Perpaduan cat warna abu-abu, putih dan batu bata mempercantik tampilan kafe, pemilihan itu berasal dari ide Ghazi menyesuaikan minat dari impiannya. Apalagi ada beberapa hiasan dinding dengan berbagai macam foto juga quotes pilihan terbaik, berhias lampu kuning menerangi.
“Kenapa elo?” Ghazi usai meletakkan pesanan kopi hitam dekat jalan menuju tempat barista meracik pesanan, diikuti langkah kaki malas penuh pikiran.
Ghazi meletakkan nampan pada meja bawah dekat rak piring kecil, “Rendra”
Tepukan itu membangunkan lamunan, “Ha?”
“Elo kenapa dari awal masuk masam banget itu muka?” Ghazi langsung paham maksud dari wajah tersebut, “Elin lagi?!”
“Iya, Gha. Sakit hati gue lihat Elin jalan berdua sama Darian, apalagi Elin sampai dandan cantik Cuma buat makan berdua, gue iri sama Darian...”
“Bukannya elo sering makan berdua? Ya, walaupun Elin anggap elo sahabatnya”
“Gue pengen lebih dari sahabat...” perjelas Rendra sudah lelah dengan status persahabatan, bukan berarti egois hanya saja perasaan kadang ingin merasa bersama dalam status sepasang kekasih.
“Tembak, bilang kalau elo suka sama dia, kalau elo diam terus dia mana tahu. Rendra!” Ghazi mulai sebal, “Mau elo sekarang gimana?”
“Gue bingung, antara mempertahankan persahabatan atau mengatakan kalau gue suka sama Elin....”
“Diposisi elo enggak enak” menghembuskan nafas, “Bingung mau ambil keputusan yang mana, tapi saran gue secepatnya bilang ke dia yang sebenarnya, ini juga demi kebaikan elo sendiri”
“Gue tahu...” sejenak terdiam sesaat, “Sekarang yang gue pikirin, kalau makan malam Elin dan Darian ada maksud tertentu...”
“Maksud elo, Darian bakal tembak Elin?!” potong Ghazi sudah paham maksud dari makan malam berdua, sebab dirinya juga pernah mengalami hal tersebut.
“Iya, itu yang gue takuti bakal terjadi. Gue takut kehilangan Elin, gue sayang banget sama dia!”
“Gue paham apa yang elo rasain, kita lihat apa keputusannya nanti, kalau dia jadian sama Darian. Elo juga harus bisa terima keputusannya!”
Dinding kaca masih tertahan agar tidak menetes, sebab pelupuk netra terasa berat akan luka selama ini, “Gue enggak tahu harus gimana!”
Ghazi menenangkan dengan tepukan ringan pada bahu, “Kita lihat siapa pemenangnya!”
Pintu masuk terbuka secara otomatis, “Hai Gha, Ren!”
“Kenapa enggak bilang kalau mau datang?” Ghazi mendongak melihat kehadiran Keisha berjalan menghampiri, lalu duduk pada sebuah kursi kayu tepat di meja barista.
“Mau kasih kejutan, habis tadi siang Cuma sebentar ketemunya jadi masih rindu!”
“Aku juga rindu” jawab Ghazi mencubit pipi Keisha dengan gemas, lantas Rendra dibuat jengkel akan keromantisan mereka berdua, apalagi sekarang keadaannya lagi sedang tidak baik-baik saja.
“Elo berdua bisa enggak hargai keberadaan gue di sini!” tegur Rendra mengambil air minum pada galon dekat gelas berjejer sesuai ukuran dan bentuk.
“Kenapa elo, lagi ada masalah sama Elin?”
“Iya, kayak enggak tahu saja permasalahan Rendra, sudah pasti enggak jauh dari Elin. Lagi galau tensi naik....”
“Gue mau pacaran di sana, sekarang elo yang kerja!” kata Ghazi mengajak Keisha jalan-jalan sambil menikmati udara malam, tidak lupa makan berdua.
