Perjalanan Menuju Kampung Titto
Pukul empat dini hari, mereka sudah bersiap menaiki kapal feri menuju kampung Titto. Kevin ikut bersama mereka.
Setelah sampai di pelabuhan pertama, mereka menunggu sekitar 15 menit untuk kapal kayu yang akan membawa mereka ke rute selanjutnya. Perjalanan dengan kapal kayu memakan waktu sekitar tiga jam hingga mereka tiba di pelabuhan kedua. Namun, perjuangan belum berakhir. Mereka masih harus menaiki rakit untuk bisa sampai ke kampung Titto.
Perjuangan belum berhenti di situ. Sesampainya di darat, mereka harus naik kendaraan super epik—roda sapi.
Tepat pukul 10.00, mereka tiba di depan rumah Titto. Anak-anak desa langsung menyambut dengan pelukan gembira.
> “Kak Titto! Kak Titto!”
> “Apa kabar kalian semua?” tanya Titto.
> “Baik, Kak Titto!” sahut keempat anak itu bersamaan.
> “Ajak teman-teman kalian kumpul di lapangan jam sebelas, ya.”
> “Siap, laksanakan!”
> “Ayo masuk dulu, kita istirahat sebentar,” ajak Titto.
Di dalam rumah, mereka disambut hangat oleh ibu Titto dengan suguhan pisang goreng, kue, dan teh hangat.
> “Oh, ini teman-teman cewek yang sering kamu ceritakan itu, Titto?” tanya sang ibu.
> “Christian dan Kevin tambah tampan, ya!”
> “Ah, Tante bisa saja,” jawab Christian malu-malu.
> “Perkenalkan, Ma. Ini Nafa Emilia Irianti.”
> “Halo, Tante,” sapa Nafa ramah.
> “Kalian cantik-cantik sekali.”
> “Makasih, Tante. Tapi Tante lebih cantik lagi,” puji Emilia.
Nafa dan Irianti hanya tersenyum. Dari kondisi rumahnya, terlihat jelas bahwa Titto bukan dari keluarga yang kekurangan. Rumahnya besar dengan lima kamar. Ayahnya kepala desa, sedangkan ibunya pengurus yayasan panti asuhan—tempat masa kecil Christian dulu.
> “Kalian nginap, kan? Tante sudah siapkan kamar,” kata ibunya Titto.
> “Iya, Tante. Terima kasih,” jawab Nafa.
> “Ayo, mari. Letakkan barang-barang kalian. Yang cowok-cowok tidur di kamar Titto, ya.”
Kamar Titto berukuran 4x5 meter, tertata rapi, dan memiliki tempat tidur big size. Bahkan lebih besar dari kamar Nafa.
Menjelang pukul 11, mereka berangkat menuju lapangan dengan kendaraan ikonik kampung: roda sapi. Tak ada yang mengeluh sepanjang jalan.
---
Kegiatan di Lapangan
Lapangan sudah ramai. Titto sebelumnya sudah menelpon rekan-rekannya untuk mendirikan tenda dan dapur darurat. Sekitar 25 anak-anak telah berkumpul.
Emilia membuka kardus besar berisi cemilan. Anak-anak langsung berebut.
> “Aku yang ini!”
“Aku yang itu!”
> “Pelan-pelan ya, semua pasti kebagian,” kata Emilia sambil mengelus kepala seorang anak perempuan yang berdiri diam di dekatnya.
> “Kamu gak ikut berebut?”
> “Aku tunggu mereka selesai. Aku mau kardus itu,” jawab si anak.
> “Kardus? Buat apa?”
> “Buat simpan baju-bajuku. Lemariku rusak dimakan rayap.”
Emilia menahan air mata. Ia sadar betapa nyamannya hidupnya selama ini dibandingkan anak-anak ini. Ketika giliran anak itu tiba, ia tidak mengambil cemilan, melainkan kardus kosongnya.
Melihat itu, Emilia tak tahan dan menangis.
Nafa mengambil sisa cemilan dan membagikannya dengan adil. Ia lalu menyerahkan kardus itu pada si anak perempuan.
> “Ini kardusnya, sini kakak bantu lipat.”
> “Gak usah, Kak. Gini aja. Saya gak punya selotip.”
Nafa kini mengerti kenapa Emilia menangis.
Irianti kemudian membagikan kertas kepada anak-anak untuk menuliskan makanan yang belum pernah mereka coba. Jawabannya beragam: burger, pizza, spaghetti, corn dog, dan sebagainya.
