Rendra merasa enggan untuk mengajak berbicara, menatap wajah Elin dari kaca spion terus menunduk pada benda pipih di kedua tangannya. Sesekali senyuman itu, cukup membuat Rendra khawatir, tentang perasaannya sendiri.
Yah, takut hubungan Elin dan Darian kian semakin dekat. Hingga timbul jarak persahabatan ini, sungguh cemburu itu memang ada.. Tidak tampak bentuk, namun dapat dirasakan, sakit tetapi bukan sayatan nyata.
Hingga berhentilah di pinggir jalan, “Ren, gue masih cakep kan?”
“Masih” jelas-jelas Rendra sebenarnya marah, jika Elin rela berdandan lama hanya untuk menarik perhatian cowok lain, sedangkan dirinya tidak pernah diperlakukan begitu.
“Doa’in gue. Semoga ini bisa berjalan lancar, lebih dari hari-hari sebelumnya. Dan gue bisa pacaran sama Darian....”
“Pulangnya mau dijemput apa gimana?” Rendra mengalihkan obrolan dari pembahasan itu.
“Gue di antar sama Darian. Makasih sudah antar gue, jangan pulang terlalu malam, besok sekolah!”
“iya Rendra. Bye-bye....”
Elin beranjak pergi seraya melambaikan tangannya, menuju tempat makan sesuai janji. Langkah kaki ini menjauh dari pandangan Rendra, namun Elin bisa melihat keberadaan Rendra di sana.
Masih berada di keramaian malam, hari biasanya tempat makan cukup ramai. Amatan netra mengamati segala arah, aroma keramaian selalu mengusir kesepian dalam diri Elin. Hiruk-periuk terdengar dari kedua telinga, mengusir sunyi dari memori ingatan tentang suasana rumah.
Kesepian , ketika peran yang harusnya dijalankan malah terabaikan. Kasih sayang, definisi yang hingga kini masih belum tahu pasti. Rumah, penggambaran benda atau kah tempat nyaman untuk singgah dan menetap?
Mengapa Elin merasa seakan itu tidak bisa didapatkan, lantas mengapa dunia luar tampak begitu indah? Yang terasa sekarang, bekas dari masa kecil.
Marah, atas ketidakadilan. Elin begitu kesulitan, harus merubah perasaan tentang orang tuanya yang selalu bertengkar di depan mata. Bukan trauma, hanya saja haus perhatian juga kasih sayang. Sebab mereka tidak pernah memberikan, satu darah namun asing.
Jangan pernah menyalahkan jika mencari perhatian di luaran rumah, sehingga terkesan kurang. Walau seharusnya peran orang tualah yang selama ini Elin inginkan, bukan suara teriak dan lemparan barang terdengar di telinga.
Angin malam membangunkan dari lamunan, langkah kaki tepat berhenti di sebuah tempat makan.
Tampak Darian duduk menunggu di teras, beranjak dari tempat duduk melihat kedatangan Elin, “Maaf, gue enggak bisa jemput”
“Enggak pa-pa. Elo sudah lama tunggunya?”
“Baru sampai, mau makan apa?”
“Nasi goreng + sate ayam” menunjuk pada gambar nomor ke dua. Sembari menunggu pesana, Elin memilih untuk diam, sungguh perasaan mengganggu apa yang sedang bersemayam dalam dirinya.
Grogi, canggung, hingga untuk bernafas saja cukup merepotkan. Elin mencoba mengalihkan pandangan, mengusir perasaan canggung ketika diam-diam pandangan Darian tertuju padanya.
“Kenapa?”
Pertanyaan itu seakan menampar Elin begitu keras, untuk cepat sadar dengan perasaannya, “En.... enggak!”
“Elo ke sini naik ojek online atau gimana?”
“Di antar Rendra, soalnya kita lagi ngerjain tugas kelompok di kafe Ghazi”
“Maaf ya, gue jadi ganggu kerja kelompok kalian”
“Sudah selesai kok”
Tujuh menit kemudian, datanglah pesanan.
“Habis makan, kamu mau nonton atau jalan-jalan?”
Suapan nasi goreng pertama diikuti gigitan sate ayam yang sama-sama masih panas. Darian menunggu jawaban sambil menikmati keramaian jalan di depannya, “Gimana?”
“Aku pengen nonton, tapi ini sudah malam. Terserah, elo saja, gue ngikut!”
