, atau setidaknya, memulai dari titik yang baru.

Langkahnya pelan menyusuri lorong rumah menuju kamar. Anak dan suaminya sudah terlelap. Rumah sunyi. Tapi pikirannya justru semakin bising. Ia membuka laci meja rias, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Pensil alis, hand cream, charger—semuanya terasa biasa saja. Sampai matanya menangkap sebuah buku lusuh dengan sampul biru muda yang menguning di ujung-ujungnya.

Jurnal lamanya.

Ia memegangnya perlahan, seolah sedang menyentuh bagian dirinya yang sudah lama hilang. Jemarinya membuka halaman pertama. Tulisan tangan remaja dengan tinta hitam memenuhi lembar demi lembar—penuh emosi, keluhan, mimpi, bahkan puisi-puisi pendek yang dulu tak pernah berani ia tunjukkan pada siapa pun.

"Kalau aku gede nanti, aku pengin jadi penulis. Nulis cerita yang bisa bikin orang ketawa, senyum-senyum sendiri, atau ngerasa kayak lagi ngobrol sama temen. Seru aja kali ya, kalau tulisan kita bisa nemenin orang pas lagi capek atau sedih."

Nara membacanya pelan-pelan. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

Kapan terakhir kali ia merasa sepenuh itu saat menulis?

Kapan terakhir kali ia jujur pada diri sendiri tentang apa yang benar-benar ia cintai?

Hidup telah membawanya menjauh dari semua itu. Ia terlalu sibuk mengejar validasi, memenuhi ekspektasi, dan membuktikan bahwa dirinya tidak sia-sia. Tapi justru di sana—di tengah semua itu—ia kehilangan dirinya sendiri.

“Menulis,” bisiknya lirih, seolah sedang menyapa diri sendiri yang lama tertidur. “Dulu kamu pernah jadi alasanku bangun pagi. Sekarang aku bahkan lupa rasanya punya mimpi.”

Ia mengusap halaman-halaman jurnal itu perlahan, seperti seseorang yang menyentuh kenangan masa kecil. Hangat, tapi juga menyakitkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Nara duduk dengan pena dan kertas kosong di hadapannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi ia tahu: ia ingin kembali ke sana, ke tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa topeng. Tanpa tekanan.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia mulai menulis.

"Halo, aku yang berusia tiga puluh tahun. Aku tahu kamu lelah. Tapi aku juga tahu kamu belum selesai. Mari kita mulai lagi pelan-pelan, tapi sungguh-sungguh."

Dan seperti itu, Nara menyalakan kembali api kecil yang selama ini padam.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monday vs Sunday
321      237     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1893      1033     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Catatan Takdirku
1681      925     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Deep End
61      57     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Sweet Punishment
305      210     10     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Taruhan
79      76     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Tic Tac Toe
559      443     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Arsya (Proses Refisi)
1348      770     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Lantunan Ayat Cinta Azra
1162      667     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
509      352     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...