Dengan keterampilannya, hari ini Irianti akan membuat mimpi mereka kenyataan. Kevin mendokumentasikan semuanya. Anak-anak sangat bahagia.
Dalam waktu satu jam, makanan siap disajikan dan disantap dengan lahap.
Namun, Meti—anak perempuan tadi—tidak makan.
> “Kenapa Meti gak makan?” tanya Titto.
> “Meti pengen mie instan goreng,” jawabnya lirih.
> “Begitu banyak makanan, kenapa mie instan?”
> “Karena aku belum pernah coba. Kata mereka enak. Tapi aku sakit maag, jadi dilarang.”
Titto bingung dan memeluknya.
> “Nanti Kakak buatin yang lebih enak dari itu, ya?” ujar Irianti.
Meti mengangguk pelan.
Irianti teringat Nafa kecil yang juga sering merengek minta mie goreng. Ia ingat satu resep dari Adam: mie palsu—bihun dengan potongan sayur panjang, telur goreng, dan bumbu dapur, lalu diberi topping ayam krispi. Sehat dan lezat.
Meti menyantapnya sambil menangis.
> “Mie instan enak, tapi gak sehat. Sesekali boleh ya, tapi jangan sering-sering,” kata Irianti.
Setelah makan, anak-anak bermain di lapangan dan pulang dengan senyum lebar serta bahan makanan untuk keluarga mereka.
> “Kegiatan seperti ini sebaiknya kita adakan sebulan sekali,” kata Irianti.
> “Aku setuju,” sahut Emilia.
> “Ngomong-ngomong, Nafa dan Christian mana?” tanya Kevin.
> “Biarkan mereka pacaran,” kata Titto.
“Heran deh, orang pacaran suka menghilang,” celetuk Emilia.
---
Momen Nafa dan Christian
Sementara itu, dua sejoli tengah duduk di bawah pohon.
> “Kamu gak bosan pacaran monoton kayak gini?” tanya Christian.
> “Monoton gimana?” Nafa agak khawatir.
> “Selama ini kamu ikut aja maunya aku. Kamu gak pengen pacaran yang sesuai keinginanmu?”
> “Aku belum pernah pacaran. Jadi aku gak tau harus gimana.”
> “Gak pengen jalan ke mall, taman, bioskop, konser—kayak orang normal?”
> “Aku suka semua yang kita lakukan. Asal aku nyaman, gak masalah.”
Christian tersenyum. Ia lalu mendekat.
Nafa gugup. Matanya hampir terpejam, membayangkan hal yang tidak-tidak.
Christian mencium pipinya.
> “Kalau kamu belum siap, gak apa-apa kok.” Ia mengacak rambut Nafa.
> “Ayo balik. Kita harus jalan kaki.”
Jarak lapangan ke rumah Titto sekitar dua kilometer. Tidak ada kendaraan bermotor.
Setelah satu kilometer, Nafa kelelahan.
> “Aku capek... huffft.”
> “Sini aku gendong.”
> “Jauh loh... kamu kuat?”
> “Kalau gak kuat, ya kuturunin tengah jalan,” goda Christian.
Setelah berjalan 500 meter, Nafa benar-benar kelelahan.
> “Naik ke punggungku,” perintah Christian.
Nafa menyandarkan kepalanya di bahu Christian.
> “Hmm... wangi dan nyaman. Aku suka digendong kamu,” bisik Nafa dalam hati.
> “Jangan bilang kamu tidur, ya?” tanya Christian.
> “Enggak kok. Aku lagi nikmatin aroma tubuh kamu,” sahut Nafa, sambil menggosokkan kepalanya ke bahu Christian.
Jantung Christian langsung berdebar.
> “Jangan bicara kayak gitu.”
> “Kenapa?”
> “Kamu memancing adik kecilku.”
> “Adik kecil? Maksudnya?”
> “Sudah, pokoknya jangan.”
---
Tiba di Rumah
Setelah dua jam, mereka sampai di rumah.
> “Kalian habis ngapain? Kok keringetan gitu?” tanya Emilia curiga.
> “Jalan kaki 2km. Lumayan bakar kalori,” kata Nafa.
> “Berarti aku bakar lebih banyak, bawa beban,” celetuk Christian.
> “Kalian ngomongin apa sih?” tanya Kevin bingung.
> “Harusnya kamu ambilin air. Aku dehidrasi,” kata Christian lemas.