***
Sebuah restoran baru dibuka bergaya Jepang menawarkan sushi dengan berbagai macam jenis, tidak heran jika sekeliling lumayan ramai karena baru buka sekitar satu bulan, apalagi cewek yang suka sekali berfoto pasti akan datang ke sini.
Makan malam telah datang, dalam sekejap tangan telah digenggam erat dengan ekspresi serius, “Elin. Mungkin aku sudah terlambat baru berani bilang kalau sebenarnya, aku sudah lama ingin makan malam berdua kayak gini...”
“Apalagi waktu pertama kali kita jadi anggota OSIS, Awalnya agak aneh semua ini, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai sadar, kalau sebenarnya aku ada rasa ke kamu. Tapi Rendra selalu saja mengganggu kalau kita lagi berdua”
“Aku takut bilang ini, karena kamu sering banget ke mana-mana sama Rendra. Banyak yang bilang kalau kalian itu pacaran, makanya aku diam-diam cari tahu apa yang mereka bilang itu benar apa enggak, ternyata kalian berdua sekedar sahabat. Makanya aku siapin ini jauh-jauh hari, berharap kamu bisa terima aku jadi pacar kamu”
Elin mungkin itu sebagai jawaban, “Darian, maaf gue enggak bisa jawab sekarang, kasih gue waktu buat jawab ini....!”
“Aku paham ini emang enggak mudah buat kamu, tapi jangan terlalu lama kasih jawabannya!” pertegas Darian memahami atas apa yang dikatakan, karena memang tidak mudah bagi Elin bisa menjawab ajakan pacaran darinya.
“Iya” kenapa tatapan yang diberikan Elin selalu saja membuat cowok dalam sekejap bisa salah tingkah, terutama jika lentik bulu mata berkedip sejenak dalam peraduan akan keindahan.
Elin memang tidak secantik Keisha, tetapi setiap kali dipandang dalam kurun waktu lama tidak mudah bosan melainkan berubah candu, sorot mata tenang dalam setiap langkah mengarungi bahtera kehidupan. Melukis kisah dalam catatan diksi belum tentu bisa berkata, bahwa siapa saja dengan mudah merasa nyaman.
Dilihat jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, “Darian, sekarang sudah jam sembilan. Aku harus pulang!”
***
Setelah mengerjakan tugas Elin mulai membuka suara, ingin meminta pendapat apakah Rendra setuju kalau dirinya terima Darian jadi kekasih, karena selama ini hanya bisa mengagumi bukankah itu kesempatan terbaik yang tidak akan terulang kembali.
Tetapi Elin kemarin malam tidak menerima bukan karena belum yakin tentang cinta, namun ingin menguji apakah Darian sabar menanti jawaban, agar tahu kalau Elin bukan tipe cewek yang mudah didapat.
“Ren, semalam Darian tembak gue”
Mendengar perkataan tersebut seketika Rendra tersedak oleh roti bakar yang selalu dibuat Elin, segera diambil minum air putih di dalam laci meja.
“Kalau makan pelan-pelan” membuka tutup botol sebelum menyerahkan minum, “Gimana menurut elo, kan selama ini gue suka sama dia, tapi baru sekarang dia sadar kalau gue juga punya perasaan buat dia....”
“Padahal gue tunggu dari awal kenalan pas jadi anggota OSIS, apalagi posisi Darian juga sudah lama enggak pacaran, seandainya gue pacaran sama dia. Elo setuju enggak?”
Betapa sakit jiwa itu terkoyak belati tanpa tepi, perihal penjelasan yang sangat menyayat sanubari untuk berkata jangan menerima perasaan cinta dari cowok lain, tetapi apalah daya kuasa menahan dalam rasa takut juga cemburu.
Selalu berpikir bagaimana jika Rendra kelak akan kehilangan banyak waktu, jikalau ada kehadiran sosok lain sebagai teman dalam melewati keseharian, yang akan mengganti posisinya.
“Enggak tahu....” jawab Rendra hanya singkat demi menyembunyikan tidak terima sekaligus menolak kalau Elin dan Darian jadian, jika itu terjadi bagaimana dengan perasaan dirinya, selama ini menanti pada tempat suci untuk segera dibalas hati.