“Tadi pulang sekolah kita sudah jalan-jalan, jadi malam ini mau nonton film?”
Elin mengangguk, “Mau nonton film apa?”
“Kalau gue film apa saja”
Elin mengambil ponsel dari dalam tas yang berada di belakang kursi duduknya, “Apa ya? Di sini ada 20.25 WIB. Kisah romantis sama horor, tapi ini sudah malam, gue takut!”
“Yang kisah romantis”
***
Dinding kaca menampilkan seberapa ramai ruangan kala ini, kursi pada setiap sisi telah penuh. Darian dan Elin berjalan sejajar usai membeli tiket, memilih berdiri dekat pemesanan.
Popcorn dan minuman bersoda telah berada pada genggaman tangan, “Tempat duduknya full, jadi kita berdiri, enggak masalah kan...”
“Enggak pa-pa. Bentar lagi filmnya juga di mulai” padahal kenyataannya Elin menahan rasa pegal pada kedua telapak kakinya, karena cukup lama berdiri.
“Sini...” Darian menarik lembut tangan Elin pada kursi pojok sebelah pintu masuk, “Permisi, boleh geser sedikit tempat duduknya!”
“Oh iya, silahkan” dua cewek itu duduk lebih merapat, membiarkan Elin duduk bersebelahan dengan mereka.
Elin menyapa dengan mengangguk kepala seraya tersenyum.
Lalu pandangan beralih menatap Darian yang kini berdiri di sebelahnya, tidak bercakap, hanya saja perhatian sederhana ini cukup membuat Elin bahagia.
Sesuap popcorn mengisi kekosongan, terus mengisi mengalir tanpa sadar. Berdiri tegak menatap keramaian yang kian makin ramai, tanda waktu tujuan akan dimulai. Menyeruput minuman bersoda, hingga tersisa sepertiga.
“Mau nambah?” panggil Elin mengambil alih perhatian Darian sejenak, “Darian....”
Terbangun dari lamunan, “Loh, kok...”
Darian dan Elin tersenyum bersama, “Ngelamunin apa?”
“Enggak” tersenyum lebar, “Ayo, ke dalam... , filmnya mau dimulai!”
Elin mengangguk, “Tiketnya”
Ramai, sebagai gambaran suasana di bioskop. Saling menunggu pintu dibuka, berjejer dan berkumpul. Melempar obrolan juga canda, sambil berdiri dengan posisi nyaman.
Kini gelap mendominasi meski belum keseluruhan, cahaya lampu pada langit-langit. Lembaran putih sudah menampilkan gambar, beriringan suara pembuka seakan mengisi seluruh ruangan ini.
Elin mengikuti langkah Darian menuju kursi.
Row : K Set : 4
Row : K Set : 5
Teater 1.
Trailer film baru mulai tampak pada layar putih berukuran besar itu, cahaya lampu nyala menyinari sesaat. Elin meletakkan tas selempang di sebelah kanan, di mana Darian sudah duduk lebih dulu memakan popcorn.
***
“Harusnya kamu, sebagai ibu harus tahu kenapa saja Elin pergi. Bukan malah biarkan anak perempuan keluar sampai jam segini....”
“Kamu kan ayahnya, apa-apa aku yang selalu disalahkan” tidak lagi menghiraukan seberapa banyak menetes air matanya, “Aku capek, selalu salah di mata kamu”
“Kamu itu memang enggak bisa mikir, setiap pulang kerja selalu ngajak ribut, aku juga capek...”
“Aku enggak bakal kayak gini, kalau kamu bisa ngerti. Tapi apa....”
Terbanting sudah, serpihan gelas kaca di atas lantai. Air putih telah tumpah tanpa arah, di ikuti kursi kayu terdorong ke arah yang sama. Pecah, suasana malam ini, tanpa mengenal waktu, ribut tanpa peduli ada siapa.
Sejenak hanya sunyi dengan suara tangis sesenggukan.
Elin memejamkan mata sejenak, “Maaf ya. Elo mesti dengar orang tua gue ribut..”
“Gue temani di sini sebentar, tenangi diri dulu!”
Perkataan itu seakan membuat Elin begitu hancur dan malu, seperti Darian mengasihani dirinya. Sebening kristal tidak dapat ditahan lagi, sesak kian semakin terang benderang di hadapan orang yang di cintai.