Irianti keluar membawa dua gelas air.
> “Rhaa... memang terbaik!” kata Nafa memeluk Irianti.
> “Mandi sana. Bau keringat.”
> “Mandi bareng yuk, Na~”
> “Gila kamu!” teriak Nafa, lalu berlari ke kamar. Jantungnya berdebar kencang. Kini ia paham maksud “adik kecil” yang dimaksud Christian. Ia cuma pura-pura tidak tahu.
Setelah makan malam lezat yang disuguhkan oleh Ibu Titto, ayah Titto yang juga kepala desa menyampaikan ucapan terima kasih. Selain memberi makan anak-anak, mereka juga menyantuni beberapa keluarga kurang mampu di kampung itu, termasuk keluarga Meti.
Malam itu mereka menghabiskan waktu dengan bernyanyi di teras rumah. Titto memetik gitar, sementara Christian menyanyikan lagu To The Bone. Suaranya menggema di udara malam yang hangat, membuat Nafa tak tenang. Ia masih merasa malu dan risih atas hal yang ia lakukan sore tadi.
Nafa tertegun saat Christian tiba-tiba mengalungkan tangan di lehernya dan berbisik pelan, “I love you, I want you... jantungmu berdegup kencang.”
Lalu Christian kembali bernyanyi:
"Take me home, I'm falling
Love me long, I'm rolling
Losing control, body and soul
Mind too, for sure, I'm already yours..."
Nafa, yang tadinya hanya diam, akhirnya menyambung liriknya:
"Walk you down, I'm all in
Hold you tight, you're calling
I'll take control, your body and soul
Mind too, for sure, I'm already yours..."
Tepuk tangan terdengar dari teman-teman mereka. Nafa akhirnya menyanyi juga.
Untuk mengalihkan gugupnya, Nafa mengambil gitar dan menyanyikan lagu 22. Mereka semua ikut bernyanyi saat bagian reff dinyanyikan bersama.
---
Keesokan paginya, mereka kembali ke Jewel Palace untuk bekerja. Di tengah kesibukan, mereka mulai merencanakan reward ketiga mereka.
“Karena beberapa hari ini kalian sudah kerja keras, keluar tenaga dan dana juga... hari Minggu aku traktir kalian ke Dream Land! Dan ada surprise juga. Gimana? Mau nggak?” ucap Nafa penuh semangat.
Semangat Nafa menular. Mereka semua mengangguk setuju.
“Kevin ikut, ya?” pinta Nafa.
“Gak diajak pun aku pasti ikut... apalagi kalau diajak,” gumam Kevin pelan.
“Apa, Vin? Aku nggak dengar,” tanya Nafa.
“Ah iya, aku ikut!” jawab Kevin lebih keras.
“Senin kita balik kerja lagi. Sudah seminggu aku tinggalin urusan kantor. Untung resort ini milik ayahku,” kata emilia
Iya, aku juga. Untung bos-nya teman sendiri,” ucap Nafa sambil memeluk Iriantie yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
“Ada apa, Rha? Wajahmu kusut dari tadi,” tanya Emilia.
“Ridwan nggak ada kabar udah seminggu. Terakhir pas kita habis yudisium,” jawab Iriantie lesu.
Nafa melepas pelukannya dan menepuk pundak Iriantie. “Mungkin waktu kita di kampung dia sempat hubungi, tapi sinyal jelek, jadi gak masuk.”
“Positif thinking aja, Rha,” tambah Emilia.
“Oh iya, aku balik duluan ya. Malam ini ada tamu menyelam,” ujar Titto.
“Kalau gitu aku juga pamit,” kata Kevin.
“Aku masih mau di sini... mau berlama-lama sama pacarku,” ucap Christian sambil memeluk Nafa erat-erat.
Wajah Nafa memerah karena malu. Ia tak mampu berkata-kata.
Emilia menunjuk ke Iriantie. “Yang di sini galau karena pacarnya...”
Lalu menunjuk Christian dan Nafa. “Yang di sana bucin sama pacarnya. Oke, yang nggak punya pacar mending tidur!”
“Mil, tunggu aku dong!” teriak Iriantie sambil bergegas menyusul.
Christian menoleh ke Nafa. “Aku kangen kamu, Na!”
“Kita bareng dari hari Senin, kok bisa kangen?” balas Nafa geli. “Lepasin pelukannya, ini di depan umum.”
“Kangennya pengen berduaan.”
“Dasar kamu!” Nafa memukul pelan pundak Christian lalu berlari ke arah pantai.
Christian mengejarnya, tapi kakinya tersandung dan ia menabrak seorang wanita. Mereka berdua jatuh. Tubuh Christian berada tepat di atas wanita itu.
“Christian?”
“Natasha...”
Christian segera berdiri dan menarik Natasha agar menjauh sebelum Nafa melihat.
“Kamu ke mana aja? Seminggu ini aku gak lihat kamu.”
“Ada urusan,” jawab Christian singkat. Ia hendak pergi, tapi tangan Natasha menahannya.
“Aku kangen kamu,” bisik Natasha genit, sambil membelai dada Christian dan menariknya menuju kamarnya.
“Tunggu sebentar.” Christian melepaskan tangannya, mengambil ponsel, dan mengirim pesan ke Nafa:
> “Aku ada urusan mendadak. Sampai nanti.”
> “Oke,” balas Nafa singkat.
Ia pun kembali ke kamar Emilia. Kedua temannya sudah tertidur. Nafa masuk pelan, lalu berendam di bathtub untuk menenangkan pikirannya.
---
Hari reward ketiga tiba.
Mereka menumpang mobil Kevin menuju Dream Land. Nafa menolak dijemput karena akan diantar oleh Adam. Ia menunggu di depan pintu masuk sambil membawa sebuah bungkusan.
“Bungkusan apa itu?” tanya Iriantie penasaran.
“Seragam kita buat masuk Dream Land!” jawab Nafa, mengeluarkan kaos all size warna-warni.
“Ini surprise-nya?!” tanya Emilia kaget.
“Yupss! Merah buat Kevin, jingga buat Emilia, kuning untuk Iriantie, hijau buat Titto, biru aku yang pakai, dan ungu buat Christian.”
“Aku nggak mau pakai!” tolak Emilia. “Jingga bukan warna favoritku.”
“Ini gak modis!” kata Iriantie sambil membolak-balik kaos itu, lalu menghela napas dan memakainya juga.
“Solidaritas teman,” kata Titto santai, sudah memakai kaosnya.
“Pakai kaos doang apa susahnya,” ujar Kevin sambil membuka kaos lamanya. Perut sixpack-nya langsung bikin heboh.
“Na, aku mau ngomong sesuatu,” bisik Christian, menarik tangan Nafa ke toilet parkiran.
“Apa?”
“Tukeran baju.”
“Gak mau.”
“Kalau gak mau...” Christian mendekat dan berbisik, “aku cium bibir kamu.” sambil menyandarkan Nafa ke dinding
Nafa tanpa ekspresi mengambil kaos dari tangan Christian dan masuk ke bilik toilet.
“Nih,” serunya sambil menyerahkan kaos biru.
Christian langsung memakainya tanpa pikir panjang.
“Ayo, yang lain sudah nunggu.”
Sampai di depan wahana, teman-teman mereka menyadari kalau Christian dan Nafa tukar kaos, tapi pura-pura tak tahu.
“Na, kamu kenapa mukanya merah?” tanya Iriantie.
“Aku lupa pakai sunscreen,” elaknya. “Yuk masuk.”
Setiap dari mereka mendapat cap anti air dan bisa menikmati semua wahana. Mereka juga dapat es krim sesuai warna baju.
Namun, sejak pagi Nafa enggan bicara dengan Christian. Ia hanya duduk sambil menikmati permen kapas.
“Nafa, kamu marah?” tanya Christian.
“Enggak kok.”
“Kenapa diam aja?”
“Aku nggak tahu harus ngomong apa... jantungku berdebar terus gara-gara kamu.”
“Karena aku ngomong mau cium kamu tadi ya?”
“Bukan itu.”
“Terus?”
Tentu saja Nafa tak mungkin mengaku kalau dia terpukau lihat tubuh Christian tadi juga perkataannya.
“Kamu cocok pakai kaos biru,” jawabnya singkat, mengalihkan topik.
“Yakin cuma karena itu? Hmm... pasti ada yang lain di pikiran kamu, ya?” goda Christian.
“Ih apaan sih! Gak lucu!” protes Nafa, lalu menyumpal mulut Christian dengan permen kapas dan lari.
Christian tertawa kecil sambil mengunyah permen itu.
Hari itu mereka bersenang-senang, berfoto, dan menikmati waktu bersama sebelum akhirnya pulang ke tempat masing-masing.